AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
179
PENDEKATAN KOMPREHENSIF DALAM PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
Joko Wahono
1
, Intan Kusumawati
2
, Ahmad Nasir Ari Bowo
3
1,2,3
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
Jl. Perintis Kemerdekaan, Gambiran, Umbulharjo, Kota Yogyakarta 55161
1
2
3
ABSTRAK
Nilai-nilai karakter bangsa menjadi masalah yang penting apabila masih ditemukannya sikap
ataupun perilaku yang tidak terpuji yang dilakukan seseorang dalam kehidupan kesehariannya yang
berakibat menganggu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perkembangan zaman
dan teknologi yang begitu pesatnya tanpa diiringi karakter atau perilaku yang baik akan menjadi
masalah. Sikap dan perilaku seorang pelajar yang sering kita jumpai seperti perkelahian antar
pelajar, tawuran, penyalahgunaan narkoba, mabuk-mabukan serta pergaulan bebas akan berdampak
negatif untuk perkembangan karakter pelajar. Diperlukan sinergi antara orang tua, guru dan
masyarakat dalam pembentukan dan pengembangan karakter. Di dalam Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan bertujuan menjadikan seseorang menjadi warga negara baik, berkarakter serta
menjadikan manusia yang demokratis dan memiliki nilai-nilai pancasila. Pembentukan karakter
siswa ataupun pelajar tidak bisa diperoleh secara instan, tentunya melalui proses sesuai dengan
tahapan perkembangan seseorang. Membentuk karakter membutuhkan waktu yang terus menerus
yang pada akhirnya menjadi sebuah karakter yang diharapkan. Pendekatan komprehenshif akan
dapat mengembangkan dan menjadikan seseorang mempunyai karakter yang baik. Pembentukan
dan pengembangan karakter dengan pendekatan komprehenshif yaitu melalui inkulkasi atau
penanaman nilai, pemberian suri tauladan, fasilitasi serta pengembangan keterampilan (soft skill).
Kata Kunci: Komprehenshif, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
ABSTRACT
The values of the national character become an important problem if there is still a disgraceful
attitude or behavior carried out by a person in his daily life which results in disrupting the life of
the community, nation and state. The rapid development of times and technology without good
character or behavior will be a problem. The attitudes and behavior of a student that we often
encounter, such as fights between students, brawls, drug abuse, drinking and promiscuity will have
a negative impact on the development of student character. Synergy is needed between parents,
teachers and the community in character building and development. In Pancasila and Citizenship
Education aims to make someone a good citizen, have character and make a human being who is
democratic and has Pancasila values. The formation of student or student character cannot be
obtained instantly, of course, through a process according to a person's stages of development.
Forming a character takes a continuous amount of time which eventually becomes an expected
character. A comprehensive approach will be able to develop and make someone have good
character. The formation and development of character with a comprehensive approach, namely
through inculcation or planting of values, giving role models, facilitation and the development of
skills (soft skill).
Keywords: Comprehensive, Pancasila and civic education.
.
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
180
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu usaha pencapaian proses menuju ke arah yang lebih
baik dan bermartabat. Sebuah negara yang berkarakter akan bisa menjadi bekal dalam
mencapaian tujuan negaranya. Sebaliknya negara yang tidak mempunyai pembangunan
karakter yang baik akan menjadi negara yang akan mengalami kemerosotan dalam
berbagai hal. Perkembangan teknologi menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam
sebuah pendidikan. Landasan filosofi dalam pengembangan karakter menjadi arah bagi
pengembangan karakter itu sendiri dalam proses pendidikan (Kusumawati, 2016).
Pendidikan karakter merupakan usaha sadar mewujudkan pribadi seorang memiliki nilai
kebajikan sebagai individu dan masyarakat (Lickona & Matters, 2012). Pendidikan
karakter mempengaruhi kepribadian seseorang dan perilaku kebajikan dalam menjalani
kehidupan yang lebih baik (Flanagan et al., 1993). Pendidikan karakter membawa tujuan
menanamkan sesuatu yang baik dan terpuji (Flanagan et al., 1993). Pendidikan karakter
bertujuan untuk mengembangkan potensi seseorang melalui usaha sadar dan terencana
dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan suasana belajar serta suatu proses
pembelajaran supaya pelajar secara aktif mengembangkan potensi dirinya dalam kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Sisdiknas, 2003).
