Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2024, Page: 143-155
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
143
Budi Darmawan et.al (Kapital, Negara, dan Laut yang Terampas:....)
Kapital, Negara, dan Laut yang Terampas: Analisis
Sosio-Spasial Dinamika Penolakan Tambang Timah di
Perairan Desa Batu Beriga
Budi Darmawan
a,1
*, Novendra Hidayat
b,2
a
Sosiologi Universitas Bangka Belitung, Gang IV No. 1 Balun Ijuk Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka,
Balunijuk 33126, Indonesia
b
Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung, Gang IV No. 1 Balun Ijuk Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka,
Balunijuk 33126, Indonesia
1
budidarmawan@ubb.ac.id;
2
*
Budi Darmawan
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 25 Februari 2025
Direvisi: 10 Mei 2025
Disetujui: 19 Juni 2025
Tersedia Daring: 24 Juli 2025
Aktivitas pertambangan timah di Pulau Bangka, yang telah berlangsung
sejak era kolonial, memberikan kontribusi ekonomi nasional yang signifikan.
Namun, dominasi ruang laut oleh konsesi pertambangan telah menimbulkan
konflik ekologis dan sosial di tingkat lokal. Artikel ini bertujuan menganalisis
dinamika resistensi masyarakat pesisir terhadap ekspansi pertambangan
timah di wilayah perairan Desa Batu Beriga, Bangka Tengah, dalam
perspektif produksi ruang. Dengan pendekatan sosio-spasial yang merujuk
pada pemikiran Henri Lefebvre dan David Harvey, penelitian ini menelusuri
bagaimana negara dan korporasi mengonstruksi ruang laut sebagai
komoditas melalui kebijakan tata ruang yang eksklusioner. Metode yang
digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data
melalui wawancara mendalam dan studi dokumen. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dominasi ruang laut oleh perusahaan tambang
didukung oleh kebijakan tata ruang yang eksklusioner, akan menciptakan
eksklusi spasial dan mendorong marjinalisasi nelayan tradisional. Bentuk-
bentuk resistensi yang muncul merepresentasikan upaya masyarakat dalam
merebut kembali ruang hidup mereka dari kekuasaan kapitalistik yang
eksploitatif. Temuan ini memberikan kontribusi bagi kajian konflik sosio-
ekologis pesisir dan memperluas wacana kritis tentang produksi ruang
dalam konteks kebijakan sumber daya alam di Indonesia.
Kata Kunci:
Bangka Belitung
Konflik lingkungan
Nelayan
Produksi ruang
Resistensi sosial
Tambang timah
ABSTRACT
Keywords:
Bangka Belitung
Environmental conflict
Social resistance
Small-scale fishers
Spatial production
Tin mining
Tin mining activities on Bangka Island, which have persisted since the colonial
era, have made a significant contribution to Indonesia’s national economy.
However, the dominance of marine space by mining concessions has triggered
ecological and social conflicts at the local level. This article aims to analyze the
dynamics of coastal community resistance against the expansion of tin mining
in the waters of Batu Beriga Village, Central Bangka, through the lens of
spatial production. Drawing on the socio-spatial approaches of Henri Lefebvre
and David Harvey, this study explores how the state and corporations
construct the sea as a commodity through exclusionary spatial planning
policies. Using a descriptive qualitative method, data were collected through
in-depth interviews and document analysis. The findings reveal that the
dominance of marine space by mining companies, enabled by exclusionary
spatial policies, has led to spatial exclusion and the marginalization of
traditional fishers. The forms of resistance that have emerged reflect
community efforts to reclaim their living space from exploitative capitalist
power. This study contributes to the literature on socio-ecological conflicts in
coastal areas and expands critical discourse on the production of space in the
context of natural resource governance in Indonesia.
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2024, Page: 143-155
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
144
Budi Darmawan et.al (Kapital, Negara, dan Laut yang Terampas:....)
©2025, Budi Darmawan, Novendra Hidayat
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Pulau Bangka sudah sejak lama dikenal sebagai pusat utama pertambangan timah di
Indonesia. Sejak abad ke-18, timah telah menjadi komoditas bernilai tinggi. Pada masa
Kesultanan Palembang, logam ini sudah diperjualbelikan di pasar internasional. Ketika
Belanda menjajah, eksploitasi timah semakin intensif dengan didirikannya perusahaan tambang
negara seperti Banka Tin Winning Bedrijf (BTW) (Kusumah et al., 2024). Kebijakan kolonial
itu menjadikan timah sebagai sektor ekonomi unggulan sekaligus membawa masuk tenaga
kerja Tionghoa, yang kemudian membentuk struktur sosial dan pola demografi yang bertahan
hingga kini (Erman, 2009).
Setelah Indonesia merdeka, industri timah dinasionalisasi dan kemudian dikelola oleh
pemerintah melalui PT Timah (Persero) Tbk. Pada era Orde Baru, pengelolaan tambang
dilakukan secara sentralistik dan dianggap strategis oleh negara (Citra, 2014). Namun,
reformasi 1998 membawa perubahan besar. Melalui Kepmenperindag No. 146/1999, status
timah sebagai komoditas strategis dicabut. Ditambah dengan diberlakukannya otonomi daerah,
peluang bagi pertambangan rakyat pun terbuka lebar. Pemerintah Kabupaten Bangka,
misalnya, mengesahkan tambang skala kecil lewat Perda No. 20 Tahun 2001 (Haryadi et al.,
2025). Akibatnya, tambang rakyat tumbuh pesat dan meluas, tapi sulit dikendalikan.
Pertumbuhan tambang rakyat ini membawa dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Banyak warga yang sebelumnya bekerja sebagai petani atau nelayan beralih menjadi
penambang karena tergiur oleh keuntungan cepat (Ahmad, 2022). Namun, perubahan ini juga
menciptakan ketimpangan baru, yakni kelompok pemilik modal dan cukong meraup untung
besar, sementara mayoritas warga hanya menjadi buruh tambang dengan penghasilan yang
tidak menentu (Sholihin, 2021). Kerusakan lingkungan pun tak terelakkan. Ribuan lubang
bekas tambang (kolong) terbengkalai dan mencemari air tanah serta sungai. Dinas Kehutanan
Provinsi Bangka Belitung mencatat lebih dari 20.000 hektare lahan dalam kondisi kritis akibat
tambang timah (DLHK Babel, 2020).
Ketika cadangan timah di darat mulai menipis, aktivitas tambang mulai menyasar laut. Di
sinilah konflik makin rumit, karena laut merupakan ruang hidup utama bagi masyarakat
nelayan tradisional (Sulista et al., 2019). Bagi mereka, laut bukan sekadar sumber
penghidupan, melainkan ruang sosial, budaya, dan ekologis yang diwariskan lintas generasi.
Sebaliknya, negara dan korporasi melihat laut sebagai aset ekonomi dalam kerangka blue
economy yang bisa dieksploitasi demi pertumbuhan (Bavinck et al., 2017).
