AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
294
KECERDASAN SOSIAL DALAM PEMBELAJARAN KOOPERATIF
PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Ahmad Zain Sarnoto
1
dan Siti Maria Ulfa
2
1,2
Institut PTIQ Jakarta
1
2
ABSTRAK
Penelitian ini menyimpulkan bahwa, kecerdasan sosial merupakan kemampuan seseorang untuk
mengerti orang lain dan peduli terhadap lingkungan sosial. Hal ini berdasarkan dua dimensi
kecerdasan sosial perspektif al-Quran yang penulis temukan yaitu dimensi perasaan (aspek afektif)
dan dimensi tindakan (aspek psikomotik). Dalam dimensi perasaan (aspek afektif) terdiri atas
empati dan ikhlas, sedangkan dimensi tindakan (ranah psikomotik) terdiri atas tolong- menolong,
silaturahim, kepedulian dan komunikasi. Artinya al-Qur’an mendeskripsikan tentang keseimbangan
antara habl ma’a Khaliqih dan habl ma’a ikhwanih. Dengan demikian, model pembelajaran
kooperatif berbasis al-Quran ini dapat membantu meningkatkan kecerdasan sosial anak.
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem
pengelompokkan siswa, yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras,
atau suku yang berbeda (heterogen). Pembelajaran kooperatif dapat membentuk keterampilan
interpersonal karena ada unsur bekerjasama, saling membantu, tolong menolong dan diskusi. Hal
ini berdasarkan dua indikator pembelajaran kooperatif perspektif al-Qur’an yang penulis temukan,
yaitu tolong-menolong dan musyawarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Sedangkan metode yang dipakai adalah metode tafsir tematik. Adapun teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah melalui studi kepustakaan.
Kata kunci: Kecerdasan Sosial, Pembelajaran Koopertif, Al-Qur’an
ABSTRACT
This study concluded that social intelligence is a person's ability to understand other people and
care about the social environment. This is based on the two dimensions of social intelligence from
the perspective of the Koran that the authors found, namely the feeling dimension (affective aspect)
and the action dimension (psychomotic aspect). In the feeling dimension (affective aspect) consists
of empathy and sincerity, while the action dimension (psychomotic realm) consists of helping,
friendship, caring and communication. This means that the Qur'an describes the balance between
habl ma'a Khaliqih and habl ma'a ikhwanih. Thus, this Quran-based cooperative learning model
can help improve children's social intelligence. Cooperative learning is a learning model using a
system of grouping students, who have different academic backgrounds, gender, race, or ethnicity
(heterogeneous). Cooperative learning can form interpersonal skills because there are elements of
working together, helping each other, helping out and discussing. This is based on the two
indicators of cooperative learning in the perspective of the Qur'an that the author found, namely
helping and deliberation. The approach used in this study is a qualitative approach. While the
method used is a thematic interpretation method. The data collection technique used is through
literature study
Keywords: Social Intelligence, Cooperative Learning, Al-Qur'an
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan sarana strategis yang dapat mengembangkan dan membentuk
potensi siswa baik berupa intelektual (kognitif), keterampilan (psikomotor), maupun sikap
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
295
(afektif), menurut (Sarnoto & Andini, 2017). Dalam Islam hakikat pendidikan adalah
bangunan nilai yang di dalamnya terdapat cara pandang, sikap, dan tindakan. Konsep-
konsep pendidikan di rumuskan oleh pakar pendidikan Islam ialah konsep pendidikan yang
diarahkan untuk pribadi-pribadi yang bertakwa kepada Allah SWT dan beramal shaleh
dalam kehidupan sosial. Inilah inti atau hakikat pendidikan Islam (Sarnoto, 2019). Sebagai
agama yang menekankan keseimbangan aspek spiritual dan intelektual, Islam mengajarkan
kepada umatnya agar mengasah diri untuk mencapai hakikat kemanusiaan dan
kehambaannya di hadapan Allah SWT. Rasullah SAW sudah memberikan contoh menjadi
hamba yang benar-benar “menghamba” kepada-Nya. Karena itu, diselenggarakannya
pendidikan Islam ialah agar manusia mampu menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa secara
transendental dan sosial (Rasyid, 2017).