Warga Negara yang baik apabila diwujudkan memiliki karakter dan kebajikan, adanya
keterkaitan antara kebaikan dan kebajikan (Arthur & Harrison, 2012). Warga Negara yang
baik taat dalam peraturan pemerintah (B.-Y. Sim & Low, 2012).
Tantangan pendidikan sekarang bagaimana seorang guru dapat mendidik dan
menyemangati pelajar agar dapat mengembangkan potensi dirinya dan ketrampilannya
dengan karakter sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dengan pancasila sebagai
pedoman keseharian. Di dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut agar dapat
mempersiapkan perangkat mengajar di kelas supaya dapat mencapai tujuan pembelajaran.
Media pembelajaran menjadi hal terpenting dalam proses pembelajaran supaya pelajar atau
siswa antusias dan serius serta sungguh-sungguh dalam mempelajari pengetahuan dan
ketrampilan yang disampaikan guru.
Guru PPKn di sekolah selama ini telah melakukan proses pembelajaran dengan baik
dan terencana. Namun dalam membentukan dan pengembangan karakter siswa memang
dituntut penanganan serius dan diperlukan sinergi antara guru, orang tua dan masyarakat.
Pemberian indoktrinasi dalam pembentukan karakter saja tidaklah cukup, namun yang
terpenting adalah pemberian suri tauladan yang baik. Pembentukan pribadi seseorang agar
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
181
mempunyai sikap mandiri dalam pembuatan keputusan moral mutlak diperlukan (Zuchdi,
2004). Ketika seorang pelajar masih anak tentunya dalam pendidikan masih meniru siapa
saja yang menjadi suri teladannya. Melalui pendekatan konstruktivis seorang anak
diberikan kesempatan untuk belajar pada lingkungan sekitar kehidupannya dengan
membangun pemahaman moral melalui interaksi sosial yang dialamainya (Kusumawati &
Zuchdi, 2019).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang akan mengungkapkan
bagaimana pelaksanaan pendekatan komprehenshif dalam pembelajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan di SMA wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dapat
membentuk karakter seseorang menjadi seorang warga negara yang baik dan memiliki
karakter pancasila. Prosedur dalam penelitian ini adalah pertama melakukan tahapan
perencanaan dengan cara menyusun pedoman wawancara dan pembuatan instrument
penelitian dengan menggunakan google formulir.
Selanjutnya pelaksanaan tindakan dengan bertemu dengan guru PPKn dan
melakukan wawancara serta meminta guru mengisi google formulir yang telah dikirimkan
melalui email ataupun whatsapp. Setelah data penelitian telah cukup dan dapat dipilah-
pilah. Data yang sudah didapatkan kemudian dianalisis dan disimpulkan. Subjek dalam
penelitian ini adalah 5 sekolah yang ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelima
sekolah tersebut adalah Sekolah yang diteliti terdiri 5 sekolah yang terdiri dari SMA N 2
Sleman, SMA N 1 Sentolo Kulon Progo, SMA Negeri Patuk Gunung Kidul, SMA N 1
Banguntapan Bantul dan SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendekatan komprehenshif adalah suatu pendekatan yang dilakukan secara
menyeluruh agar tujuan pembelajaran tercapai yang meliputi orientasi, eksplorasi,
pendalaman dan penyimpulan (Nucci & Narváez, 2014). Tujuan Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan adalah menjadikan seseorang menjadi warganegara yang baik, taat,
patuh, memiliki sikap patriotik dan mempunyai nilai-nilai kebangsaan dan memiliki jiwa
dan karakter pancasila yang mandiri, kreatif dan inovatif. Pembentukan karakter melalui
usaha sadar dan terencana agar dapat mengembangkan potensi kepribadian yang
berkarakter (Lickona, 1991). Istilah komprehensif yaitu pendidikan yang didalamnya