Salah satu konflik nyata terjadi di Desa Batu Beriga, Kecamatan Lubuk Besar, Bangka
Tengah, yang sekitar 80% penduduknya menggantungkan hidup pada perikanan tangkap
(Mongabay Indonesia, 2024). Sayangnya, laut mereka masuk dalam zona tambang berdasarkan
Perda No. 3 Tahun 2020 tentang RZWP3K dan ditetapkan sebagai wilayah operasi PT Timah
(Pemprov Babel, 2020). Padahal, perairan Batu Beriga dikenal masih alami dan produktif.
Keputusan tersebut menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan warga. Mereka khawatir
kehadiran tambang akan merusak ekosistem laut, menghancurkan terumbu karang, dan
mengurangi hasil tangkapan. Gelombang penolakan pun muncul, dengan aksi protes yang
berlangsung di berbagai tempat strategis seperti kantor bupati, DPRD, hingga kantor gubernur.
Masyarakat menuntut agar IUP PT Timah dicabut dan zonasi laut dikembalikan menjadi
wilayah tangkap nelayan (ANTARA News, 2023).
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2024, Page: 143-155
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
145
Budi Darmawan et.al (Kapital, Negara, dan Laut yang Terampas:....)
Fenomena serupa juga terjadi di berbagai wilayah pesisir lain, seperti Matras, Batu
Perahu, dan Pulau Lepar. Konflik utamanya berkisar pada tumpang tindih klaim atas ruang,
antara logika eksploitasi jangka pendek yang diusung oleh kapitalisme ekstraktif dan hak
komunitas lokal untuk mempertahankan keberlanjutan hidup mereka. Dalam kerangka
pemikiran Henri Lefebvre, konflik ini mencerminkan pertarungan antara representations of
space (ruang yang dikonstruksikan negara dan korporasi melalui peta, kebijakan, dan regulasi)
dan representational spaces (ruang hidup yang secara kultural bermakna bagi masyarakat)
(Lefebvre, 2020). Melalui RZWP3K, negara menginterpretasikan laut sebagai ruang yang dapat
dibagi-bagi untuk tambang, wisata, atau konservasi. Namun bagi nelayan, laut bukan sekadar zona
fungsional, melainkan ekosistem hidup yang penuh nilai. Ketika ruang hidup direduksi menjadi ruang
ekonomi, bentuk perlawanan muncul melalui mobilisasi sosial dan advokasi kebijakan.
David Harvey (2009) menyebut proses ini sebagai accumulation by dispossession, yaitu
perampasan ruang hidup masyarakat demi akumulasi kapital. Dalam konteks ini, negara dan
perusahaan mengambil alih laut secara sah melalui izin dan kebijakan, tapi secara substansial
telah mencabut akses masyarakat terhadap sumber hidup mereka. Proses ini bersifat fisik
sekaligus simbolik karena turut menghapus identitas dan nilai-nilai lokal yang melekat pada
ruang tersebut. Konsep blue grabbing dari Bavinck et al. (2017) juga menyoroti bahwa narasi
blue economy yang katanya berkelanjutan, justru sering digunakan untuk memprivatisasi dan
mengeksklusi masyarakat dari ruang laut. Di Bangka, gejala ini sangat nyata. Zona tambang
laut mencapai lebih dari 229.000 hektare, jauh melampaui luasan kawasan konservasi dan
wilayah tangkap tradisional. Celakanya, nelayan kecil sering tidak dilibatkan dalam
penyusunan kebijakan dan tak punya posisi tawar yang kuat (Bidayani et al., 2022).
Mengacu pada Lefebvre (2020), gerakan warga Batu Beriga bisa dibaca sebagai bentuk
counter-space, yakni ruang tandingan yang muncul dari perlawanan politik terhadap dominasi
negara dan korporasi. Mereka tak hanya menolak tambang, tetapi juga menuntut keadilan
spasial dan pengakuan atas hak mereka atas ruang hidup. Tuntutan revisi zonasi laut,
pengakuan atas wilayah tangkap tradisional, dan perlindungan ekosistem adalah wujud konkret
dari hak atas ruang. Melalui pendekatan sosio-spasial, penelitian ini bertujuan menelusuri
bagaimana ruang laut di Batu Beriga diproduksi, dikontrol, dan diperebutkan oleh tiga aktor
utama, yakni negara, perusahaan tambang, dan masyarakat pesisir. Dengan menelaah dinamika
resistensi yang muncul, artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemahaman
tentang konflik sosio-ekologis di wilayah pesisir, khususnya dalam konteks ekspansi
kapitalisme ekstraktif yang semakin kuat di Indonesia.
2. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus intrinsik, di mana Desa Batu Beriga
tidak hanya dilihat sebagai contoh dari persoalan yang lebih luas, tetapi juga sebagai sebuah
kasus yang unik dan penting untuk dipahami secara mendalam (Creswell & Poth, 2018).
Lokasi ini dipilih karena menjadi titik temu sekaligus titik benturan antara kepentingan negara,
perusahaan, dan masyarakat pesisir, yang memperlihatkan ketegangan nyata dalam penguasaan
ruang laut. Dengan pendekatan studi kasus intrinsik, peneliti dapat menggali persoalan secara
utuh dan kontekstual, terutama untuk memahami bagaimana relasi kuasa terbentuk dan
termanifestasi dalam ruang laut. Yin (2018) menjelaskan bahwa strategi ini cocok digunakan
ketika penelitian bertujuan menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” atas suatu
fenomena kontemporer yang batas-batasnya dengan konteks tidak selalu jelas. Desa Batu
Beriga, yang berada di Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah, dipilih sebagai
lokasi penelitian karena memiliki wilayah laut yang masih produktif dan belum terdampak
aktivitas tambang laut. Selain itu, desa ini juga menjadi titik awal munculnya penolakan
masyarakat terhadap rencana eksplorasi tambang timah oleh PT Timah Tbk (Mongabay
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2024, Page: 143-155
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
146
Budi Darmawan et.al (Kapital, Negara, dan Laut yang Terampas:....)
Indonesia, 2024). Penelitian ini menyoroti tiga aspek utama sebagai unit analisis: (1) kebijakan
zonasi laut (RZWP3K Provinsi Bangka Belitung) dan perizinan tambang laut, (2) strategi PT
Timah dalam mengakses dan menguasai ruang laut, serta (3) bentuk-bentuk perlawanan dari
masyarakat nelayan, baik melalui aksi demonstrasi, gerakan sosial, maupun narasi tandingan
yang mereka bangun. Pemilihan informan dilakukan secara purposif, yaitu berdasarkan
pertimbangan bahwa mereka memiliki pengalaman, pengetahuan, atau keterlibatan langsung
dengan isu pertambangan laut. Informan yang dipilih berasal dari kalangan nelayan tradisional
di Batu Beriga, Direktur WALHI Bangka Belitung, dan pejabat dari BAPPEDA Pemerintah
Provinsi Bangka Belitung. Jumlah informan bersifat fleksibel dan mengikuti prinsip data
saturation, artinya proses wawancara dihentikan saat informasi yang diperoleh sudah berulang
dan tidak memberikan temuan baru (Guest, Bunce, & Johnson, 2006).
