Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2025, Page: 200-211
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
200
Made Aditya Abhi Ganika et.al (Integrasi Nilai Budaya dalam Ragam....)
Integrasi Nilai Budaya dalam Ragam Hias Bali &
Yogyakarta untuk Penguatan Karakter Siswa melalui
Pembelajaran Seni Rupa
Made Aditya Abhi Ganika
Universitas Negeri Yogyakarta, AddressJalan Colombo Nomor 1, Karangmalang, Caturtunggal, Depok,
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 55281, Indonesia
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 23 Februari 2025
Direvisi: 8 Mei 2025
Disetujui: 19 Juni 2025
Tersedia Daring: 21 Juli 2025
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji integrasi nilai-nilai budaya yang
terkandung dalam ragam hias tradisional Bali dan Yogyakarta sebagai sarana
pembelajaran seni rupa untuk memperkuat karakter siswa. Ragam hias tidak
hanya berfungsi sebagai elemen visual dalam seni, tetapi juga mengandung
makna filosofis dan nilai-nilai luhur seperti kerja sama, ketekunan,
spiritualitas, dan kecintaan terhadap budaya.
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, data dikumpulkan melalui
observasi, wawancara dengan guru seni, dan dokumentasi proses
pembelajaran di kelas. Analisis dilakukan secara deskriptif interpretatif
untuk mengeksplorasi bagaimana ragam hias dijadikan media pembelajaran
dan bagaimana siswa meresponsnya secara kognitif dan afektif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengintegrasian ragam hias Bali dan
Yogyakarta dalam pembelajaran seni rupa tidak hanya meningkatkan
pemahaman estetis siswa, tetapi juga menumbuhkan karakter seperti
disiplin, tanggung jawab, toleransi, dan rasa bangga terhadap warisan
budaya. Pembelajaran berbasis budaya lokal terbukti efektif dalam
membentuk kepribadian siswa secara holistik.
Kata Kunci:
ragam hias,
budaya lokal,
karakter siswa
karakter siswa
ABSTRACT
Keywords:
Decorative variety
Local Culture
Student Character
This study aims to examine the integration of cultural values embedded in
traditional decorative patterns (ragam hias) from Bali and Yogyakarta as a
medium for art education to strengthen students' character. Decorative
patterns are not only visual elements in art but also contain philosophical
meanings and noble values such as cooperation, perseverance, spirituality, and
love for culture.Using a qualitative approach, data were collected through
observation, interviews with art teachers, and documentation of classroom
learning processes. The data were analyzed using descriptive-interpretative
methods to explore how decorative patterns are utilized in art education and
how students respond both cognitively and affectively.The results show that
integrating Balinese and Yogyakartan decorative patterns into art learning
enhances students’ aesthetic understanding and fosters character development
such as discipline, responsibility, tolerance, and cultural pride. Culture-based
learning is proven to be effective in shaping students' holistic personality.
©2025, Made Aditya Abhi Ganika
This is an open access article under CC BY-SA license
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2025, Page: 200-211
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
201
Made Aditya Abhi Ganika et.al (Integrasi Nilai Budaya dalam Ragam....)
1. Pendahuluan
Pendidikan seni rupa merupakan salah satu bidang penting dalam pengembangan peserta
didik secara menyeluruh. Selain melatih keterampilan visual dan motorik, pembelajaran seni rupa
juga memiliki potensi besar dalam membentuk karakter, nilai, dan identitas kultural peserta didik
sejak usia dini. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, seni rupa tidak hanya berperan sebagai
wahana ekspresi estetis, tetapi juga sebagai media penguatan nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam budaya lokal. Dengan demikian, seni rupa dapat menjadi sarana strategis untuk
menanamkan nilai-nilai kepribadian yang berakar pada budaya bangsa(Suyanto, 2017).
Salah satu bentuk kekayaan budaya visual yang dimiliki Indonesia adalah ragam hias
tradisional. Ragam hias merupakan motif atau ornamen yang berkembang dari tradisi dan
memiliki makna simbolik serta fungsi estetika yang kuat. Ragam hias tradisional Bali dan
Yogyakarta, misalnya, tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, tetapi juga menyimpan nilai-nilai
spiritual, filosofis, dan sosial yang diwariskan secara turun-temurun. Ragam hias Bali dikenal
melalui bentuk-bentuk ornamen yang dinamis, detail, dan sarat akan simbol-simbol religius seperti
motif patra, sulur, bunga, dan bentuk mitologis lainnya yang mencerminkan keharmonisan antara
manusia, alam, dan roh leluhur (Ardika, 2015). Sementara itu, ragam hias Yogyakarta seperti batik
kawung, parang, dan truntum mencerminkan nilai-nilai kesederhanaan, keteguhan, keagungan,
serta kearifan lokal yang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Jawa (Nurhadi, 2018).
Mengintegrasikan ragam hias tersebut dalam pembelajaran seni rupa memberikan peluang
besar untuk menghadirkan proses pembelajaran yang lebih kontekstual dan bermakna. Tidak
hanya siswa belajar mengenal unsur visual dan teknik berkarya, tetapi mereka juga belajar
memahami nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Hal ini sejalan dengan arah kebijakan
Kurikulum Merdeka yang menekankan pentingnya pembelajaran berbasis proyek, kontekstual,
dan berorientasi pada Profil Pelajar Pancasila. Nilai-nilai seperti gotong royong, kemandirian,
kebhinnekaan global, dan beriman kepada Tuhan YME dapat dikuatkan melalui materi seni
berbasis budaya lokal(Kemendikbudristek, 2022).
Meskipun demikian, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran seni rupa di
sekolah masih cenderung berorientasi pada aspek teknis, seperti menggambar, mewarnai, atau
membuat karya dua dimensi tanpa eksplorasi makna budaya yang mendalam. Banyak guru belum
secara optimal mengaitkan materi seni dengan konteks lokal yang kaya nilai edukatif. Kurangnya
pemanfaatan budaya visual seperti ragam hias sebagai sumber belajar menyebabkan siswa
kehilangan peluang untuk membentuk pemahaman dan kecintaan terhadap warisan budayanya
sendiri (Setyawan, 2020).