Ada beberapa pandangan ahli tentang kecerdasan. Pandangan yang pertama dari
Alfred Binet, merupakan tokoh perintis pengukuran intelegensi. Binet, menjelaskan bahwa
intelegensi merupakan kemampuan mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan,
artinya individu mampu menetapkan tujuan untuk dicapainya (goal setting), kemampuan
untuk mengubah arah tindakan bila dituntut demikian artinya individu mampu melakukan
penyesuaian diri dalam lingkungan tertentu (adaptasi), dan kemampuan untuk mengkritik
diri sendiri atau melakukan autokritik artinya individu mampu melakukan perubahan atas
kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya atau mampu mengevaluasi dirinya sendiri
secara obyektif (Sarnoto & Rahmawati, 2020).
Pendapat lain menyatakan bahwa intelegensi sebagai kumpulan atau totalitas
kemampuan individu untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta
menghadapi lingkungannya dengan efektif, hal ini menurut pendapat David Wechler.
Sedangkan George D. Stoddard, mendefinisikan intelegensi sebagai bentuk kemampuan
untuk memahami masalah-masalah yang bercirikan kesukaran, kompleks, abstrak,
ekonomis, diarahkan pada suatu tujuan, mempunyai nilai sosial dan berasal dari sumbernya
(menciptakan sesuatu yang baru dan lain). Tokoh lain yaitu Walters dan Gardner,
mendefinisikan intelegensi sebagai suatu kemampuan atau serangkaian kemampuan-
kemampuan yang memungkinkan individu memecahkan masalah, atau produk sebagai
konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu (Safaria, 2005).
Kecerdasan sosial adalah kemampuan seseorang dalam menghadapi dan mereaksi
situasi-situasi sosial atau kehidupan di dalam lingkungan masyarakat. Kecerdasan sosial
merupakan kemampuan seseorang untuk mengerti kepada orang lain, dan juga kemampuan
seseorang untuk dapat berbuat sesuatu dengan tuntutan masyarakat. Jadi, kecerdasan sosial
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
296
adalah bukan merupakan emosi seseorang terhadap orang lain. Individu dengan kecerdasan
sosial yang tinggi akan mampu berinteraksi, bergaul, atau berkomunikasi dengan orang
lain secara mudah. Selain itu, seseorang yang mempunyai kecerdasan sosial yang tinggi
diindikasikan bahwa seorang tersebut mampu menyesuaikan diri dalam berbagai
lingkungan sosial budaya. Kecerdasan sosial yakni kemampuan seseorang dalam
memahami dan mengelola sebuah hubungan sosial (Azzet, 2010).
Thorndike, psikolog Amerika Serikat, mendefinisikan bahwa kecerdasan sosial
adalah the ability to understand and manage men and women, boys, and girls to act wisely
in human relation. Menurut Edward Lee Thorndike, dalam Purwa Atmaja Prawira
mengklasifikasikan kecerdasan menjadi tiga tipe, yaitu kecerdasan riil (concrete
intelligence), kecerdasan abstrak (abstract intelligence), dan kecerdasan sosial (social
intelligence) (Prawira, 2013).
Manusia adalah makhluk individu yang memiliki perbedaan antara satu orang
dengan lainnya. Manusia juga memiliki derajat potensi dan latar belakang, serta historis,
dan juga mempunyai harapan masa depan yang berbeda-beda. Karena adanya perbedaan
tersebut, manusia dapat silih asah (saling mencerdaskan). Pembelajaran kooperatif secara
sadar menciptakan interaksi yang silih asah, bisa dikatakan demikian karena sumber
belajar bagi seorang peserta didik tidak hanya berasal dari guru dan buku ajar semata, akan
tetapi sumber belajar bisa didapat dari sesama siswa. Istilah belajar antara sesama teman
disebut dengan peer teaching (Sarnoto, 2017).