3. Hasil dan Pembahasan
Produksi Ruang Laut oleh Negara dan Korporasi Tambang
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa laut di Desa Batu Beriga bukan
sekadar wilayah geografis atau lokasi kegiatan ekonomi. Lebih dari itu, laut menjadi arena
yang dipenuhi tarik-menarik kepentingan politik, ekonomi, dan sosial. Laut diproduksi sebagai
ruang yang diperebutkan oleh berbagai aktor, sebagaimana ditegaskan Lefebvre (2020), bahwa
ruang bukanlah sesuatu yang netral, melainkan hasil dari interaksi, konflik, dan negosiasi
sosial. Ruang terdiri dari tiga dimensi, yakni representasi ruang, praktik spasial, dan ruang yang
dimaknai secara simbolik.
Di Batu Beriga, negara dan perusahaan tambang membentuk citra laut sebagai aset
ekonomi melalui kebijakan zonasi laut (RZWP3K), yang kemudian dilegitimasi dalam Perda
No. 3 Tahun 2020. Laut di sekitar desa ini dimasukkan ke dalam zona tambang dan ditetapkan
sebagai wilayah operasi PT Timah Tbk. Kebijakan ini mencerminkan dominasi satu sisi dalam
membentuk makna ruang, yang mengabaikan nilai-nilai sosial dan ekologis yang selama ini
dihayati masyarakat. Hingga kini, lebih dari 229.000 hektare perairan di sisi timur Bangka telah
dikategorikan sebagai zona tambang, jauh lebih luas dibandingkan kawasan konservasi atau
wilayah perikanan tradisional (Sukarman, & Gani, 2017). Proses ini berlangsung secara
sepihak, tanpa melibatkan masyarakat secara bermakna. Seorang nelayan bahkan menyatakan
bahwa mereka tidak pernah diajak bicara dalam penyusunan kebijakan ini, tiba-tiba saja laut
tempat mereka biasa mencari nafkah berubah status menjadi wilayah tambang. Ini merupakan
bentuk eksklusi spasial, di mana masyarakat hanya dijadikan objek dari kebijakan negara dan
korporasi.
Pendekatan ini bertentangan dengan prinsip good governance dalam pengelolaan sumber
daya alam, yang seharusnya menjamin partisipasi dan melindungi hak komunitas lokal
(Nugraha, 2023). Negara memandang laut sebagai space of flows (Castells, 2024), yakni ruang
yang direduksi menjadi jalur sirkulasi modal dan investasi global. Dalam kerangka ini, PT
Timah menjadi pelaksana utama proses akumulasi, dengan dukungan kebijakan zonasi sebagai
legitimasi formal.
Kondisi tersebut menggambarkan apa yang disebut Harvey (2009) sebagai accumulation
by dispossession, yaitu bentuk akumulasi kapital yang terjadi melalui perampasan ruang hidup
masyarakat, bukan lagi semata eksploitasi tenaga kerja. Nelayan di Batu Beriga kehilangan
akses atas wilayah tangkap yang selama ini menopang kehidupan mereka, sementara
perusahaan memperoleh kontrol penuh atas ruang tersebut melalui perangkat hukum. Yang
lebih ironis, pengetahuan lokal masyarakat tentang laut sama sekali tidak dihargai dalam proses
kebijakan. Mereka punya sistem navigasi tradisional, penamaan lokasi laut, dan pengetahuan
musim tangkap, tetapi semua itu tidak pernah dimasukkan ke dalam perencanaan ruang. Proses
zonasi dilakukan secara teknokratis, dengan pendekatan yang kaku, seragam, dan
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2024, Page: 143-155
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
147
Budi Darmawan et.al (Kapital, Negara, dan Laut yang Terampas:....)
menyingkirkan cara pandang masyarakat atas laut sebagai ruang yang mereka jalani dan
maknai setiap hari (Lefebvre, 2020).
Peta zonasi dalam RZWP3K tampil dengan garis-garis lurus dan blok warna yang tampak
rapi, namun sesungguhnya mengaburkan realitas kehidupan masyarakat pesisir. Bagi nelayan,
laut bukan hanya zona ekonomi, tetapi juga ruang sosial, spiritual, bahkan bagian dari identitas
kolektif mereka. Situasi ini makin memperburuk kondisi masyarakat yang masih belum pulih
dari dampak kerusakan ekologis akibat tambang darat. Alih-alih melakukan pemulihan, negara
justru memperluas logika ekstraktif ke wilayah laut. Hal ini menimbulkan situasi double
exposure (Meerow, 2017), yaitu kerentanan ganda secara ekologis dan struktural.
Apa yang terjadi di Batu Beriga juga mencerminkan praktik blue grabbing (Bavinck et
al., 2017), yaitu pengambilalihan ruang laut oleh aktor-aktor kuat dengan dalih efisiensi atau
pembangunan. Praktik ini tidak hanya merampas ruang fisik, tetapi juga meminggirkan
pandangan masyarakat lokal terhadap laut sebagai ruang hidup bersama. Secara keseluruhan,
proses produksi ruang laut di Batu Beriga menunjukkan adanya ketimpangan kekuasaan yang
nyata. Negara dan korporasi membentuk aliansi dominan dalam menentukan fungsi laut,
sementara masyarakat kehilangan ruang untuk menyuarakan hak dan aspirasinya. Laut, yang
seharusnya menjadi ruang bersama (commons), telah direduksi menjadi komoditas ekonomi
dan alat akumulasi kapital, dengan mengorbankan keberlanjutan ekologi dan keadilan ruang
bagi masyarakat pesisir.
Dampak Ekologis dan Sosial terhadap Nelayan Batu Beriga
Dominasi kebijakan tata ruang laut yang menguntungkan industri tambang tidak hanya
tampak dalam regulasi formal seperti RZWP3K, tetapi juga terasa langsung di kehidupan
masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional di Desa Batu Beriga. Bagi mereka, laut
bukan sekadar ruang ekonomi, melainkan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial,
budaya, dan spiritual yang diwariskan secara turun-temurun. Rencana eksploitasi timah lepas
pantai oleh PT Timah Tbk, yang mendapat legitimasi melalui zonasi laut, dianggap sebagai
ancaman nyata terhadap keberlangsungan ekosistem dan mata pencaharian mereka.