Dalam konteks tersebut, perlu dilakukan upaya untuk mengembangkan model pembelajaran
seni rupa yang mengintegrasikan kekayaan ragam hias tradisional sebagai sumber belajar
sekaligus wahana pembentukan karakter. Penelitian ini berfokus pada eksplorasi nilai-nilai budaya
yang terkandung dalam ragam hias Bali dan Yogyakarta serta penerapannya dalam pembelajaran
seni rupa sebagai strategi untuk memperkuat karakter siswa, baik secara personal maupun sosial.
Penelitian ini tidak hanya bertujuan untuk menggali kekayaan visual dari ragam hias daerah,
tetapi juga menyusun pendekatan pembelajaran yang mampu membentuk siswa yang kreatif,
peduli budaya, dan memiliki kesadaran akan identitas nasional. Dengan demikian, pembelajaran
seni rupa tidak lagi bersifat instruksional semata, melainkan menjadi proses yang membangun
kepekaan budaya, estetika, dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari.
Motif tradisional merupakan bagian integral dari budaya visual Indonesia yang mengandung
simbolisme dan nilai-nilai luhur. Ragam hias seperti batik, ukiran kayu, dan ornamen arsitektur
tidak hanya berperan sebagai elemen dekoratif, tetapi juga berfungsi sebagai sistem tanda yang
menyampaikan pesan budaya, spiritual, dan sosial (Nurhadi, 2018). Dalam konteks pendidikan
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2025, Page: 200-211
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
202
Made Aditya Abhi Ganika et.al (Integrasi Nilai Budaya dalam Ragam....)
seni rupa, pemanfaatan ragam hias lokal menjadi sangat penting untuk memperkenalkan siswa
pada warisan budaya sekaligus menanamkan nilai-nilai karakter.
Seni visual berbasis tradisi, jika dianalisis secara semiotik, dapat mengungkap lebih dari
sekadar bentuk dan warna. Salah satu pendekatan yang relevan adalah teori semiotika triadik dari
Charles Sanders Peirce, yang menyatakan bahwa tanda terdiri dari tiga elemen utama:
representamen (bentuk tanda), object (hal yang diwakili), dan interpretant (makna yang dipahami
oleh penafsir) (Peirce, 1931). Dalam hal ini, motif patra Bali dapat dipahami sebagai
representamen visual dari keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas, sementara motif
kawung dari Yogyakarta mencerminkan konsep kesederhanaan dan kendali diri.
Sebagaimana dijelaskan oleh (Chandler, 2007), “setiap tanda dalam sistem budaya memiliki
fungsi ganda—sebagai penyampai makna dan sebagai pembentuk identitas kultural.” Oleh karena
itu, motif-motif tradisional bukan hanya dapat dianalisis, tetapi juga diajarkan sebagai media
pendidikan karakter. Pendidikan karakter sendiri memiliki tujuan untuk membentuk peserta didik
yang berakhlak mulia, bertanggung jawab, dan memiliki kesadaran budaya. (Suyanto, 2017)
menekankan bahwa “pendidikan seni rupa merupakan media strategis untuk menanamkan nilai-
nilai kepribadian melalui pengenalan budaya lokal.
Melalui pendekatan semiotika Peirce, pembelajaran ragam hias dapat dijadikan sarana untuk
memperkuat pemahaman siswa terhadap simbol-simbol budaya sekaligus membangun karakter
yang mencerminkan nilai-nilai lokal seperti gotong royong, kejujuran, kerja keras, dan rasa cinta
terhadap warisan budaya bangsa. Indonesia merupakan negara yang kaya akan warisan budaya,
termasuk di dalamnya ragam hias tradisional yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Ragam
hias tidak hanya berfungsi sebagai ornamen dekoratif, tetapi juga menyimpan nilai-nilai filosofis,
spiritual, dan sosial yang mendalam. Salah satu bentuk warisan budaya yang sangat kaya akan
nilai tersebut adalah motif hias dari Bali dan Yogyakarta, seperti Patra, Kawung, Truntum, dan
Parang. Setiap motif memiliki makna simbolik tersendiri yang merefleksikan pandangan hidup
masyarakat pendukungnya. Dalam konteks pendidikan, ragam hias ini dapat menjadi media
strategis dalam penguatan karakter siswa Pendekatan semiotika, khususnya yang dikembangkan
oleh Charles Sanders Peirce, menjadi landasan yang tepat untuk menggali makna simbolik dari
ragam hias tersebut. Semiotika Peirce mengklasifikasikan tanda ke dalam tiga elemen utama, yaitu
representamen (tanda itu sendiri), objek (hal yang diwakili oleh tanda), dan interpretant
(pemahaman atau makna yang ditangkap oleh penerima tanda).
Melalui pendekatan ini, kita dapat menafsirkan bagaimana motif-motif tradisional
mengandung nilai-nilai budaya yang dapat ditransformasikan ke dalam nilai pendidikan karakter.
Sebagai contoh, motif Patra dari Bali yang berbentuk sulur dan lengkungan organik tidak hanya
mencerminkan keindahan alam, tetapi juga filosofi hidup seimbang dengan alam dan spiritualitas.
Dalam interpretasi semiotik, representamennya berupa pola-pola sulur yang mengalir, objeknya
adalah harmoni antara manusia dan alam, dan interpretannya adalah nilai-nilai kebersahajaan dan
kesadaran ekologis. Sementara itu, motif Kawung dari Yogyakarta yang menyerupai biji aren
memiliki makna filosofis tentang pengendalian diri dan kesederhanaan. Motif ini dulunya
digunakan oleh keluarga keraton dan mengajarkan bahwa kekuasaan harus disertai dengan
kebijaksanaan dan keadilan (Prasetyo & Widodo, 2022).