Pembelajaran kooperatif berasal dari istilah Cooperative Learning. Dalam Oxford
Advanced Learner’s Dictionary, menyebutkan bahwa Cooperative berarti acting together
with a common purpose (Wehmeier, 2010). Beberapa arti dari cooperative disampaikan
oleh Basyiruddin Usman, menurutnya cooperative didefinisikan sebagai belajar kelompok
atau bekerjasama (Usman, 2002). Sedangkan ahli tokoh lain, yaitu Burton sebagaimana
yang dikutip oleh Nasution, disebutkan bahwa kooperatif atau kerjasama ialah cara
individu mengadakan relasi dan bekerjasama dengan individu lain untuk mencapai tujuan
bersama (Nasution, 1995). Sedangkan kata learning juga mempunyai berbagai pengertian.
Learning didefinisikan oleh Arthur T. Jersild, yang dikutip Syaiful Sagala, menyatakan
learnig is modification of behavior through experience and training yakni pembentukan
perilaku melalui pengalaman dan latihan. Selain pengertian tersebut, Arthur, juga
menambahkan bahwa learning sebagai kegiatan memperoleh pengetahuan, perilaku dan
keterampilan dengan cara mengolah bahan ajar (Sagala, 2003).
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
297
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang bersifat universal dan berlaku untuk
seluruh umat manusia. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tersebut
berisi informasi yang ditetapkan sebagai pedoman hidup manusia, kapanpun dan di
manapun ia berada. Sebagai sebuah mukjizat, al-Qur’an tidak hanya sebatas bahan bacaan
kendatipun membacanya akan memperoleh pahala, tetapi juga untuk dipelajari, diimani,
diamalkan dan diungkap rahasia kebenarannya. Hal tersebut bertujuan untuk memperkaya
cakrawala ilmu pengetahuan terhadap bukti-bukti kebesaran dan kekuasaan Allah, selain
untuk membimbing kehidupan manusia, agar ia dapat memperoleh kebahagiaan di dunia
dan akhirat. Islam sangat peduli dengan potensi akal pikiran manusia. Dalam al-Qur’an
banyak sekali ayat-ayat yang mengisyaratkan hal ini. Berkali-kali Allah SWT
menyebutkan perihal akal, orang yang berakal, serta penggunaan akal pikiran (Charisma,
1991).
Dalam al-Qur’an, terdapat informasi yang menyatakan bahwa manusia memiliki
unsur-unsur yang berbeda dengan makhluk hidup lain, yaitu potensi, kemampuan belajar
dan menuntut ilmu yang tidak terbatas. Namun kemampuan ini dapat mengantarkan
manusia pada arah yang positif dan negatif. Manusia memiliki potensi dan kemampuan
untuk menduduki tempat tertinggi di alam eksistensi, namun potensi yang ia miliki juga
dapat membuatnya jatuh terjerumus ke dalam kedudukan terendah, dan bahkan lebih
rendah dari kedudukan seekor binatang. Adapun manusia yang menjadi bagian dari dua
kedudukan tersebut, sangat ditentukan oleh proses pembelajaran yang dijalaninya di dunia,
dimana pembelajaran tersebut akan menciptakan suatu kecerdasan dalam dirinya (Faisal,
2016).
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan bersifat library research (penelitian
kepustakaan) atau disebut juga content analysis (analisis isi). Oleh karena itu, metode
penelitian yang digunakan adalah pengumpulan data dan informasi dalam bentuk bahan
yang ada di perpustakaan berupa arsip, dokumen, majalah, buku, dan materi pustaka
lainnya, dengan asumsi bahan yang diperlukan dalam pembahasan ini terdapat didalamnya
(Irawan, 2000).
Adapun teknis pengumpulan data yang dilakukan yaitu mencatat data-data yang
diambil dari berbagai sumber dari bahan-bahan tertulis kemudian mengidentifikasi bukti-
bukti kontekstual yaitu dengan mencari hubungan antara data dengan realitas yang penulis
teliti. Pengolahan data dalam penelitian ini bersifat kualitatif maka dilakukan dengan
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
298
analisis kritis, komparasi, serta interpretasi atas berbagai hasil penelusuran dari sumber-
sumber primer dan sekunder. Dengan demikian pendekatan data penelitian ini substansinya
adalah kualitatif dan korelasi jaringan variabelnya juga kualitatif (Sukmadinata, 2010).