Menurut WALHI (2024), perairan Batu Beriga merupakan jalur penting migrasi dan
pemijahan ikan pelagis dan demersal, dengan ekosistem karang dan lamun sebagai habitat
utamanya. Kehadiran kapal isap produksi (KIP) mengakibatkan peningkatan sedimentasi,
merusak dasar laut, dan menyebabkan penurunan populasi ikan secara drastis. Para nelayan di
lapangan menyadari betul dampak ini. Salah satu dari mereka mengatakan, “sekarang bisa
dapat 2030 kg ikan sehari, bahkan bisa lebih. Kalau tambang timah di laut ini beroperasi,
mungkin 5 kilo pun susah”. Kondisi serupa juga terjadi di wilayah lain seperti Toboali dan
Matras, di mana hasil tangkapan ikan menurun hingga 6080% dalam dua tahun pertama sejak
tambang mulai beroperasi (Arnanda, 2021). Ini menunjukkan adanya pola kerusakan
lingkungan laut yang sistemik dan dapat diukur. Namun, sekali lagi, laut bukan hanya tentang
ekonomi. Ia juga menjadi ruang yang sarat makna kultural dan spiritual. Warga Batu Beriga,
misalnya, masih melaksanakan ritual taber laot sebagai bentuk penghormatan terhadap alam
dan leluhur. Kerusakan laut berarti juga hilangnya tradisi dan nilai-nilai kehidupan yang
mereka junjung. Dalam perspektif Escobar (2018), hal ini menggambarkan ekspansi
kapitalisme yang menggerus cara pandang lokal, yakni menggantikan hubungan ekologis yang
mendalam dengan logika produksi dan akumulasi.
Kerentanan ekologis ini pada akhirnya meluas menjadi kerentanan sosial. Ketika laut tak
lagi bisa diandalkan, muncul tekanan dalam komunitas. Di Batu Beriga, masyarakat mulai
terbelah, ada yang mendukung tambang, ada pula yang menolak keras. Umumnya, mereka
yang mendukung memiliki keterkaitan langsung dengan perusahaan dan mendapatkan manfaat
ekonomi jangka pendek. Sebaliknya, mereka yang menolak, terutama para nelayan dan
perempuan mengalami langsung dampak kerusakan lingkungan terhadap kehidupan sehari-hari
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2024, Page: 143-155
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
148
Budi Darmawan et.al (Kapital, Negara, dan Laut yang Terampas:....)
mereka. Polarisasi ini memunculkan konflik horizontal, saling curiga, bahkan intimidasi
terhadap warga yang aktif menyuarakan penolakan.
Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut Neville, K. J., & Martin, S. J. (2022)
sebagai internal fracture, yakni keretakan solidaritas dalam komunitas yang disebabkan oleh
masuknya kepentingan eksternal. Konflik tak lagi hanya bersifat vertikal antara rakyat dan
negara atau korporasi, melainkan juga mengoyak hubungan sosial di dalam masyarakat itu
sendiri. Situasi ini diperparah dengan ketimpangan informasi, yakni kelompok pro-tambang
memiliki akses langsung ke informasi dari perusahaan atau pemerintah, sementara kelompok
penolak hanya mengandalkan media dan bantuan dari organisasi masyarakat sipil.
Ketimpangan ini menciptakan asymmetry of knowledge, yang pada akhirnya memperkuat
dominasi narasi resmi.
Dampak yang paling terasa juga dirasakan oleh perempuan nelayan. Mereka memegang
peran penting dalam mengolah hasil tangkapan, mengatur distribusi, dan menjaga stabilitas
ekonomi rumah tangga. Saat tangkapan menurun, merekalah yang pertama harus beradaptasi,
mengencangkan pengeluaran, mencari tambahan penghasilan, dan memikirkan ulang masa
depan keluarga. Namun, suara perempuan nyaris tak terdengar dalam forum-forum resmi. Ini
menandakan rendahnya kepekaan gender dalam kebijakan pengelolaan ruang laut, meskipun
dampaknya sangat nyata dan berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Kerusakan laut juga berdampak pada hilangnya pengetahuan lokal yang selama ini
diwariskan dari generasi ke generasi. Teknik menangkap ikan, pengetahuan tentang arus laut,
hingga aturan tidak tertulis antarnelayan menjadi tak relevan ketika ekosistem yang menopang
pengetahuan itu hancur. Escobar menyebut proses ini sebagai epistemicide, yakni pemusnahan
pengetahuan lokal oleh sistem produksi kapitalistik. Dampaknya, anak-anak muda mulai
kehilangan minat untuk melanjutkan profesi sebagai nelayan. Ini bukan sekadar soal ekonomi,
tetapi juga tentang keberlanjutan sosial dan kultural komunitas pesisir. Upaya warga untuk
mengembangkan alternatif ekonomi berbasis wisata laut juga terhambat. Program wisata
memancing, konservasi terumbu karang, hingga homestay yang digagas oleh komunitas tidak
bisa berkembang karena rusaknya lingkungan dan gangguan dari aktivitas tambang. Artinya,
tambang tidak hanya merusak ekonomi tradisional, tapi juga menutup peluang lahirnya
ekonomi alternatif yang berkelanjutan dan berbasis komunitas.
Resistensi Masyarakat sebagai Ruang Tandingan
Penelitian ini menunjukkan bahwa perlawanan masyarakat Desa Batu Beriga terhadap
pertambangan timah di laut bukan sekadar luapan emosi sesaat. Sebaliknya, ini adalah bentuk
artikulasi politik ruang yang sadar dan terorganisir. Dalam kerangka teori produksi ruang dari
Henri Lefebvre (2020), setiap dominasi ruang oleh kekuatan hegemonik akan memunculkan
ruang tandingan atau counter-space, yakni ruang alternatif yang dibentuk oleh masyarakat
untuk merebut kembali makna, fungsi, dan kendali atas ruang hidup mereka.
Gelombang penolakan terhadap PT Timah Tbk mulai menguat sejak pertengahan 2023.
Akar dari gerakan ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba, tetapi tumbuh dari akumulasi
pengalaman masyarakat yang selama lebih dari dua dekade hidup berdampingan dengan
kerusakan sosial-ekologis akibat tambang darat. Bagi warga Batu Beriga, laut bukan hanya
sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari identitas budaya dan ruang spiritual. Ketika laut
hendak dijadikan lokasi tambang, masyarakat menolak dan meresponsnya dengan aksi
reclaiming space, yakni upaya untuk merebut kembali ruang yang selama ini mereka rawat.
Salah satu momen penting dalam gerakan ini terjadi pada Oktober 2023. Ratusan warga,
termasuk perempuan dan pemuda, menggelar aksi damai di Pantai Bakung Payak Duri. Mereka
menuntut agar izin usaha pertambangan PT Timah dicabut. Dalam aksi ini, pantai diubah
menjadi ruang politik alternatif, yakni tempat masyarakat menyuarakan klaim mereka atas laut
sebagai ruang hidup (lived space). Mereka tidak lagi menjadi objek kebijakan pembangunan,
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2024, Page: 143-155
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
149
Budi Darmawan et.al (Kapital, Negara, dan Laut yang Terampas:....)
tetapi tampil sebagai subjek yang aktif, dengan suara yang didasarkan pada pengalaman dan
pengetahuan ekologis mereka sendiri. Menurut Johnsen (2021), gerakan seperti ini
mencerminkan bentuk blue spatial citizenship, yakni kewargaan ruang laut di mana masyarakat
yang selama ini menjadi penjaga laut dan ekosistemnya, mengklaim hak atas ruang tersebut.