terkandung nilai-nilai mencakup beberapa hal yaitu meliputi semua permasalahan yang
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
182
berhubungan dengan nilai-nilai yang pribadi, etika dan norma secara umum. Dalam
metode pendidikan nilai yang digunakan juga harus komprehensif. Termasuk penanaman
nilai (inkulkasi), pemberian keteladanan, fasilitasi serta pengembangan keterampilan (soft
skill). Pendidikan nilai dapat dilakukan dengan metode langsung yaitu dengan menentukan
perilaku yang dinilai baik sebagai indoktrinasi berbagai ajaran dengan cara mendiskusikan
menghafalkan ataupun mengucapkan. Pendidikan nilai juga dapat dilakukan dengan
metode yang tidak langsung yaitu dengan menciptakan situasi yang memungkinkan
perilaku yang baik dapat dipraktekkan secara langsung oleh seseorang dalam
kehidupannya yang dialaminya.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang dilakukan di sekolah merupakan
metode pendidikan nilai secara langsung, dan terkadang terdapat indoktrinasi secara tidak
langsung. Dalam pendidikan karakter pentingnya penguatan karakter (Berkowitz & Bier,
2004). Keputusan yang diambil untuk perilaku harus siap untu dipertanggungjawabkan
secara sadar (Sumardjoko, 2003). Etika kebajikan dan etika kepedulian diharapkan dalam
pendidikan karakter atau pendidikan nilai (Noddings, 2002). Dalam kenyataannya di kelas
seorang pelajar bisa menyerap bahkan terkadang hapal di luar kepala apa yang telah
diajarkan dan disampaikan guru namun terkadang belum secara langsung diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari, apabila diterapkan juga dikarenakan karena pengawasan bukan
karena kesadaran yang dimilikinya. Nilai-nilai moral yang dilakukan seharusnya bersifat
suka rela (voluntary action) tanpa adanya paksaan dari pihak manapun dan berubah
menjadi nilai hukum yang dalam segala aspeknya memerlukan pranata hukum (Zuchdi,
2004). Pembentukan pendidikan kewarganegaraan sebagai mata pelajaran wajib telah
dilakukan dibarengi kebijakan pemerintah untuk 'menggenjot pendidikan berkarakter.
Identifikasi memiliki peran penting untuk dimainkan dalam membantu membentuk dan
memperkuat karakter dasar (Berkowitz & Bier, 2004). Pendidikan nilai hendaknya terjadi
secara keseluruhan proses pendidikan di sekolah. Tidak hanya dalam proses pembelajaran
dikelas tetapi juga dalam kegiatan ekstrakurikuler, dalam proses bimbingan dan
penyuluhan dan semua aspek kehidupan. Pendidikan nilai hendaknya juga melalui
kehidupan masyarakat. Selain dari keluarga yaitu orangtua melainkan juga dari organisasi-
organisasi dimasyarakat atau lembaga keagamaan seperti Taman Pendidikan Al-Quran
(TPA), dalam penanaman pendidikan nilai guna memperbaiki karakter dan moral generasi
bangsa (Zuchdi, 2004).
Pendidikan nilai atau pendidikan karakter seharusnya dapat menumbuhkan
kemandirian siswa atau pelajar, karena di dalamnya mengajarkan tentang arti kedisiplinan
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
183
dan kemandirian agar dapat bisa menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam
kehidupan di keluarga, sekolah ataupun masyarakat. Siswa ataupun pelajar diharapkan
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan serta dapat mengorbankan nilai-nilai yang
positif yang harus dipertahankan. Dalam kehidupan masyarakat yang keras harus dapat
memiliki kemampuan untuk bertahan dan dapat mengatasi semua persoalan dan hambatan
yang dialaminya. Siswa atau pelajar harus memiliki motivasi yang besar dan semangat
yang tinggi dalam menghadapi kehidupan masyarakat yang keras dan terkadang tidak
manusiawi dengan memiliki sikap mandiri dan memiliki nilai moral yang baik.
