Pendekatan ini bersifat teknokratis dan tidak netral. Ia mereklasifikasi laut menjadi aset
ekonomi, menghapus keberadaan serta fungsi sosial-ekologis laut yang selama ini dijalankan
masyarakat.
Dimensi kedua, spatial practices, mengacu pada bagaimana masyarakat menggunakan
dan memberi makna pada ruang dalam kehidupan sehari-hari. Nelayan di Batu Beriga,
misalnya, menggunakan pengetahuan lokal untuk menentukan zona tangkap berdasarkan
musim, arah arus, dan tanda-tanda alam seperti posisi bintang. Sayangnya, pengetahuan ini
tidak muncul dalam dokumen zonasi resmi. Ketika logika teknokratis mendominasi,
pengetahuan lokal seperti ini tersingkir. Hal ini mencerminkan apa yang disebut de Sousa
Santos (2018) sebagai epistemicide, yakni pemusnahan pengetahuan lokal oleh sistem
pengetahuan yang dominan.
Dimensi ketiga, representational space, merujuk pada makna simbolik, kultural, dan
spiritual yang dilekatkan masyarakat pada ruang. Bagi warga Batu Beriga, laut bukan hanya
tempat mencari nafkah, tetapi juga ruang hidup yang sarat makna. Dalam budaya lokal, laut
disebut sebagai “ibu yang memberi makan.” Mereka masih rutin menggelar ritual seperti taber
laot sebagai bentuk penghormatan kepada alam dan leluhur. Bahkan, ada bagian laut yang
dianggap sakral dan tak boleh diganggu. Namun, ketika logika negara dan perusahaan masuk
melalui representations of space, makna-makna ini tersisih dan dianggap tidak relevan dalam
narasi pembangunan modern. Ketika representasi ruang dari negara dan korporasi tidak
mengakomodasi praktik dan makna yang dimiliki masyarakat, muncullah counter-space, yakni
ruang tandingan yang dibentuk sebagai bentuk perlawanan. Di Batu Beriga, counter-space ini
lahir lewat aksi-aksi massa seperti demonstrasi di Pantai Payak Duri, yang menyulap ruang
wisata menjadi arena politik. Masyarakat juga membangun narasi tandingan di media sosial,
forum warga, hingga wawancara media, di mana laut dimaknai kembali sebagai ruang hidup,
bukan zona industri.
Bentuk lain dari counter-space juga tampak dalam berbagai tuntutan masyarakat, seperti
permintaan revisi zonasi laut, pencabutan izin PT Timah, hingga advokasi hukum dan gerakan
budaya yang mengangkat kembali nilai-nilai lokal. Ini sejalan dengan pemikiran David Harvey
(2009), bahwa counter-space adalah cara masyarakat memperjuangkan ruang alternatif yang
lebih adil, bukan hanya dalam bentuk fisik, tapi juga melalui simbol, narasi, dan praktik sehari-
hari. Dominasi negara dalam membentuk representations of space pada dasarnya adalah
bentuk hegemoni. Seperti dikatakan Gramsci (2023), hegemoni tidak hanya bekerja melalui
kekuasaan dan represi, tetapi juga melalui normalisasi makna dominan, dalam hal ini,
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Namun, pengalaman di Batu Beriga menunjukkan
bahwa hegemoni ini tidak absolut. Warga menolak pembangunan yang mengabaikan dimensi
sosial dan ekologis, dan menuntut hak untuk menjalani, memahami, dan mengelola ruang
hidup mereka sendiri. Inilah bentuk nyata dari hak atas ruang sebagaimana yang dimaksud
Lefebvre.
Pembahasan Teoretik: Blue Grabbing dan Keadilan Spasial Laut
Temuan lapangan di Desa Batu Beriga memperlihatkan bahwa konflik yang terjadi di
laut tidak bisa dipandang sekadar sebagai persoalan antara nelayan dan perusahaan tambang.
Konflik ini mencerminkan ketegangan yang lebih besar dan bersifat struktural dalam kerangka
ekonomi biru (blue economy), di mana negara dan pasar kerap bergandengan tangan untuk
menguasai ruang pesisir demi kepentingan akumulasi modal. Inilah yang disebut sebagai blue
grabbing (Bavinck et al., 2017), yakni penguasaan wilayah laut secara legal maupun informal,
yang dibungkus dengan dalih pembangunan dan pertumbuhan.
Secara ideal, konsep blue economy digambarkan sebagai pendekatan pembangunan yang
menyatukan pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan sosial
(Bennett, 2022). Namun dalam praktiknya, terutama di negara-negara Global Selatan seperti