Klaim ini bukan dibangun melalui instrumen hukum formal, melainkan melalui legitimasi
moral, historis, dan ekologis.
Perlawanan ini juga tumbuh menjadi gerakan yang terorganisir, membentuk jejaring kuat
di berbagai tingkat. Di tingkat lokal, mereka menggandeng desa-desa tetangga dan komunitas
nelayan se-pesisir Bangka. Sementara di tingkat regional dan nasional, mereka bekerja sama
dengan organisasi lingkungan seperti WALHI, media seperti Mongabay dan Ekuatorial,
mahasiswa, hingga tokoh-tokoh legislatif. Jejaring ini berperan penting dalam membangun
narasi tandingan yang kuat dan menyebarkannya ke publik yang lebih luas.
Melalui strategi advokasi yang terarah, masyarakat berhasil mendorong DPRD Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Desember 2023.
Dalam forum tersebut, DPRD menyatakan dukungan terhadap tuntutan masyarakat dan
merekomendasikan agar wilayah laut Batu Beriga ditetapkan sebagai zona tanpa tambang (zero
tambang). Langkah ini diperkuat dengan surat resmi dari Bupati Bangka Tengah yang juga
meminta pencabutan IUP PT Timah. Keberhasilan ini menjadi contoh nyata grassroots
political agency, di mana warga mampu menembus ruang-ruang formal kebijakan dan tampil
sebagai aktor politik yang aktif dan vokal.
Selain melalui aksi langsung dan advokasi kebijakan, bentuk resistensi juga muncul
dalam wacana tandingan terhadap narasi dominan yang dibangun negara dan korporasi. Jika
pemerintah menjanjikan konsep "ekonomi biru" sebagai jalan menuju kesejahteraan,
masyarakat justru mengusung gagasan tentang keadilan ekologis dan keberlanjutan berbasis
komunitas. Narasi alternatif ini hidup dan berkembang dalam forum kampung, media sosial,
hingga dokumentasi jurnalistik, menunjukkan bentuk dispositional resistance seperti yang
dijelaskan James Scott (2020), yaitu perlawanan yang hidup melalui simbol, bahasa, dan
memori kolektif masyarakat. Kenangan tentang laut yang dulu bersih, subur, dan penuh
kehidupan menjadi pijakan moral bagi masyarakat untuk menolak keberadaan tambang yang
mereka nilai eksploitatif. Gerakan ini tidak hanya reaktif, tetapi juga membawa visi tentang
pembangunan yang lebih adil, inklusif, dan berpihak kepada masyarakat lokal. Meski begitu,
tantangan tetap ada. Keberhasilan gerakan ini sangat bergantung pada kekuatan solidaritas
antarwilayah, kekompakan internal, serta kemampuan dalam membangun narasi dan
memanfaatkan teknologi komunikasi secara cerdas.
Tumpang Tindih Kebijakan dan Ambiguitas Negara
Penelitian ini menunjukkan bahwa negara tidak hadir sebagai satu kesatuan yang utuh
dan konsisten dalam menangani konflik ruang laut. Sebaliknya, negara tampak ambivalen dan
terpecah-pecah dalam sikap serta tindakannya. Dalam kasus konflik tambang laut di Desa Batu
Beriga, negara memainkan dua peran yang saling bertentangan, di satu sisi menjadi fasilitator
bagi kepentingan kapital dengan mendorong kebijakan tata ruang yang mengakomodasi
industri tambang, namun di sisi lain juga menjadi saluran politik bagi masyarakat yang
menolak tambang, melalui dukungan formal dari sejumlah pejabat daerah. Dualitas ini
memunculkan kebingungan hukum, birokrasi yang tidak sinkron, dan menurunnya kepercayaan
masyarakat terhadap negara sebagai pengelola ruang yang adil.
Melalui Perda No. 3 Tahun 2020 tentang RZWP3K, Pemerintah Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung menetapkan sebagian besar wilayah laut, termasuk zona tangkap nelayan
Batu Beriga, sebagai area tambang. Penetapan ini menunjukkan bahwa arah pembangunan
masih didorong oleh logika ekstraksi ekonomi, yang kerap mengabaikan daya dukung ekologi
dan suara masyarakat lokal. Dalam hal ini, negara tampak lebih berperan sebagai agen
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2024, Page: 143-155
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
150
Budi Darmawan et.al (Kapital, Negara, dan Laut yang Terampas:....)
akumulasi kapital (Harvey, 2009), ketimbang pelindung ruang hidup warga. Namun muncul
paradoks ketika lembaga negara lainnya, seperti DPRD Provinsi dan Bupati Bangka Tengah
malah menyatakan dukungan terhadap penolakan tambang oleh masyarakat. Dalam Rapat
Dengar Pendapat (RDP) yang digelar akhir 2023, DPRD merekomendasikan pencabutan izin
usaha PT Timah, dan mengusulkan agar laut Batu Beriga ditetapkan sebagai zona "zero
tambang" (Wow Babel, 2024). Hal ini menunjukkan bahwa negara bukan entitas tunggal dan
utuh, melainkan ruang perebutan antara berbagai aktor: birokrat, teknokrat, politisi, dan
pemilik modal.
Sikap negara yang tidak jelas ini juga terlihat dari ketimpangan antara kebijakan nasional
dan implementasi di tingkat daerah. Meskipun Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
23 Tahun 2021 menekankan pentingnya konservasi dan pemberdayaan masyarakat pesisir,
Perda RZWP3K Babel justru mengalokasikan sebagian besar wilayah laut untuk tambang. Di
Kabupaten Bangka Tengah saja, hampir separuh lautnya sudah masuk dalam zona tambang,
menyisakan ruang yang sangat terbatas untuk konservasi maupun perikanan rakyat.
Ketimpangan regulasi ini memberikan ruang legal bagi perusahaan seperti PT Timah untuk
mengamankan izin tambang, meski wilayahnya tumpang tindih dengan area tangkap nelayan.
Dalam kondisi seperti ini, masyarakat yang mencoba berpijak pada aturan nasional justru
terjebak dalam kerangka kebijakan daerah yang lebih berpihak pada eksploitasi sumber daya.
Proses penetapan zonasi juga berjalan dalam kerangka yang lebih bersifat simbolis
daripada substantif. Beberapa nelayan mengaku hanya diundang dalam forum-forum formal
yang tidak memberi ruang bagi suara mereka. Bahkan ada yang baru mengetahui bahwa
wilayah tangkap mereka sudah berubah status menjadi zona tambang setelah keputusan
diambil. Partisipasi yang mestinya bermakna berubah menjadi sekadar formalitas. Minimnya
evaluasi terhadap dampak sosial dan ekologi, serta tidak adanya lembaga pengawasan
independen, memperlihatkan lemahnya kapasitas negara dalam menjalankan fungsi korektif.