Selain merujuk berbagai sumber bacaan yang berkaitan dengan penelitian, pada
pembahasan materi ini merujuk beberapa kitab tafsir yang berkaitan dengan materi tersebut
dengan menggunakan metode tafsir tematik. Tafsir tematik atau juga lebih dikenal dengan
tafsir maudu’i adalah pola penafsiran dengan cara memfokuskan pada satu topik yang
berkaitan dengan masalah tertentu, kemudian mendefinisikan kata kunci dari
permasalahan, selanjutnya mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan topik
tersebut baik secara lafadz maupun hukum, kemudian melihat tafsir-tafsir ayat-ayat
tersebut sesuai dengan tujuan Qur’ani (Alim, 2014).
PEMBAHASAN
Dalam proses pembelajaran kooperatif, sangat ditekankan adanya sikap saling
menghargai perbedaan pendapat. Dengan menggunakan model pembelajaran ini,
diharapkan anak-anak nantinya setelah berkehidupan dimasyarakat akan menjadi pribadi
yang dapat menghargai perbedaan pendapat yang ada di masyarakat, karena telah terbiasa
dengan model pembelajaran yang diaplikasikan di sekolah dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif.
Dalam kehidupan bermasyarakat pasti akan menemukan keberagaman. Dalam
keberagaman tersebut sering kali muncul berbagai gesekan kecil. Bahkan salah satunya
dapat menciptakan konflik horizontal. Hal tersebut disebabkan oleh kesadaran untuk saling
menghargai dan menghormati perbedaan yang masih perlu untuk ditingkatkan, meskipun
boleh jadi ada pihak ketiga yang membuat suasana menjadi semakin panas. Dalam tulisan
“Min Adab Al Khilaf wa at-Ta’amul Ma’a al Mukhalif”, Prof. Hani bin Abdullah al-Jabir
menjelaskan secara detail tentang kaidah-kaidah utama dalam menghadapi perbedaan
pendapat. Bersikap dalam menghadapi perbedaan pendapat menjadi sangat penting, karena
kondisi saat ini telah muncul di dunia Islam berupa fanatisme berlebihan dari kelompok
radikal dan fundamental. Sikap apriori yang diperlihatkan kepada pihak yang berbeda,
sebagiannya berujung pada tindakan anarkisme. Seperti perusakan atau pembakaran tempat
ibadah hingga penganiayaan. Melihat kondisi demikian, Prof. Hani, sangat menyayangkan
peristiwa tersebut. Kaidah pertama yang ia tekankan adalah bersikap proporsional.
Perbedaan tidak akan menimbulkan konflik apabila tidak diiringi dengan sentimen dan
kebencian. “…Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
299
datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka…”
(QS. Ali Imran [3]: 19. Ia mengutip pendapat Ibnu Taimiyah, tentang perintah berbuat adil
dan proporsional kepada lawan, sebagaimana tertulis dalam Surah al-Maidah (5): 8 berikut
ini:
Masalah sosial (urusan muamalah) mendapatkan perhatian yang begitu besar dalam
agama Islam (ayat al-Qur’an maupun Hadits). Al-Qur’an menjelaskan berbagai
pengetahuan, termasuk pendidikan etika sosial secara baik kepada seluruh manusia. Dalam
al-Qur’an surat at-Taubah (9): 71, banyak dijelaskan pendidikan etika sosial berikut ini:
































Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-
Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana (QS. At-Taubah [9]: 71)
Dalam tafsir al-Maraghi, disebutkan auliya dari kata al-walayah (mengasihi) lawan
dari al-‘adawah (memusuhi), dan mencakup mengasihi dengan pertolongan, dengan
persaudaraan dan dengan kecintaan. Pada masa Nabi, para istri beliau dan para istri
sahabatnya keluar bersama tentara untuk menyediakan air dan makanan, mendorong
mereka untuk ikut berperang dan membangkitkan semangat orang yang kalah. Dalam
menggambarkan kaum muslimin, Allah berfirman ba’duhum auliya’u ba’din, sebagian
mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Sebab diantara kaum mukminin
terdapat rasa persaudaraan, kecintaan, saling menolong dan saling mengasihi, sehingga
Nabi Muhammad SAW menyerupakan kesatuan mereka dengan tubuh yang satu dan
bangunan yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Disamping itu, kaum
muslimin juga saling tolong-menolong dalam menegakkan kebenaran dan keadilan serta
meninggikan kalimat Allah SWT (Al-Maraghi, 2010).