Truntum, motif berbentuk bunga kecil yang menyerupai bintang, melambangkan cinta kasih
yang tulus, biasanya digunakan dalam acara pernikahan sebagai simbol cinta orang tua terhadap
anak (Lestari, 2023) Adapun motif Parang yang berwujud garis miring menyerupai ombak laut,
mengekspresikan keberanian, semangat juang, dan keteguhan karakter (Utami, 2024). Dengan
menempatkan ragam hias ini dalam kerangka semiotika, guru dapat mengarahkan siswa untuk
tidak hanya mempelajari aspek estetika dan teknik menggambar, tetapi juga memahami makna
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2025, Page: 200-211
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
203
Made Aditya Abhi Ganika et.al (Integrasi Nilai Budaya dalam Ragam....)
simbolik dari setiap motif. Proses ini akan melatih kepekaan siswa terhadap nilai budaya lokal dan
memberikan ruang bagi pembentukan karakter secara reflektif. Siswa diajak untuk menafsirkan
pesan moral dari motif yang mereka pelajari dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, saat menggambar motif Truntum, siswa dapat merenungkan pentingnya cinta
kasih dan pengorbanan dalam hubungan keluarga.Integrasi ini juga menciptakan pengalaman
belajar yang kontekstual dan bermakna, karena siswa tidak hanya memproduksi karya seni, tetapi
juga mengalami proses internalisasi nilai. Pembelajaran menjadi lebih holistik karena
menggabungkan unsur kognitif (pengetahuan budaya), afektif (penghargaan terhadap nilai), dan
psikomotorik (keterampilan menggambar). Guru sebagai fasilitator memiliki peran penting dalam
mengembangkan perangkat ajar berbasis budaya lokal yang menggabungkan analisis semiotik
sebagai metode pemahaman. Hasil penelitian terbaru mendukung pendekatan ini. Sebuah studi
oleh (Adnyani, 2021) menunjukkan bahwa siswa yang diperkenalkan dengan ragam hias Bali
dalam pembelajaran seni rupa menunjukkan peningkatan empati budaya dan kesadaran terhadap
nilai-nilai lokal. Penelitian serupa oleh (Lestari, 2023) menemukan bahwa siswa yang mempelajari
batik motif Truntum dan Kawung tidak hanya meningkat dalam keterampilan artistik, tetapi juga
menunjukkan perilaku yang lebih peduli terhadap keluarga dan lingkungan sosial. Di sisi lain,
dalam konteks kurikulum Merdeka Belajar, guru diberikan keleluasaan untuk mengembangkan
pembelajaran berbasis konteks lokal. Hal ini menjadi peluang emas untuk mengintegrasikan
ragam hias sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya sekaligus pembentukan karakter bangsa.
Melalui pendekatan semiotika Peirce, guru dan siswa dapat bersama-sama menelusuri makna dari
setiap motif, membuka ruang diskusi, dan menanamkan nilai-nilai karakter secara mendalam.
Dengan demikian, pembelajaran seni rupa yang berbasis ragam hias tradisional bukan sekadar
pelajaran menggambar, melainkan menjadi media pembentukan karakter bangsa yang berakar
pada budaya lokal. Analisis semiotik menjadi kunci dalam menggali makna di balik visualisasi
motif, dan menjadikannya sebagai nilai edukatif yang relevan dengan kehidupan siswa. Dalam
jangka panjang, pendekatan ini tidak hanya memperkuat identitas budaya peserta didik, tetapi juga
menumbuhkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan berdaya saing dalam menghadapi
tantangan global.
Pendidikan karakter merupakan salah satu aspek penting dalam dunia pendidikan, khususnya
dalam membentuk kepribadian dan jati diri siswa yang berakar pada budaya bangsa (Susanto,
2011). Di tengah tantangan globalisasi dan kemajuan teknologi, nilai-nilai lokal yang terkandung
dalam budaya tradisional menjadi fondasi penting dalam membentuk karakter siswa yang
berintegritas, kreatif, dan berbudaya (Sibarani, 2013; Suparlan, 2004). Salah satu pendekatan
strategis untuk mencapai tujuan ini adalah melalui integrasi nilai budaya dalam pembelajaran seni
rupa (Widodo, 2020).
Ragam hias tradisional Bali dan Yogyakarta merupakan warisan budaya yang sarat makna
filosofis, religius, dan moral (Sedyawati, 2006). Ragam hias Bali banyak mengandung nilai-nilai
Hindu yang mendalam seperti Tri Hita Karana (Koentjaraningrat, 2009), sedangkan ragam hias
Yogyakarta lekat dengan filosofi Jawa seperti Hamemayu Hayuning Bawana dan Sangkan
Paraning Dumadi (Geertz, 1973). Nilai-nilai ini tidak hanya menampilkan estetika visual tetapi
juga menyimpan pesan-pesan moral yang relevan dalam penguatan karakter siswa (Djelantik,
1999). Dalam konteks pembelajaran seni rupa, ragam hias tidak hanya dipahami sebagai unsur
dekoratif, tetapi juga sebagai media pendidikan nilai (Eisner, 2002).Dengan mengkaji,
menafsirkan, dan merekonstruksi ragam hias budaya lokal, siswa dapat belajar memahami makna
simbolik yang terkandung di dalamnya serta menumbuhkan rasa cinta tanah air, toleransi,
spiritualitas, dan tanggung jawab sosial (Hidayati R., 2021). Melalui pendekatan semiotik, guru
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2025, Page: 200-211
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
204
Made Aditya Abhi Ganika et.al (Integrasi Nilai Budaya dalam Ragam....)
dapat membantu siswa menggali makna konotatif dan denotatif dari setiap motif hias (Barthes,
1977; Santosa, 2015), sehingga proses pembelajaran menjadi lebih reflektif dan kontekstual.