Negara hadir dalam bentuk aturan dan dokumen hukum, namun absen dalam menjalankan
pengawasan yang berpihak kepada kepentingan publik. Celah ini justru memperkuat posisi
perusahaan dalam menguasai ruang laut secara legal.
Meski begitu, masyarakat Batu Beriga menunjukkan kemampuan memanfaatkan celah
dalam struktur negara. Dengan membangun aliansi bersama organisasi masyarakat sipil dan
melakukan tekanan politik, mereka berhasil mendorong DPRD dan bupati untuk menyuarakan
penolakan terhadap tambang laut. Temuan ini menegaskan bahwa negara, meskipun bersifat
ambigu, tetap bisa menjadi ruang perjuangan politik yang bisa dimasuki dan diperebutkan
(Harvey, 2009). Namun, tanpa perubahan mendasar dalam sistem pengelolaan ruang laut dan
relasi antara pusat dan daerah, konflik serupa sangat mungkin terus terjadi, dan masyarakat
pesisir akan terus menjadi pihak yang paling rentan terdampak.
Analisis Sosio-Spasial: Perebutan Representasi dan Praktik Ruang
Fenomena tambang timah di pesisir Desa Batu Beriga menunjukkan bahwa konflik yang
terjadi bukan sekadar soal rebutan wilayah secara fisik, tapi juga soal perebutan makna, fungsi,
dan siapa yang berhak mengatur ruang tersebut. Dalam kerangka pemikiran Henri Lefebvre,
khususnya dalam The Production of Space (2020), ruang tidak pernah netral, ia selalu
diproduksi secara sosial melalui tiga dimensi: representasi ruang (representations of space),
praktik ruang sehari-hari (spatial practices), dan makna simbolik atas ruang (representational
spaces). Ketiga dimensi ini sering kali saling berbenturan, dan kasus di Batu Beriga
mencerminkan ketegangan tersebut secara nyata.
Dimensi pertama, representations of space, adalah cara aktor dominan seperti negara dan
perusahaan mendefinisikan dan mengatur ruang. Biasanya tercermin dalam peta, kebijakan,
atau dokumen perencanaan. Di Batu Beriga, contohnya terlihat dalam Perda No. 3 Tahun 2020
tentang RZWP3K, yang menetapkan sebagian besar laut sebagai zona pertambangan.
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2024, Page: 143-155
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
151
Budi Darmawan et.al (Kapital, Negara, dan Laut yang Terampas:....)
Pendekatan ini bersifat teknokratis dan tidak netral. Ia mereklasifikasi laut menjadi aset
ekonomi, menghapus keberadaan serta fungsi sosial-ekologis laut yang selama ini dijalankan
masyarakat.
Dimensi kedua, spatial practices, mengacu pada bagaimana masyarakat menggunakan
dan memberi makna pada ruang dalam kehidupan sehari-hari. Nelayan di Batu Beriga,
misalnya, menggunakan pengetahuan lokal untuk menentukan zona tangkap berdasarkan
musim, arah arus, dan tanda-tanda alam seperti posisi bintang. Sayangnya, pengetahuan ini
tidak muncul dalam dokumen zonasi resmi. Ketika logika teknokratis mendominasi,
pengetahuan lokal seperti ini tersingkir. Hal ini mencerminkan apa yang disebut de Sousa
Santos (2018) sebagai epistemicide, yakni pemusnahan pengetahuan lokal oleh sistem
pengetahuan yang dominan.
Dimensi ketiga, representational space, merujuk pada makna simbolik, kultural, dan
spiritual yang dilekatkan masyarakat pada ruang. Bagi warga Batu Beriga, laut bukan hanya
tempat mencari nafkah, tetapi juga ruang hidup yang sarat makna. Dalam budaya lokal, laut
disebut sebagai “ibu yang memberi makan.” Mereka masih rutin menggelar ritual seperti taber
laot sebagai bentuk penghormatan kepada alam dan leluhur. Bahkan, ada bagian laut yang
dianggap sakral dan tak boleh diganggu. Namun, ketika logika negara dan perusahaan masuk
melalui representations of space, makna-makna ini tersisih dan dianggap tidak relevan dalam
narasi pembangunan modern. Ketika representasi ruang dari negara dan korporasi tidak
mengakomodasi praktik dan makna yang dimiliki masyarakat, muncullah counter-space, yakni
ruang tandingan yang dibentuk sebagai bentuk perlawanan. Di Batu Beriga, counter-space ini
lahir lewat aksi-aksi massa seperti demonstrasi di Pantai Payak Duri, yang menyulap ruang
wisata menjadi arena politik. Masyarakat juga membangun narasi tandingan di media sosial,
forum warga, hingga wawancara media, di mana laut dimaknai kembali sebagai ruang hidup,
bukan zona industri.
Bentuk lain dari counter-space juga tampak dalam berbagai tuntutan masyarakat, seperti
permintaan revisi zonasi laut, pencabutan izin PT Timah, hingga advokasi hukum dan gerakan
budaya yang mengangkat kembali nilai-nilai lokal. Ini sejalan dengan pemikiran David Harvey
(2009), bahwa counter-space adalah cara masyarakat memperjuangkan ruang alternatif yang
lebih adil, bukan hanya dalam bentuk fisik, tapi juga melalui simbol, narasi, dan praktik sehari-
hari. Dominasi negara dalam membentuk representations of space pada dasarnya adalah
bentuk hegemoni. Seperti dikatakan Gramsci (2023), hegemoni tidak hanya bekerja melalui
kekuasaan dan represi, tetapi juga melalui normalisasi makna dominan, dalam hal ini,
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Namun, pengalaman di Batu Beriga menunjukkan
bahwa hegemoni ini tidak absolut. Warga menolak pembangunan yang mengabaikan dimensi
sosial dan ekologis, dan menuntut hak untuk menjalani, memahami, dan mengelola ruang
hidup mereka sendiri. Inilah bentuk nyata dari hak atas ruang sebagaimana yang dimaksud
Lefebvre.
Pembahasan Teoretik: Blue Grabbing dan Keadilan Spasial Laut
Temuan lapangan di Desa Batu Beriga memperlihatkan bahwa konflik yang terjadi di
laut tidak bisa dipandang sekadar sebagai persoalan antara nelayan dan perusahaan tambang.
Konflik ini mencerminkan ketegangan yang lebih besar dan bersifat struktural dalam kerangka
ekonomi biru (blue economy), di mana negara dan pasar kerap bergandengan tangan untuk
menguasai ruang pesisir demi kepentingan akumulasi modal. Inilah yang disebut sebagai blue
grabbing (Bavinck et al., 2017), yakni penguasaan wilayah laut secara legal maupun informal,
yang dibungkus dengan dalih pembangunan dan pertumbuhan.