Al-qur’an mendorong umat Islam untuk bersatu menjadi umat yang kuat secara
aqidah, budaya, hukum, ekonomi, dan akhlak, dan menjalin berhubungan kemanusiaan
atas dasar saling gotong royong dan bekerjasama, mengontrol dan menekan hal-hal yang
menimbulkan perpecahan. Al-Qur’an telah jelas memerintahkan kita untuk menjaga
persatuan dan kesatuan, yang didalamnya terdapat gotong royong serta saling bekerjasama
karena merupakan saudara, sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran (3): 103 sebagai
berikut:
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
300
Tafsir al-Mishbah, menafsirkan ayat di atas dengan diawali kata i’tashimū ()
terambil dari kata ‘ashama () yang bermakna menghalangi. Penggalan ayat ini
mengandung perintah untuk berpegang kepada tali Allah SWT yang berfungsi
menghalangi seseorang terjatuh. Kata habl () yang berarti tali adalah apa yang
digunakan untuk mengikat sesuatu guna mengangkatnya ke atas atau menurunkannya ke
bawah agar sesuatu itu tidak terlepas atau terjatuh. Menurut Fakhruddin ar-Razi, setiap
orang yang berjalan pada jalan yang sulit khawatir tergelincir jatuh, tetapi jika dia
berpegang teguh pada tali yang terulur pada kedua ujung jalan yang dilaluinya, dia akan
merasa aman dan tidak terjatuh, apalagi jika tali tersebut kuat dan cara memegangnnya pun
kuat. Yang memilih tali yang rapuh atau tidak berpegang teguh, walaupun talinya kuat
kemungkinan juga akan tergelincir sebagaimana dialami oleh banyak orang. Tali yang
dimaksud dalam ayat ini adalah ajaran agama atau al-Qur’an. Kemudian dalam ayat ini
juga menunjukkan betapa kuat jalinan kasih sayang dan persatuan mereka karena yang
diharmoniskan Allah bukan hanya langkah-langkah tetapi hati. Apabila hati telah menyatu,
segala sesuatu menjadi ringan dipikul dan segala kesalahpahaman (jika seandainya
muncul), maka akan mudah diselesaikan. Memang, yang penting adalah kesatuan hati umat
bukan kesatuan organisasi atau kegiatannya. Kata ikhwânâ disini diartikan yang
dipersatukan hatinya oleh Allah SWT itu merasa sama dengan orang lain. Yang ringan
sama mereka dijinjing dan yang berat sama-sama dipikul bersama. Sakit saudaranya sama-
sama dirasakan dan kegembiraanpun dinikmati bersama. Karena persaudaraan yang terjalin
antar sesama mukmin bukan hanya karena persamaan iman saja, tetapi juga “bagaikan”
atas dasar persaudaraan seketurunan (Shihab, 2005).
SIMPULAN
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan
sistem pengelompokkan/tim kecil, yaitu antara 4 sampai 6 orang yang mempunyai latar
belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen.
Dalam pembelajaran kooperatif akan memunculkan tanggung jawab individu terhadap
kelompok dan keterampilan interpersonal dari setiap anggota kelompok. Setiap individu
akan saling membantu, bekerjasama dan berdiskusi.