Integrasi nilai budaya ke dalam pembelajaran seni rupa juga sejalan dengan Kurikulum
Merdeka yang menekankan pembelajaran berbasis konteks lokal dan karakter
(Kemendikbudristek, 2022). Selain memperkuat identitas budaya, pembelajaran semacam ini turut
meningkatkan kompetensi abad 21 seperti kreativitas, berpikir kritis, dan kolaborasi (Hall, 1997;
Nurhadi, 2018). Oleh karena itu, penting bagi guru seni rupa untuk merancang pembelajaran yang
mampu mengaitkan antara estetika, etika, dan budaya lokal (Nurgiyantoro, 2001). Penelitian ini
bertujuan untuk mengeksplorasi potensi integrasi nilai budaya dalam ragam hias Bali dan
Yogyakarta sebagai media pembelajaran karakter di sekolah. Kajian ini akan menggunakan
pendekatan semiotik dan etnopedagogi untuk menganalisis makna serta nilai-nilai pendidikan
yang terkandung dalam motif hias tradisional. Hasil kajian diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap pengembangan model pembelajaran seni rupa berbasis budaya lokal yang
mendukung penguatan karakter siswa secara holistik (Moleong, 2021).
2. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, dengan model studi kasus untuk
menggali secara mendalam proses integrasi nilai-nilai budaya melalui ragam hias Bali dan
Yogyakarta dalam pembelajaran seni rupa. Pendekatan ini dipilih karena efektif untuk memahami
konteks lokal dan pengalaman partisipan (Herlina et al., 2025) Lokasi penelitian adalah sebuah
SMP di Yogyakarta yang telah menerapkan kurikulum seni budaya berbasis merdeka belajar
(Kemendikbudristek, 2022)Data primer diperoleh melalui observasi partisipatif pada proses
pembelajaran, wawancara semi-terstruktur dengan guru dan siswa, serta dokumentasi hasil karya
seni siswa. Data sekunder terdiri dari perangkat ajar, kurikulum, serta studi literatur terkait ragam
hias dan praktik integrasi seni budaya (Ardika, 2015).Analisis data dilakukan dengan teknik
deskriptif-interpretatif, mengikuti metode reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan seperti
yang dijelaskan oleh (Miles et al., 2014) Untuk memperoleh validitas, penelitian ini menerapkan
triangulasi teknik (observasi, wawancara, dokumentasi) dan member checking terhadap guru dan
siswa (Alvarez, 2021).
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi ragam hias tradisional Bali dan Yogyakarta
dalam pembelajaran seni rupa memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan
pemahaman nilai budaya lokal dan pembentukan karakter siswa. Guru memanfaatkan motif-
motif seperti patra, sulur, kawung, parang, dan truntum dalam kegiatan pembelajaran sebagai
media visual yang sarat makna simbolik. Pengamatan selama proses pembelajaran menunjukkan
bahwa siswa tidak hanya memahami unsur estetika dari ragam hias tersebut, tetapi juga mampu
mengaitkan makna simboliknya dengan nilai kehidupan sehari-hari.
Dalam proses pembelajaran, guru secara kreatif memanfaatkan beragam motif khas seperti
patra, sulur, kawung, parang, dan truntum sebagai media visual dan objek kajian yang sarat
akan makna simbolik dan filosofi budaya yang dalam. Motif-motif tersebut tidak hanya
dikenalkan sebagai unsur estetis dalam seni rupa, tetapi juga dipelajari dari sisi sejarah, nilai
sosial, dan makna spiritual yang terkandung di dalamnya. Pengamatan selama proses
pembelajaran berlangsung menunjukkan bahwa siswa mampu memahami dan mendeskripsikan
unsur estetika dari ragam hias tersebut secara lebih mendalam, serta menghubungkannya dengan
nilai-nilai kehidupan sehari-hari seperti kesederhanaan, keteguhan, keharmonisan dengan alam,
serta rasa hormat terhadap leluhur dan tradisi. Hal ini mencerminkan bahwa pembelajaran seni
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2025, Page: 200-211
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
205
Made Aditya Abhi Ganika et.al (Integrasi Nilai Budaya dalam Ragam....)
rupa yang berbasis budaya lokal tidak hanya berfungsi sebagai sarana ekspresi visual, tetapi juga
sebagai wahana untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan memperkuat jati diri serta kesadaran
budaya siswa secara berkelanjutan. Pembelajaran seni rupa yang mengintegrasikan motif-motif
tradisional seperti patra Bali dan batik Yogyakarta menunjukkan relevansi yang kuat dalam
membentuk nilai karakter siswa. Ragam hias tradisional tidak hanya dipahami sebagai ornamen
visual yang indah, melainkan sebagai simbol budaya yang mengandung makna filosofis
mendalam. Dalam konteks pendidikan, guru menggunakan pendekatan semiotika Charles
Sanders Peirce untuk menggali tanda, objek, dan interpretan dari masing-masing motif, sehingga
siswa diajak memahami bahwa setiap ornamen menyimpan pesan budaya. Motif patra yang
banyak digunakan dalam ukiran Bali, misalnya, sering digambarkan dalam bentuk sulur atau
dedaunan yang dinamis. Dalam interpretasi semiotik, bentuk tersebut dapat diasosiasikan
dengan semangat pertumbuhan, harmoni dengan alam, dan kesinambungan kehidupan. Saat
siswa menggambar ulang motif ini, mereka tidak hanya meniru bentuk visual, tetapi juga
menginternalisasi makna di balik bentuk tersebut, seperti nilai ketekunan, keseimbangan, dan
penghormatan terhadap alam. Sebaliknya, motif kawung yang berasal dari budaya Jawa
melambangkan keabadian dan kesucian. Pola simetris kawung sering dikaitkan dengan buah
aren yang memiliki banyak manfaat. Dalam pembelajaran, siswa diajak mendiskusikan
bagaimana nilai-nilai filosofis ini bisa diterapkan dalam kehidupan nyata seperti bersikap jujur,
menjaga keseimbangan hidup, serta memahami makna kerja keras. Integrasi makna simbolik
dalam pembelajaran memungkinkan siswa merenungkan dan merefleksikan nilai-nilai karakter
dari ragam hias tersebut. Sementara itu, parang yang merupakan motif batik keraton
mengandung nilai kekuatan, keberanian, dan keteguhan hati. Motif bergelombang yang tampak
sederhana ini ternyata sarat makna filosofi keprajuritan, keteguhan dalam prinsip, dan tekad
pantang menyerah. Guru mengaitkan nilai ini dengan semangat belajar yang gigih dan
keberanian menghadapi tantangan dalam kehidupan. Siswa yang memahami simbolik parang
dapat mengembangkan karakter percaya diri, tangguh, serta bertanggung jawab terhadap proses
belajar mereka.