Dalam aspek kognitif siswa atau pelajar dapat menentukan pilihan moral secara tepat
dan aspek afektif siswa atau pelajar dapat menanjamkan kepekaan hati nuraninya dengan
memiliki dorongan untuk melakukan tindakan yang baik atau bermoral. Sikap dan perilaku
siswa dalam menjalankan ibadah dan kepercayaan masing-masing dapat menumbuhkan
sikap religi atau ketakwaan kepada Tuhan YME dengan menjalankan semua perintahnya
dan menjauhi semua larangannya merupakan pondasi yang utama dalam dirinya menjadi
pribadi yang baik dan bermoral. Dalam kehidupan sosial dan masyarakat contohnya sikap
dan perilaku seorang siswa atau pelajar harus dapat mencerminkan pribadi yang baik dan
bermoral melalui semua ucapan, pikiran serta tindakan dalam kehidupannya keseharian di
tengah-tengah masyarakaat. Dapat menolong dan memiliki sikap sosial serta solidaritas
yang tinggi sangatlah diharapkan dalam menunjang nilai-nilai moral yang dilakukannya
sehingga terjadi persemaian benih-benih moralitas dalam kehidupan masyarakat (Zuchdi,
2004).
Pendidikan moral merupakan pengalaman manusia dalam kehidupannya (Flanagan et
al., 1993). Pendidikan karakter atau pendidikan nilai yang diberikan secara indoktrinasi
tidak cukup oleh karena itu perlunya ada pendekatan komprehenshif agar siswa atau
pelajar dalam mengembangkan potensi dan ketrampilannya secara maksimal dan terarah.
Pendidikan nilai dan moral memungkinkan siswa atau pelajar mampu mengambil
keputusan dengan bijaksana dan secara mandiri dalam memilih nilai-nilai yang sangat
bertentangan yang terjadi dalam kehidupan keseharian yang dialaminya. Pendekatan
komprehensif adalah baik diterapkan dalam pembelajaran PPKn di sekolah agar siswa atau
pelajar dapat menerapkannya dalam kehidupannya baik di sekolah, keluarga atau
masyarakat.
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
184
Pendekatan komprehenship dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan.
1. Penanaman nilai (inkulkasi nilai)
Dalam pembelajaran di kelas ataupun di luar kelas hendaknya seorang guru
dapat menanamkan nilai-nilai moral dan tindakan yang bermoral. Penanaman nilai bisa
dilakukan dengan pembelajaran meliputi pengetahuan dan ketrampilan. Penanaman
nilai-nilai tradisional dari orang dewasa yang meneruh perhatian kepada mereka yaitu
orangtua, guru, dan masyarakat. Dalam penanaman nilai memiliki ciri sebagai berikut:
(a) mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya; (b)
memperlakukan orang lain secara adil; (c) menghargai pandangan orang lain; (d)
mengemukakan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya disertai dengan alasan; dan
dengan rasa hormat; (e) tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan
kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki dan mencegah kemungkinan
penyampaian nilai-nilai yang tidak dikendendaki; (f) menciptakan pengalaman sosial
dan emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki secara tidak ekstrem; (g)
membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi disertai
alasan; (h) tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju; dan (i)
memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda, apabila sampai pada
tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah
(Zuchdi, 2004).
2. Pemberian keteladanan
Dalam pendidikan nilai dan spiritualitas, pemodelan atau pemberian suri tauladan
sangatlah diperlukan dan merupakan strategi yang digunakan dalam menyiapkan
generasi yang bermoral dan mandiri. Guru, orang tua ataupun orang dewasa harus
berperan sebagai model yang baik bagi siswa-siswanya atau anak-anaknya. Siswa atau
pelajar memerlukan teladan dari orang dewasa mengenai integritas kepribadian dan
kebahagiaan hidup. Orang dewasa seharusnya memberikan teladan seperti tidak
merokok, tidak korupsi, tidak melakukan kekerasan, tidak berbuat curang serta
mengajarkan tentang arti kebaikan dan kebajikan. Memberikan contoh untuk hidup
hemat, cermat, dermawan, jujur, adil, saling menyayangi sesama makhluk Allah SWT.
