Lebih lanjut, Ariga (2022) menekankan bahwa tujuan utama dari pembelajaran otonom
adalah mengembangkan kemandirian kognitif siswa, yang mana kebebasan berpikir difasilitasi
oleh guru sebagai pengarah utama dalam proses belajar. Dalam era digital, peran teknologi
menjadi krusial dalam mendukung kualitas pendidikan, di mana kompetensi digital, literasi,
pengetahuan, bakat, dan sikap menjadi elemen penting dalam kurikulum berbasis otonomi.
Implementasi Merdeka Belajar juga memerlukan keterlibatan aktif pemerintah daerah
sebagaimana diuraikan oleh Munawar (2022:70), yang mencakup kolaborasi antara lembaga
pendidikan dan pemangku kebijakan, optimalisasi peran pemerintah daerah dalam pengawasan
dan dukungan, hingga penyediaan infrastruktur pendidikan yang memadai. Sinergi antara
semua pemangku kepentingan inilah yang akan memperkuat pelaksanaan Merdeka Belajar
secara efektif di berbagai level pemerintahan.
Setiap siswa mengembangkan profil pelajar Pancasila melalui berbagai jalur seperti
kegiatan ekstrakurikuler, budaya sekolah, pembelajaran intrakurikuler, serta proyek yang
dirancang untuk memperkuat nilai dan keterampilan karakter (Kemendikbudristek, 2021).
Budaya sekolah merupakan bagian penting dalam penguatan profil pelajar Pancasila, di mana
seluruh elemen sekolah termasuk kepala sekolah, guru, siswa, dan masyarakat menjunjung
tinggi nilai-nilai, simbol, dan kebiasaan yang menjadi fondasi karakter sekolah. Budaya
sekolah menjadi identitas dan citra lembaga pendidikan di mata masyarakat (Sukadari,
2020:76). Selain itu, penguatan profil pelajar juga dilakukan melalui proyek berbasis isu-isu
aktual seperti anti-radikalisasi, teknologi, kewirausahaan, dan perubahan iklim. Proyek ini
dirancang sesuai tahapan perkembangan siswa dan bertujuan menanamkan kemampuan
berpikir kritis serta nilai-nilai karakter berdasarkan standar kompetensi lulusan
(Kemendikbudristek, 2021; Kemendikbudristek No. 56/M/2022).
Di sisi lain, pembelajaran intrakurikuler juga menjadi instrumen penting dalam penguatan
karakter siswa. Pendidikan karakter diintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran melalui
pendekatan yang kontekstual dan relevan dengan nilai-nilai profil pelajar Pancasila (Maunah,
2015:90-101; Baidowi, 2020:309). Sebagai contoh, mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKN) berperan dalam menanamkan nilai toleransi, empati, dan kepedulian;
pendidikan agama membentuk sikap taat dan spiritualitas; sementara mata pelajaran ilmu
sosial mengembangkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, integritas, dan keadilan
(Badawi, 2019:207). Secara keseluruhan, pembelajaran intrakurikuler tidak hanya membentuk
kompetensi akademik siswa, tetapi juga memperkuat karakter melalui pengalaman belajar
yang bermakna dan kolaboratif di dalam kelas, menjadikannya bagian integral dari
pengembangan profil pelajar Pancasila.
Identitas diri seseorang dibentuk melalui keterlibatan dalam kelompok sosial, sehingga
tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosial tempat individu tersebut berada. Identitas ini
mencerminkan cara seseorang memahami dan menempatkan dirinya dalam struktur sosial.
Maryam (2018:47) menyatakan bahwa identitas kolektif, atau yang dikenal sebagai diri sosial
(social self), memainkan peran penting dalam pembentukan cara berpikir tentang diri. Diri
sosial ini meliputi berbagai aspek seperti konsep diri, harga diri, kesadaran diri, presentasi diri,
dan pengungkapan diri yang menjadi elemen penting dalam interaksi sosial sehari-hari.
Dalam konteks implementasi Proyek Penguatan Profil Pelajar Rahmatan Lil Alamin
(P5RA), sekolah sebagai komunitas memiliki peran strategis dalam membentuk identitas
sosial siswa secara positif. Siswa madrasah, misalnya, memiliki identitas sebagai bagian dari
komunitas muslim, yang memungkinkan guru untuk menanamkan nilai-nilai Rahmatan Lil
Alamin sebagai norma bersama yang sesuai dengan ajaran Islam. Identitas ini tidak hanya
memperkuat kebersamaan siswa dalam komunitas pendidikan, tetapi juga menjadi sarana
efektif dalam menumbuhkan nilai-nilai keagamaan dan sosial yang inklusif.