Motif truntum, dengan pola bunga kecil seperti bintang, dikenal sebagai simbol kasih
sayang orang tua kepada anak. Guru menggunakan motif ini untuk menanamkan nilai cinta
kasih, kepedulian, dan empati dalam pembelajaran. Ketika siswa membuat karya berbasis motif
truntum, mereka diajak menceritakan pengalaman kasih sayang di lingkungan keluarga dan
sekolah, sehingga nilai karakter seperti kasih sayang, solidaritas, dan rasa syukur tumbuh secara
alami dalam diri siswa. Selain membahas simbol dan filosofi, pembelajaran juga diarahkan
untuk mengenalkan konteks historis dan budaya dari masing-masing motif. Misalnya, guru
menceritakan bagaimana motif parang digunakan hanya oleh kalangan bangsawan, sedangkan
motif kawung memiliki tempat khusus dalam lingkungan keraton. Hal ini memberikan
pemahaman pada siswa tentang pentingnya struktur sosial, peran tradisi, dan penghargaan
terhadap sejarah budaya. Penggunaan media visual yang kaya seperti gambar motif asli, contoh
batik, dan ukiran patra memudahkan siswa memahami konteks dan memperkuat proses
internalisasi nilai. Di sisi lain, aktivitas praktik seperti mencetak batik sederhana, menggambar
motif, atau mendesain ulang ornamen dengan pendekatan personal, membantu siswa
mengekspresikan pemahaman mereka melalui karya seni yang reflektif dan kreatif. Melalui
integrasi ini, pembelajaran seni rupa berfungsi ganda sebagai media penguatan karakter. Siswa
tidak hanya memperoleh keterampilan teknis menggambar atau membuat pola, tetapi juga
menyerap nilai-nilai luhur yang berakar pada budaya lokal. Hal ini relevan dengan tujuan
pendidikan karakter yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, yaitu menumbuhkan
generasi yang berintegritas, berempati, kreatif, dan menghargai warisan budaya.
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2025, Page: 200-211
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
206
Made Aditya Abhi Ganika et.al (Integrasi Nilai Budaya dalam Ragam....)
Tabel 1. Analisis Semiotika Peirce dan Nilai Pendidikan Karakter pada Motif Tradisional
Motif
Analisis Semiotika (Peirce)
Nilai Pendidikan Karakter
Representamen (Bentuk Visual)
Objek (Referensi Budaya)
Patra (Bali)
Bentuk sulur, daun, dan lengkung
organik
Ornamen tradisional Bali pada pura,
kain, ukiran
Kawung
(Jawa)
Pola lingkaran simetris menyerupai
biji aren
Motif batik klasik keraton Yogyakarta
Truntum
(Jawa)
Motif bunga kecil seperti bintang
Simbol kasih sayang orang tua pada
anak
Parang (Jawa)
Pola miring bergelombang seperti
ombak laut
Motif batik bangsawan dan prajurit
Motif tradisional Indonesia pada Gambar 1 merupakan representasi visual yang
mengandung makna filosofis dan nilai-nilai budaya yang mendalam. Ragam hias yang
berkembang di berbagai daerah di Indonesia tidak sekadar menjadi ornamen hias, melainkan
juga sarana komunikasi simbolik antargenerasi. Dalam tradisi seni rupa Nusantara, beberapa
motif menonjol karena kekuatan estetik dan nilai kultural yang dikandungnya. Empat di
antaranya yang sangat dikenal dan banyak digunakan dalam konteks seni dan budaya adalah
Patra dari Bali serta Kawung, Truntum, dan Parang dari Jawa. Motif Patra (Bali) dikenal dengan
bentuk-bentuk sulur, daun, dan lengkung organik yang sangat dinamis dan artistik. Motif ini
banyak ditemukan dalam ukiran kayu, relief batu di pura, dan juga pada tekstil tradisional Bali.
Sulur yang menjalar secara berulang melambangkan kehidupan yang berkelanjutan dan
keseimbangan antara manusia dengan alam serta roh leluhur. Bentuk-bentuk lengkungnya
memberi kesan kehalusan dan kesakralan, mencerminkan kedekatan spiritual masyarakat Bali
dengan nilai-nilai keagamaan. Dalam sistem semiotika Peirce, bentuk patra dapat dikategorikan
sebagai representamen dari konsep harmoni kosmos Bali. Objek yang diwakili adalah ajaran Tri
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2025, Page: 200-211
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
207
Made Aditya Abhi Ganika et.al (Integrasi Nilai Budaya dalam Ragam....)