Siswa, pelajar atau anak-anak harus meneladani orang yang terkenal dan memiliki
akhlaq yang mulia, misalnya Nabi Muhammad saw. Cara guru menghadapi masalah
dan persoalan yang dihadapi secara baik, adil dan bijak akan menjadi teladan bagi
siswa/pelajar. Mengkritik dan memberikan saran kepada orang lain secara hati-hati dan
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
185
santun juga menjadi suri tauladan yang baik dan dapat ditiru oleh siswa/ pelajar di
sekolah. Guru, orang tua, ataupun orang dewasa perlu kehati-hatian dan berucap,
bertutur kata atau bersikap/bertindak di depan anak/siswa, supaya tidak menanamkan
nilai-nilai negatif dalam diri sanubari anak ataupun siswa (Zuchdi, 2004).
Guru dan orangtua perlu memiliki ketrampilan asertif dan ketrampilan menyimak.
Kedua ketrampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan antarpribadi dan
antar kelompok. Oleh karena itu, perlu dijadikan contoh bagi anak-anak ataupun siswa/
pelajar. Ketrampilan asertif adalah ketrampilan mengemukakan pendapat secara
terbuka, dengan cara-cara tidak melukai perasaan orang lain. Ketrampilan menyimak
adalah ketrampilan mendengarkan dengan penuh pemahaman dan secara kritis (Zuchdi,
2004).
3. Fasilitasi
Dalam keseharian diperlukan fasilitasi pembuatan keputusan moral secara
bertanggungjawab dalam ketrampilan-ketrampilan hidup yang lain. Fasilitasi melatih
siswa atau pelajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan
kesehariannya. Bagian yang terpenting dari fasilitasi adalah pemberian kesempatan
kepada siswa atau pelajar. Kegiatan fasilitasi dapat memberikan hubungan baik antara
guru dan siswa. Apabila guru mendengarkan siswa atau pelajar dengan sungguh-
sungguh dan sepenuh hati maka siswa atau pelajar akan melakukan hal sama yaitu
mendengarkan guru dengan baik dan sungguh-sungguh. Siswa atau pelajar akan
merasa dihargai dan diperhatikan dengan sepenuhnya oleh guru mengenai apa yang
disampaikan baik pendapat atau pandangannya (Zuchdi, 2004).
Kegiatan fasilitasi menolong siswa atau pelajar memperjelas pemahaman.
Kegiatan tersebut memberikan kesempatan untuk menyusun pendapat, mengingatkan
kembali hal-hal yang perlu disimak, dan memperjelas hal-hal yang masih diragukan.
Kegiatan fasilitasi menolong siswa atau pelajar yang sudah menerima suatu nilai, tetapi
belum mengamalkannya secara konsisten, meningkat dari pemahaman secara
intelektual ke komitmen untuk bertindak. Tindakan moral memerlukan tidak hanya
pengetahuan, tetapi perasaan, maksud, dan kemauan. Kegiatan fasilitasi menolong
siswa atau pelajar berpikir lebih jauh tentang nilai yang dipelajari, menemukan
wawasan sendiri, belajar dari teman-temannya yang telah menerima nilai-nilai (values)
yang diajarkan, dan akhirnya menyadarkan kebaikan dan kebajikan hal-hal yang
disampaikan oleh guru. Kegiatan fasilitasi menyebabkan guru lebih dapat memahami
bagaimana pola pikiran dan perasaan dari siswa atau pelajar. Kegiatan fasilitasi akan
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
186
dapat memotivasi siswa atau pelajar dalam menghubungkan persoalan nilai dengan
persoalan dalam kehidupan, kepercayaan, dan perasaan mereka sendiri. Karena
kepribadian siswa/pelajar terlibat maka pembelajaran menjadi lebih menarik (Zuchdi,
2004).