Adapun term-term al-qur’an yang berhubungan dengan kecerdasan sosial dalam
pembelajarn kooperatif yaitu ‘Aqala, Dzakara, Fakkara, Dabbara, Faqaha, dan Bashara.
Adapun term yang berhubungan dengan Interaksi Sosial yaitu Ta’aruf, Ta’afuf, dan
Mujadalah. Selanjutnya isyarat al-Qur’an yang berhubungan dengan Kecerdasan Sosial
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
301
dapat ditemukan pada surat ad-Dhuha (93): 6-11 dan al-Baqarah (2): 177. Term yang
berhubungan dengan Pembelajaran yaitu Allama-yu’allimu. Term yang berhubungan
dengan kooperatif yaitu Ta’awun dan Musyawaroh. Dan isyarat al-Qur’an yang
berhubungan dengan Pembelajaran Kooperatif terdapat dalam QS. Al-A’raf (7): 103 dan
ayat al-A’raf (7): 85.
Kecerdasan sosial perpsektif al-Quran bukan hanya menjelaskan tentang bagaimana
kemampuan manusia berhubungan dengan manusia lainnya (Hablum minannas), tetapi
lebih fundamental lagi bahwa dari berhubungan baik dengan orang lain bertujuan untuk
mencari ridho Allah SWT (Hablum minallah). Ketika seseorang memiliki kecerdasan
sosial yang tinggi, maka segala perbuatan baiknya kepada orang lain diniatkan untuk
mencari ridho Allah SWT. Dua dimensi yaitu dimensi religius dan dimensi sosial harus
diaplikasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, A. M. (2010). Tafsir al-Maraghi (tej. Juz 10). Semarang: PT. Thoha Putera.
Alim, A. (2014). Tafsir Pendidikan Islam. Jakarta: AMP Press.
Azzet, A. M. (2010). Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak. Yogyakarta:
Katahati.
Charisma, M. C. (1991). Tiga Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an. Surabaya: Bina Ilmu.
Faisal. (2016). Kecerdasan Intelektual Rasulullah SAW Perspektif Hadits. Jurnal
Ulunnuha, 6(2).
Irawan, P. (2000). Logika dan Prosedur Penelitian: Pengantar Teori dan Panduan Praktis
Penelitian Sosial bagi Mahasiswa dan Peneliti. Jakarta: STIA-LAN.
Nasution, S. (1995). Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Prawira, P. A. (2013). Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Rasyid, M. A. (2017). Hadits-Hadits Tarbawi: Teori dan Praktik Pendidikan Sesuai
Hadits Nabi Muhammad SAW. Yogyakarta: DIVA Press.
Safaria, T. (2005). Interpersonal Intelligence: Metode Pengembangan Kecerdasan
Interpersonal Anak. Yogyakarta: Penerbit Amara Books.
Sagala, S. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung :Alfa Beta.
Sarnoto, A. Z. (2017). Aspek Kemanusiaan Dalam Pembelajaran Humanistik Pada Anak
Usia Dini. Profesi, 6(1), 108114. https://jurnal.pmpp.or.id/index.php/profesi
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
302
Sarnoto, A. Z. (2019). Dinamika Pendidikan Islam (1st ed., Vol. 1). Jakarta; PTIQ Press.
Sarnoto, A. Z., & Andini, D. (2017). Sikap sosial dalam kurikulum 2013. MADANI
Institute, 6(1), 5970.
Sarnoto, A. Z., & Rahmawati, S. T. (2020). Kecerdasan Emosional Dalam Perspektif Al-
Qur’an. Statement, 10(1), 1730.
https://jurnal.pmpp.or.id/index.php/statement/article/view/17
Shihab, M. Q. (2005). Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran (IV).
Jakarta: Lentera Hati.
Sukmadinata, N. S. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: remaja Rosyda
Karya.
Usman, M. B. (2002). Metode Pembelajaran Agama Islam. Jakarta: Ciputat Press.
Wehmeier, S. (2010). Oxford Advanced Learner’s Dictionary. New York: Oxford
University Press.