Hita Karana: hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia
dengan alam. Interpretant dari tanda ini adalah panggilan untuk menjaga keselarasan hidup. Patra
tidak hanya memperindah visual tetapi juga mengandung ajakan reflektif untuk hidup selaras
dengan nilai-nilai luhur. Motif ini banyak ditemukan dalam ukiran kayu, relief batu di pura, dan
juga pada tekstil tradisional Bali. Sulur yang menjalar secara berulang melambangkan kehidupan
yang berkelanjutan dan keseimbangan antara manusia dengan alam serta roh leluhur. Bentuk-
bentuk lengkungnya memberi kesan kehalusan dan kesakralan, mencerminkan kedekatan
spiritual masyarakat Bali dengan nilai-nilai keagamaan. Dalam sistem semiotika Peirce, bentuk
patra dapat dikategorikan sebagai representamen dari konsep harmoni kosmos Bali. Objek yang
diwakili adalah ajaran Tri Hita Karana: hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia, dan manusia dengan alam. Interpretant dari tanda ini adalah panggilan untuk
menjaga keselarasan hidup. Patra tidak hanya memperindah visual tetapi juga mengandung
ajakan reflektif untuk hidup selaras dengan nilai-nilai luhur. Nilai pendidikan karakter yang
terkandung antara lain adalah spiritualitas, peduli lingkungan, dan keseimbangan (Rita, 2023).
Motif Kawung (Jawa) merupakan pola lingkaran simetris menyerupai buah aren (kolang-kaling)
yang disusun dalam pola berulang. Motif ini merupakan salah satu batik klasik Yogyakarta yang
awalnya hanya dipakai oleh keluarga kerajaan. Lingkaran-lingkaran dalam motif kawung
melambangkan kesempurnaan, kemurnian jiwa, dan kekuatan spiritual. Simetri dalam pola
menunjukkan keseimbangan dan keharmonisan hidup, serta kontrol diri. Menurut filosofi Jawa,
seseorang yang mengenakan kawung diharapkan mampu menjadi pemimpin yang adil, jujur, dan
tidak mementingkan diri sendiri.
Dalam struktur semiotika Peirce, kawung berfungsi sebagai representamen dari
ketenangan dan keseimbangan batin. Objek dari tanda ini adalah nilai kesederhanaan dan kontrol
diri dalam budaya Jawa, sedangkan interpretant-nya adalah harapan agar pemakainya
mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Motif ini merupakan salah satu
batik klasik Yogyakarta yang awalnya hanya dipakai oleh keluarga kerajaan. Lingkaran-
lingkaran dalam motif kawung melambangkan kesempurnaan, kemurnian jiwa, dan kekuatan
spiritual. Simetri dalam pola menunjukkan keseimbangan dan keharmonisan hidup, serta kontrol
diri. Menurut filosofi Jawa, seseorang yang mengenakan kawung diharapkan mampu menjadi
pemimpin yang adil, jujur, dan tidak mementingkan diri sendiri. Dalam struktur semiotika Peirce,
kawung berfungsi sebagai representamen dari ketenangan dan keseimbangan batin. Objek dari
tanda ini adalah nilai kesederhanaan dan kontrol diri dalam budaya Jawa, sedangkan interpretant-
nya adalah harapan agar pemakainya mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Nilai pendidikan karakter yang ditanamkan mencakup kejujuran, disiplin, dan
tanggung jawab (Prasetyo & Widodo, 2022). Motif Truntum (Jawa) memiliki bentuk bunga kecil
yang tersusun seperti gugusan bintang di langit. Motif ini diciptakan oleh Permaisuri Sunan
Pakubuwono III sebagai simbol cinta dan harapan kepada sang raja yang mulai menjauh. Kata
"truntum" berasal dari kata "tumtum" dalam bahasa Jawa yang berarti "bersemi kembali". Motif
ini biasanya digunakan dalam upacara pernikahan, dikenakan oleh orang tua pengantin sebagai
simbol kasih sayang dan restu. Secara semiotik, truntum menjadi representamen dari cinta abadi
dan kebijaksanaan orang tua. Objeknya adalah relasi emosional antara orang tua dan anak dalam
budaya Jawa, sedangkan interpretant-nya adalah makna spiritual tentang cinta yang tidak
bersyarat, pengorbanan, dan harapan. Truntum tidak hanya memperindah kain, tetapi juga
menjadi medium penyampaian pesan moral antar generasi. Motif Truntum (Jawa) memiliki
bentuk bunga kecil yang tersusun seperti gugusan bintang di langit. Motif ini diciptakan oleh
Permaisuri Sunan Pakubuwono III sebagai simbol cinta dan harapan kepada sang raja yang mulai
menjauh. Kata "truntum" berasal dari kata "tumtum" dalam bahasa Jawa yang berarti "bersemi
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2025, Page: 200-211
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
208
Made Aditya Abhi Ganika et.al (Integrasi Nilai Budaya dalam Ragam....)
kembali". Motif ini biasanya digunakan dalam upacara pernikahan, dikenakan oleh orang tua
pengantin sebagai simbol kasih sayang dan restu. Secara semiotik, truntum menjadi
representamen dari cinta abadi dan kebijaksanaan orang tua. Objeknya adalah relasi emosional
antara orang tua dan anak dalam budaya Jawa, sedangkan interpretant-nya adalah makna spiritual
tentang cinta yang tidak bersyarat, pengorbanan, dan harapan. Truntum tidak hanya
memperindah kain, tetapi juga menjadi medium penyampaian pesan moral antar generasi. Nilai
karakter yang terwakili antara lain kasih sayang, cinta tanah air, dan gotong royong (Lestari,
2023). Motif Parang (Jawa) adalah salah satu motif tertua dan paling sakral dalam tradisi batik
Jawa. Motif ini berbentuk garis miring yang bergelombang, menyerupai ombak laut yang terus
bergerak. Kata "parang" berasal dari kata "pereng" yang berarti lereng atau kemiringan. Motif
ini memiliki makna semangat juang yang tidak pernah padam. Dalam sejarahnya, batik parang
hanya dikenakan oleh kalangan bangsawan atau prajurit sebagai simbol kekuatan, keteguhan,
dan kewibawaan. Dalam struktur semiotik, motif parang adalah representamen dari dinamika
kehidupan dan semangat pantang menyerah. Objeknya adalah nilai perjuangan dan keberanian
dalam budaya Jawa. Interpretant-nya adalah dorongan moral untuk menghadapi tantangan hidup
dengan tekad dan kebijaksanaan. Parang juga mengandung makna spiritual tentang kesetiaan
terhadap prinsip dan integritas pribadi.