4. Pengembangan keterampilan (Soft Skill)
Siswa atau pelajar diharapkan dapat mengembangkan ketrampilan-ketrampilan
untuk mengarahkan dalam kehidupan keseharian dan bisa mengatasi persoalan atau
hambatan yang dialami dalam kehidupannya dalam masyarakat. Ada berbagai
ketrampilan yang diperlukan agar seseorang dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianut
sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Ketrampilan tersebut
antara lain berpikir kritis, berpikir kreatif, berkomunikasi secara jelas, menyimak,
bertindak asertif (terbuka), dan menemukan resolusi konflik, yang secara ringkas
disebut ketrampilan akademik dan ketrampilan sosial.
Ciri-ciri orang yang berpikir kritis adalah sebagai berikut: (1) mencari kejelasan
pernyataan atau pertanyaan; (2) mencari alas an; (3) mencoba memperoleh informasi
yang benar; (4) menggunakan sumber yang dapat dipercaya; (5) mempertimbangkan
keseluruhan situasi; (6) mencari alternatif; (7) bersikap terbuka; (8) mengubah
pandangan apabila ada bukti yang dapat dipercaya; (9) mencari ketepatan suatu
permasalahan; (10) sensitive terhadap perasaan, tingkat pengetahuan, dan tingkat
kecanggihan orang lain (Zuchdi, 2004). Kesepuluh ciri tersebut hanya dapat
dikembangkan lewat latihan yang dilakukan secara terus menerus sehingga akhirnya
menjadi suatu kebiasaan. Berpikir kritis dapat mengarahkan pada pembentukan sifat
bijaksana. Berpikir kritis dapat memungkinkan seseorang dapat menganalis informasi
secara cermat dan membuat keputusan yang tepat dalam menghadapi isu-isu yang
kontroversial. Dengan demikian, dapat dihindari tindakan destruktif sebagai akibat dari
ulah provokator yang tidak henti-hentinya mencari korban. Oleh karena itu, sangat
diharapkan peran guru dan orang tua untuk membiasakan anak-anak dan siswa berpikir
kritis dengan memberikan kegiatan-kegiatan yang mengandung ciri-ciri tersebut di atas
(Zuchdi, 2004).
Ketrampilan mengatasi masalah karena masih banyaknya orang yang mengatasi
konflik dengan kekuatan fisik, padahal cara demikian itu biasa digunakan oleh
binatang. Apabila kita menghendaki kehidupan berdasarkan nilai-nilai religious dan
prinsip-prinsip moral, kita perlu mengajarkan cara-cara mengatasi konflik secara
konstruktif. Para guru dan orangtua memang harus berusaha keras untuk menyakinkan
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
187
anak-anak atau siswanya bahwa menyelesaikan masalah secara destruktif yang banyak
muncul dalam masyarakat Indonesia saaat ini sangat tidak manusiawi dan bertentangan
dengan norma-norma agama Islam yang harus kita junjung tinggi.
Pendidikan pendidikan karakter atau pendidikan nilai yang diajarkan dalam mata
pelajaran Pendidikan Pancasilan dan Kewarganegaraan (PPKn) di SMA hendaknya
dilakukan secara menyeluruh baik dalam proses pembelajaran di kelas. Pendidikan
karakter dapat diselenggarakan di sekolah seperti kegiatan ekstrakurikuler, dalam
proses bimbingan dan penyuluhan, dalam upacara bendera, upacara-upacara pemberian
penghargaan dan dalam aspek kehidupan.
SIMPULAN
Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bertujuan
pembentukan karakter siswa atau pelajar dengan menggunakan pendekatan komprehenshif
telah sesuai untuk diterapkan, karena masa sekarang ini kehidupan sudah semakin
kompleks dan perubahan di segala kehidupan berlangsung dengan sangat cepat.