Secara ideal, konsep blue economy digambarkan sebagai pendekatan pembangunan yang
menyatukan pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan sosial
(Bennett, 2022). Namun dalam praktiknya, terutama di negara-negara Global Selatan seperti
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2024, Page: 143-155
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
152
Budi Darmawan et.al (Kapital, Negara, dan Laut yang Terampas:....)
Indonesia implementasinya cenderung berat sebelah, lebih berpihak pada investasi besar di
sektor pertambangan laut, perikanan industri, energi lepas pantai, dan pariwisata eksklusif.
Alih-alih merangkul keragaman praktik lokal, zonasi laut lebih banyak ditentukan oleh
kepentingan pertumbuhan ekonomi semata.
Regulasi seperti Perpres No. 34 Tahun 2022 dan Permen KP No. 23 Tahun 2021
mempertegas posisi laut sebagai “wilayah baru” pembangunan nasional. Namun di balik narasi
optimistis itu tersembunyi ketimpangan relasi kuasa antara negara, investor, dan masyarakat
pesisir. Seperti dikritik oleh Silver et al. (2015), konsep blue economy seringkali mengabaikan
keberagaman pengetahuan lokal dan membuat suara masyarakat nelayan nyaris tidak terdengar
dalam diskursus pembangunan. Di Batu Beriga, blue grabbing terjadi lewat kebijakan legal,
seperti wilayah laut tradisional nelayan dimasukkan ke dalam zona pertambangan dalam
dokumen RZWP3K. Dengan payung hukum ini, PT Timah memperoleh Izin Usaha
Pertambangan (IUP), meskipun laut itu sejak lama menjadi tempat bergantungnya mata
pencaharian nelayan lokal. Inilah yang disebut legal dispossession, yakni perampasan ruang
hidup yang sah secara hukum, tapi tidak melibatkan masyarakat dalam prosesnya, tanpa
kompensasi, tanpa kajian dampak yang partisipatif, dan tanpa ruang negosiasi yang berarti.
Situasi ini sejalan dengan gagasan David Harvey (2009) tentang accumulation by
dispossession, di mana negara justru menciptakan perangkat hukum untuk memindahkan
kendali atas ruang publik kepada kepentingan korporasi. Laut dijadikan sekadar aset ekonomi,
sementara kepercayaan masyarakat terhadap negara mulai goyah, meskipun dari sisi legalitas
negara tetap memegang kendali. Namun, warga Batu Beriga tidak tinggal diam. Mereka
merespons dengan bentuk-bentuk perlawanan yang menyatu antara kepedulian ekologis,
tuntutan sosial, dan klaim atas ruang. Mereka menuntut right to the sea, sebuah perluasan dari
konsep right to the city (Lefebvre, 2020), yakni hak untuk menentukan sendiri bagaimana
ruang laut digunakan dan dimaknai, berdasarkan kepentingan bersama. Dorongan untuk
mengubah status zonasi dari tambang menjadi wilayah tangkap tidak hanya soal strategi, tetapi
juga tentang pengakuan terhadap identitas dan pengetahuan lokal. Bagi mereka, laut adalah
bagian dari kehidupan sosial dan budaya, bukan lahan kosong yang bebas diatur oleh siapa
saja. Karena itu, konflik yang terjadi di Batu Beriga bukan sekadar dianggap sebagai hambatan
pembangunan. Sebaliknya, ia adalah bentuk kritik yang tajam terhadap model pembangunan
yang mengabaikan keadilan sosial dan ekologis. Melalui pengetahuan lokal, solidaritas
komunitas, dan artikulasi politik yang kuat, masyarakat menunjukkan bahwa ruang bukan
hanya bisa diperebutkan, tapi juga bisa dimaknai ulang secara lebih adil dan berkelanjutan.
4. Kesimpulan
Penelitian ini berkontribusi pada pengayaan kajian sosio-spasial dengan menerapkan
kerangka pemikiran Henri Lefebvre dan David Harvey untuk menganalisis konflik ruang laut
akibat pertambangan timah lepas pantai di Desa Batu Beriga, Pulau Bangka. Laut dipahami
bukan sekadar entitas geografis, melainkan sebagai ruang sosial yang diproduksi melalui relasi
kuasa, praktik harian, dan makna simbolik. Temuan ini memperjelas bahwa representations of
space dalam kebijakan negara, seperti Perda RZWP3K telah menghegemoni ruang laut sebagai
komoditas ekonomi, dengan mengabaikan spatial practices nelayan dan representational
spaces yang sarat nilai kultural dan spiritual. Secara empiris, kajian ini menyingkap dampak
struktural dari tata kelola ruang laut yang top-down. Praktik penambangan telah memicu
kerusakan ekosistem laut, menurunkan hasil tangkapan, serta memperdalam ketimpangan
sosial. Perempuan nelayan terdampak secara langsung, menghadapi beban ganda akibat
tekanan ekonomi rumah tangga dan konflik sosial. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa
pembangunan berbasis ekonomi biru justru berpotensi menciptakan blue grabbing, yakni
perampasan ruang laut secara legal atas nama keberlanjutan. Penelitian ini merekomendasikan
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2024, Page: 143-155
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
153
Budi Darmawan et.al (Kapital, Negara, dan Laut yang Terampas:....)
perlunya transformasi dalam tata kelola ruang laut. Masyarakat Batu Beriga telah menunjukkan
kapasitas grassroots political agency dengan membentuk counter-space melalui aksi kolektif,
advokasi, dan kemitraan sipil. Respons politik lokal seperti rekomendasi zona “zero tambang”
membuktikan bahwa perubahan dapat didorong dari bawah. Karena itu, negara perlu mengakui
ruang hidup pesisir sebagai ruang yang hidup, penuh praktik, pengetahuan lokal, dan nilai
ekologis, bukan sekadar objek zonasi. Keadilan spasial laut hanya dapat dicapai melalui
partisipasi sejati masyarakat pesisir sebagai subjek utama dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan.
5. Ucapan Terima Kasih
Dengan tulus saya menyampaikan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Bangka Belitung atas dukungan dan
pendanaan yang telah diberikan. Dukungan ini memungkinkan penelitian ini dapat terlaksana
secara optimal, baik dari segi proses maupun hasil. Semoga penelitian ini dapat memberikan
kontribusi berarti bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan kebijakan berbasis keadilan
sosial dan ekologis.
6. Daftar Pustaka
Ahmad, R. (2022). Derita di balik tambang: Kontestasi kepentingan ekonomi politik dalam
pertambangan timah di Bangka Belitung. Sosioglobal: Jurnal Pemikiran dan Penelitian
Sosiologi, 6(2), 114130. https://doi.org/10.24198/jsg.v6i2.36803
ANTARA News. (2023, 30 Mei). Nelayan tolak tambang timah di laut, Ombudsman Bangka
Belitung nilai ini persoalan kompleks. ANTARA News Bangka Belitung.