Motif Parang (Jawa) tergolong salah satu motif tertua dan paling sakral dalam tradisi
batik Jawa. Motif ini berbentuk garis miring yang bergelombang, menyerupai ombak laut yang
terus bergerak. Kata "parang" berasal dari kata "pereng" yang berarti lereng atau kemiringan.
Motif ini memiliki makna semangat juang yang tidak pernah padam. Dalam sejarahnya, batik
parang hanya dikenakan oleh kalangan bangsawan atau prajurit sebagai simbol kekuatan,
keteguhan, dan kewibawaan. Dalam struktur semiotik, motif parang adalah representamen dari
dinamika kehidupan dan semangat pantang menyerah. Objeknya adalah nilai perjuangan dan
keberanian dalam budaya Jawa. Interpretant-nya adalah dorongan moral untuk menghadapi
tantangan hidup dengan tekad dan kebijaksanaan. Parang juga mengandung makna spiritual
tentang kesetiaan terhadap prinsip dan integritas pribadi. Nilai-nilai karakter yang terkandung di
dalamnya mencakup kerja keras, keberanian, dan konsistensi dalam prinsip (Utami, 2024)
Keempat motif ini masing-masing mengandung sistem tanda yang kuat dalam membentuk
identitas budaya sekaligus menyampaikan nilai-nilai pendidikan karakter. Jika Patra
mengajarkan keharmonisan, Kawung mengajarkan keseimbangan dan pengendalian diri,
Truntum mengajarkan cinta dan pengorbanan, maka Parang menjadi simbol perjuangan dan
semangat. Melalui pemaknaan semiotik, keempat motif ini dapat diintegrasikan dalam
pembelajaran seni rupa sebagai sarana memperkuat kesadaran budaya sekaligus menanamkan
nilai-nilai luhur kepada generasi muda. Penggunaan motif-motif ini dalam pendidikan seni rupa
memungkinkan siswa tidak hanya mengembangkan keterampilan visual, tetapi juga berpikir
kritis dan reflektif terhadap warisan budaya mereka. Dengan pendekatan semiotika Peirce, guru
dan siswa dapat memahami bahwa setiap ornamen memiliki cerita, filosofi, dan pesan yang
relevan untuk kehidupan modern. Ini memperluas fungsi seni rupa dari sekadar estetika menjadi
wahana edukatif yang memperkaya karakter dan identitas bangsa.
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2025, Page: 200-211
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
209
Made Aditya Abhi Ganika et.al (Integrasi Nilai Budaya dalam Ragam....)
Motif-motif pada Gambar 2 merupakan tradisional pada Figure Indonesia tidak hanya kaya
secara estetika, tetapi juga sarat makna filosofis yang tercermin melalui analisis semiotika
Charles Sanders Peirce. Dalam pendekatan ini, setiap motif dapat dianalisis melalui tiga elemen:
representamen (bentuk visual), objek (referensi budaya), dan interpretant (makna). Motif Patra
Bali, misalnya, menampilkan bentuk sulur, daun, dan lengkung menyerupai api yang lazim
ditemukan dalam ornamen pura, ukiran kayu, atau kain Bali. Motif ini mencerminkan nilai
religiusitas, keindahan budaya, serta keseimbangan antara alam dan spiritualitas. Sementara itu,
motif Kawung dari Jawa menggambarkan lingkaran simetris menyerupai buah kolang-kaling
yang berasal dari batik keraton Yogyakarta. Motif ini melambangkan kesucian, kesederhanaan,
dan pengendalian diri. Berbeda lagi dengan motif Truntum, yang berbentuk bunga kecil seperti
bintang dan diciptakan sebagai simbol cinta abadi dari permaisuri Sunan Pakubuwono kepada
suaminya. Makna di baliknya mencakup kasih sayang, kesetiaan, dan kepedulian. Terakhir,
motif Parang yang berbentuk diagonal bergelombang seperti ombak melambangkan keteguhan,
keberanian, serta semangat pantang menyerah. Keempat motif ini menunjukkan bagaimana seni
visual tradisional Indonesia mengandung nilai-nilai karakter luhur yang relevan untuk
pendidikan moral masa kini.
4. Kesimpulan
Penelitian ini mengungkap bahwa motif-motif tradisional Indonesia memiliki nilai semiotik
yang kuat dan relevan sebagai media pendidikan karakter. Melalui pendekatan semiotika Peirce,
ditemukan bahwa representamen visual seperti lengkung, garis, dan pola pada motif tradisional
menyimpan simbol-simbol budaya yang mendalam. Motif Patra Bali, misalnya, menggambarkan
nilai spiritual dan religiusitas melalui bentuk sulur dan api yang kerap muncul pada ornamen
pura dan ukiran. Motif ini merepresentasikan keharmonisan antara manusia dan alam dalam
sistem kepercayaan masyarakat Bali. Motif Kawung dengan bentuk lingkaran simetris yang
menyerupai biji aren, menjadi simbol pengendalian diri dan kesucian dalam tradisi keraton Jawa.