Pendidikan nilai dan moral di Indonesia sudah cukup komprehensif, karena nilai-nilai
fundamental yang dapat menuntun ke arah pencapaian kebahagian dunia dan akhirat untuk
seluruh umat manusia telah disampaikan kepada siswa atau pelajar melalui mata pelajaran
PPKn dan juga mata pelajaran agama, awalaupun dalam segi metode dan strateginya masih
ada kelemahan yang perlu diatasi dan diberikan solusi ataupun jalan keluarnya agar
tercapainya tujuan pendidikan nasional Indonesia. Dari hasil penelitian yang dilakukan
peneliti pada 5 sekolah yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dapat
disimpulkan bahwa dalam pengembangan model pembelajaran PPKn berbasis karakter
selama ini sudah menggunakan pendekatan komprehensif yaitu penanaman nilai
(inkulkasi), pemodelan, fasilitasi dan pengembangan ketrampilan (soft skill).
SARAN
Pendekatan komprehensif dalam pembelajaran PPKn perlu ditingkatkan dengan
menngunakan instrumen evaluasi yang baik. Karena evaluasi pendidikan nilai dan moral
atau pendidikan karakter harus dapat menggambarkan secara akurat, baik pemikiran,
penalaran moral, afek moral (hubungan dengan perasaan/hati nurani), maupun perilaku
moral (moral action), maka perlu dikembangkan evaluasi untuk ketiga ranah tersebut.
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
188
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih diucapkan kepada Kepala sekolah yang telah memberikan ijin penelitian
serta guru dan karyawan SMA N 2 Sleman, SMA N 1 Sentolo Kulon Progo, SMA Negeri
Patuk Gunung Kidul, SMA N 1 Banguntapan Bantul dan SMA Muhammadiyah 2
Yogyakarta yang telah bekerjasama dalam kelancaran penelitian ini. Semoga penelitian ini
bisa bermanfaat guna pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan keterampilan.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian kepada
Masyarakat, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia) atas dukungan dana untuk
penelitian dan publikasi artikel ini dengan nomor Hibah 081 / SP2HMAD / LT / DRPM /
2020.
DAFTAR PUSTAKA
Arthur, J., & Harrison, T. (2012). Exploring good character and citizenship in England.
Asia Pacific Journal of Education, 32(4), 489497.
B.-Y. Sim, J., & Low, E. L. (2012). Character and citizenship education: Conversations
between personal and societal values. Asia Pacific Journal of Education, 32(4), 381
394.
Berkowitz, M. W., & Bier, M. C. (2004). based character education. The Annals of the
American Academy of Political and Social Science, 591(1), 7285.
Flanagan, O. J., Rorty, A. O., & Rorty, A. (1993). Identity, character, and morality: Essays
in moral psychology. MIT press.
Kusumawati, I. (2016). Landasan Filosofis Pengembangan Karakter Dalam Pembentukan
Karakter. Academy of Education Journal, 7(1), 115.
https://doi.org/10.47200/aoej.v7i1.342
Kusumawati, I., & Zuchdi, D. (2019). Pendidikan Moral Anak Usia Dini Melalui
Pendekatan Konstruktivis. Academy of Education Journal, 10(01), 6375.
https://doi.org/10.47200/aoej.v10i01.272
Lickona, T. (1991). Educating for character (New York, Bantam). McCI ET NAN, BE
(1992) Schools and the Shaping of Character: Moral Education in America, 525
543.
Lickona, T., & Matters, C. (2012). How to help our children Develop Good Judgement,
integrity, and other essensial Virtues. Terjemahan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Noddings, N. (2002). Educating moral people: A caring alternative to character
education. ERIC.
Nucci, L., & Narváez, D. (2014). Handbook of moral and character education. Routledge.
AoEJ: Academy of Education Journal
Volume 12 Nomor 2, Juli 2021
189
Sisdiknas, U.-U. (2003). Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Sinar Grafika.
Sumardjoko, B. dan M. M. (2003). Model Of Civic Education Learning Based On The
Local Wisdom. 20.
Zuchdi, D. (2004). Humanisasi Pendidikan dan Pengembangan Keterampilan Mengatasi
Konflik. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 2(2).