Arnanda, E., Salim, K., & Febrianto, A. (2021). Analisis dampak aktivitas pertambangan timah
laut terhadap sosial ekonomi masyarakat nelayan. Akuatik: Jurnal Sumberdaya Perairan,
15(2), 8999. https://doi.org/10.33019/akuatik.v15i2.3115
Bavinck, M., Berkes, F., Charles, A., Dias, A., Doubleday, N., Nayak, P. K., & Sowman, M.
(2017). The impact of coastal grabbing on community conservation: A global
reconnaissance. Maritime Studies, 16, Article 8. https://doi.org/10.1186/s40152-017-
0062-8
Bavinck, M., Said, A., & Chuenpagdee, R. (2017). Blue Justice: Small-scale fisheries in a
sustainable ocean economy. Marine Policy, 87, 17.
https://doi.org/10.1016/j.marpol.2017.10.001
Bennett, N. J., Villasante, S., Jose, M., Lopes, P., Selim, S., & Allison, E. H. (2022, September
16). Social sustainability and equity in the blue economy. One Earth, 5(9), 964968.
https://doi.org/10.1016/j.oneear.2022.08.004
Bidayani, E., Mardyani, Y., Kurniawan, S., Aisyah, S., & Setiawan, F. (2022). Small-scale
fisheries management strategy on the eastern coast of the Bangka Regency, Indonesia.
In International Conference on Sustainable Environment, Agriculture and Tourism
(ICOSEAT 2022). https://doi.org/10.2991/978-94-6463-086-2_80
Castells, M. (2024). Advanced introduction to digital society. Edward Elgar Publishing.
Creswell, J. W., & Poth, C. N. (2018). Qualitative inquiry and research design: Choosing
among five approaches (4th ed.). SAGE Publications.
Erman, E. (2009). Menguak sejarah timah Bangka Belitung: Dari pembentukan kampung ke
perkara gelap. Yogyakarta: Ombak.
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2024, Page: 143-155
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
154
Budi Darmawan et.al (Kapital, Negara, dan Laut yang Terampas:....)
Escobar, A. (2018). Designs for the pluriverse: Radical interdependence, autonomy, and the
making of worlds. Duke University Press.
Gramsci, A. (2023). Selections from the prison notebooks (Q. Hoare & G. N. Smith, Eds. &
Trans.). New York: International Publishers. (Original work published 1971)
Guest, G., Bunce, A., & Johnson, L. (2006). How many interviews are enough? An experiment
with data saturation and variability. Field Methods, 18(1), 5982.
https://doi.org/10.1177/1525822X05279903
Harvey, D. (2009). Social justice and the city (Revised ed.). Athens: University of Georgia
Press. (Original work published 1973)
Haryadi, I., Ibrahim, I., & Darwance, D. (2025). Dinamika migrasi dan tantangan reklamasi:
Studi kasus pada komunitas tambang timah di Bangka Belitung. Jurnal Ilmu Lingkungan,
23(1), 218227. https://doi.org/10.14710/jil.23.1.218-227
Indra, C. A. (2014). Implikasi terbitnya regulasi tentang pertimahan terhadap dinamika
pertambangan timah inkonvensional di Pulau Bangka. Society, 2(1), 2641.
https://doi.org/10.33019/society.v2i1.47
Jessop, B. (2007). State power: A strategic-relational approach. Cambridge: Polity Press.
Johnson, E. R. (2021). Blue legalities: The life and laws of the sea (2nd ed.). Duke University
Press.
Kusumah, E. P., Ibrahim, I., Wahyudin, N., & Utami, E. (2024). Tin mining and the future:
What does the future hold for tin mining in Bangka Belitung Province. Pangkalpinang:
UBB Press.
Lefebvre, H. (2020). The production of space (D. Nicholson-Smith, Trans.). Oxford: Wiley-
Blackwell. (Original work published 1974)
Meerow, S. (2017). Double exposure, infrastructure planning, and urban climate resilience in
coastal megacities: A case study of Manila. Environment and Planning A, 49(12), 2536
2555. https://doi.org/10.1177/0308518X17723630
Mongabay Indonesia. (2024, November 26). Laut Batu Beriga, harapan nelayan Pulau Bangka
mencari ikan. Mongabay.co.id. https://www.mongabay.co.id
Neville, K. J., & Martin, S. J. (2022). Slow justice: A framework for tracing diffusion and
legacies of resistance. Social Movement Studies. Advance online publication.
https://doi.org/10.1080/14742837.2022.2031955
Nugraha, S. (2023). Natural resource management principles and the role of law in realizing
good development governance. Journal of Progressive Law and Legal Studies, 2(01),
4958. https://doi.org/10.59653/jplls.v2i01.575
Santos, B. de S. (2018). The end of the cognitive empire: The coming of age of epistemologies
of the South. Duke University Press.
Scott, J. C. (2020). Foreword. In A. Johansson & S. Vinthagen (Eds.), Conceptualizing
“everyday resistance”: A transdisciplinary approach (pp. ixxi). Routledge.
Sholihin, E. B. (2021). Why have anti-offshore tin mining movements failed in Bangka but
succeeded in East Belitung? Political opportunity structures and political settlement in
the context of Indonesia’s democratic future. PCD Journal, 8(2), 203227.
https://doi.org/10.22146/pcd.v8i2.1483
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2024, Page: 143-155
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
155
Budi Darmawan et.al (Kapital, Negara, dan Laut yang Terampas:....)
Silver, J. J., Gray, N. J., Campbell, L. M., Fairbanks, L. W., & Gruby, R. L. (2015). Blue
economy and competing discourses in international oceans governance. Journal of
Environment & Development, 24(2), 135160.
https://doi.org/10.1177/1070496515580797
Sukarman, & Gani, R. A. (2017). Lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka dan Belitung,
Indonesia dan kesesuaiannya untuk komoditas pertanian. Jurnal Tanah dan Iklim, 41(2),
101114.
Sulista, S., Ibrahim, I., & Pratama, S. (2019). Accommodation, resistance and divided
community: Study of the dynamics of offshore tin mining conflict between the fishermen
of the coastal area and companies in Bangka Island. PEOPLE: International Journal of
Social Sciences, 5(3), 275296. https://doi.org/10.20319/pijss.2019.53.275296
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kepulauan Bangka Belitung. (2024, 31
Oktober). Persatuan masyarakat peduli Batu Beriga menolak tambang laut di Batu Beriga
[Siaran pers]. WALHI. https://www.walhi.or.id/persatuan-masyarakat-peduli-batu-beriga-
menolak-tambang-laut-di-batu-beriga
Wow Babel. (2024, 29 Oktober). Ini 4 kesepakatan aksi tolak tambang, salah satunya
rekomendasi pencabut IUP PT Timah di Batu Beriga dan Tanjung Ketapang. Wow Babel.
https://www.wowbabel.com/lokal/59813837994/ini-4-kesepakatan-aksi-tolak-tambang-
salah-satunya-rekomendasi-pencabut-iup-pt-timah-di-batu-beriga-dan-tanjung-ketapang
Yin, R. K. (2018). Case study research and applications: Design and methods (6th ed.). SAGE
Publications.