Sementara itu, motif Truntum diciptakan sebagai simbol cinta abadi, yang mencerminkan kasih
sayang dan kesetiaan seorang istri kepada suaminya. Motif Parang, dengan garis diagonal
menyerupai ombak, melambangkan kekuatan, keberanian, dan keteguhan para bangsawan dan
prajurit Jawa. Simpulan ini menjawab permasalahan utama dalam penelitian, yaitu bagaimana
Gambar 2. Ornamen Bali dan Jawa
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2025, Page: 200-211
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
210
Made Aditya Abhi Ganika et.al (Integrasi Nilai Budaya dalam Ragam....)
motif tradisional memuat nilai-nilai karakter, serta menjawab tujuan penelitian untuk
mengungkap makna simbolik dari masing-masing motif tersebut. Dengan demikian, dapat
ditegaskan bahwa motif tradisional tidak hanya memiliki fungsi dekoratif, tetapi juga edukatif
dan moral. Implikasi dari temuan ini adalah pentingnya pemanfaatan motif tradisional sebagai
media pendidikan karakter berbasis budaya lokal. Rekomendasi bagi pendidik dan pengambil
kebijakan adalah mengintegrasikan unsur budaya visual ini ke dalam pembelajaran seni, sejarah,
dan pendidikan karakter. Penelitian lanjutan disarankan untuk mengeksplorasi lebih banyak
motif dari daerah lain, serta meneliti efektivitas penggunaan motif ini dalam membentuk karakter
generasi muda secara praktis di lingkungan sekolah.
5. Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Negeri Yogyakarta atas dukungan
dalam bentuk pendanaan dan fasilitas yang memungkinkan penelitian ini dapat terlaksana
dengan baik. Penulis juga menyampaikan apresiasi kepada semua pihak yang telah memberikan
masukan dan bantuan selama proses penyusunan penelitian ini.
6. Daftar Pustaka
Adnyani, N. P. S. (2021). Simbolisme Ornamen Tradisional Bali dalam Konteks Pendidikan
Karakter. Jurnal Penelitian Budaya, 5(1), 3345.
Alvarez, I. M. (2021). Linking curriculum content to students’ cultural heritage in order to
promote inclusion. International Journal of Inclusive Education.
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13603116.2021.1900425
Ardika, I. W. (2015). Kebudayaan Bali dalam Perspektif Arkeologi. Udayana University Press.
Barthes, R. (1977). Image, Music, Text. Fontana Press.
Chandler, D. (2007). Semiotics: The Basics. Routledge.
Djelantik, A. A. M. (1999). Estetika: Sebuah Pengantar. Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia.
Eisner, E. W. (2002). The Arts and the Creation of Mind. Yale University Press.
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.
Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. Sage.
Herlina, H., Amiruddin, A. C., & Firmansyah, A. (2025). Integration of Kaili Cultural Values in
Strengthening Students’ Character Education. Tekno-Pedagogi, 15(1), 96105.
https://online-journal.unja.ac.id/pedagogi/article/view/42217
Hidayati R., A. N. ; W. (2021). Pembelajaran berbasis budaya lokal dalam penguatan karakter
siswa. Jurnal Pendidikan Karakter, 11(2), 123134.
Kemendikbudristek. (2022a). Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka. Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Kemendikbudristek. (2022b). Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka. Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta.
Academy of Education Journal
Vol. 16, No. 2, Juli 2025, Page: 200-211
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
211
Made Aditya Abhi Ganika et.al (Integrasi Nilai Budaya dalam Ragam....)
Lestari, H. (2023a). Nilai Pendidikan Karakter dalam Batik Tradisional Jawa. Jurnal Estetika
Nusantara, 8(2), 101116.
Lestari, H. (2023b). Nilai Pendidikan Karakter dalam Batik Tradisional Jawa. Jurnal Estetika
Nusantara, 8(2), 101116.
Miles, M. B., Huberman, A. M., & Saldaña, J. (2014). Qualitative Data Analysis: A Methods
Sourcebook (3rd, Ed.). Sage Publications.
Moleong, L. J. (2021). Metodologi penelitian kualitatif. PT Remaja Rosdakarya.
Nurgiyantoro, B. (2001). Fiksi Baru dan Budaya Lokal. Pustaka Pelajar.
Nurhadi, N. (2018). Makna Filosofis Ragam Hias Batik Yogyakarta dalam Pendidikan Karakter.
Jurnal Seni Dan Budaya, 10(2), 4555.
Peirce, C. S. (1931). Collected Papers of Charles Sanders Peirce (Vols. 18, Eds. C. Hartshorne
& P. Weiss). Harvard University Press.
Prasetyo, T., & Widodo, D. (2022). Implementasi Motif Batik Kawung dalam Pendidikan Seni
Berbasis Karakter. Jurnal Pendidikan Dan Budaya, 11(3), 5568.
Rita, M. (2023). Tri Hita Karana dalam Ornamen Bali sebagai Pendekatan Edukasi Estetik.
Jurnal Kajian Budaya Dan Seni, 9(1), 8897.
Santosa, P. H. (2015). Semiotika dan Makna Ragam Hias Tradisional. Jurnal Humaniora, 27(2),
189198.
Sedyawati, E. (2006). Seni dan Budaya dalam Perspektif Indonesia. Pustaka Sinar Harapan.
Setyawan, A. (2020). Revitalisasi Pembelajaran Seni Rupa Berbasis Budaya Lokal. Jurnal
Pendidikan Seni, 6(1), 1220.
Sibarani, R. (2013). Kearifan Lokal: Hakikat, Peran dan Metode Tradisional. Asosiasi Tradisi
Lisan (ATL).
Suparlan, P. (2004). Kesatuan Sosial Budaya di Indonesia. LIPI Press.
Susanto, A. (2011). Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah. Prenadamedia Group.
Suyanto, S. (2017). Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi dalam Konteks Pendidikan
Seni. Jurnal Ilmiah Pendidikan, 19(3), 233240.
Utami, S. N. (2024). Semiotika Batik Parang dalam Perspektif Pendidikan Nilai. Jurnal Ilmu
Sosial Dan Humaniora, 10(1), 7489.
Widodo, J. (2020). Integrasi budaya dalam pembelajaran seni untuk membentuk karakter. Jurnal
Seni Rupa, 15(1), 4559.