seni rupa, pemanfaatan ragam hias lokal menjadi sangat penting untuk memperkenalkan siswa
pada warisan budaya sekaligus menanamkan nilai-nilai karakter.
Seni visual berbasis tradisi, jika dianalisis secara semiotik, dapat mengungkap lebih dari
sekadar bentuk dan warna. Salah satu pendekatan yang relevan adalah teori semiotika triadik dari
Charles Sanders Peirce, yang menyatakan bahwa tanda terdiri dari tiga elemen utama:
representamen (bentuk tanda), object (hal yang diwakili), dan interpretant (makna yang dipahami
oleh penafsir) (Peirce, 1931). Dalam hal ini, motif patra Bali dapat dipahami sebagai
representamen visual dari keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas, sementara motif
kawung dari Yogyakarta mencerminkan konsep kesederhanaan dan kendali diri.
Sebagaimana dijelaskan oleh (Chandler, 2007), “setiap tanda dalam sistem budaya memiliki
fungsi ganda—sebagai penyampai makna dan sebagai pembentuk identitas kultural.” Oleh karena
itu, motif-motif tradisional bukan hanya dapat dianalisis, tetapi juga diajarkan sebagai media
pendidikan karakter. Pendidikan karakter sendiri memiliki tujuan untuk membentuk peserta didik
yang berakhlak mulia, bertanggung jawab, dan memiliki kesadaran budaya. (Suyanto, 2017)
menekankan bahwa “pendidikan seni rupa merupakan media strategis untuk menanamkan nilai-
nilai kepribadian melalui pengenalan budaya lokal.
Melalui pendekatan semiotika Peirce, pembelajaran ragam hias dapat dijadikan sarana untuk
memperkuat pemahaman siswa terhadap simbol-simbol budaya sekaligus membangun karakter
yang mencerminkan nilai-nilai lokal seperti gotong royong, kejujuran, kerja keras, dan rasa cinta
terhadap warisan budaya bangsa. Indonesia merupakan negara yang kaya akan warisan budaya,
termasuk di dalamnya ragam hias tradisional yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Ragam
hias tidak hanya berfungsi sebagai ornamen dekoratif, tetapi juga menyimpan nilai-nilai filosofis,
spiritual, dan sosial yang mendalam. Salah satu bentuk warisan budaya yang sangat kaya akan
nilai tersebut adalah motif hias dari Bali dan Yogyakarta, seperti Patra, Kawung, Truntum, dan
Parang. Setiap motif memiliki makna simbolik tersendiri yang merefleksikan pandangan hidup
masyarakat pendukungnya. Dalam konteks pendidikan, ragam hias ini dapat menjadi media
strategis dalam penguatan karakter siswa Pendekatan semiotika, khususnya yang dikembangkan
oleh Charles Sanders Peirce, menjadi landasan yang tepat untuk menggali makna simbolik dari
ragam hias tersebut. Semiotika Peirce mengklasifikasikan tanda ke dalam tiga elemen utama, yaitu
representamen (tanda itu sendiri), objek (hal yang diwakili oleh tanda), dan interpretant
(pemahaman atau makna yang ditangkap oleh penerima tanda).
Melalui pendekatan ini, kita dapat menafsirkan bagaimana motif-motif tradisional
mengandung nilai-nilai budaya yang dapat ditransformasikan ke dalam nilai pendidikan karakter.
Sebagai contoh, motif Patra dari Bali yang berbentuk sulur dan lengkungan organik tidak hanya
mencerminkan keindahan alam, tetapi juga filosofi hidup seimbang dengan alam dan spiritualitas.
Dalam interpretasi semiotik, representamennya berupa pola-pola sulur yang mengalir, objeknya
adalah harmoni antara manusia dan alam, dan interpretannya adalah nilai-nilai kebersahajaan dan
kesadaran ekologis. Sementara itu, motif Kawung dari Yogyakarta yang menyerupai biji aren
memiliki makna filosofis tentang pengendalian diri dan kesederhanaan. Motif ini dulunya
digunakan oleh keluarga keraton dan mengajarkan bahwa kekuasaan harus disertai dengan
kebijaksanaan dan keadilan (Prasetyo & Widodo, 2022).
Truntum, motif berbentuk bunga kecil yang menyerupai bintang, melambangkan cinta kasih
yang tulus, biasanya digunakan dalam acara pernikahan sebagai simbol cinta orang tua terhadap
anak (Lestari, 2023) Adapun motif Parang yang berwujud garis miring menyerupai ombak laut,
mengekspresikan keberanian, semangat juang, dan keteguhan karakter (Utami, 2024). Dengan
menempatkan ragam hias ini dalam kerangka semiotika, guru dapat mengarahkan siswa untuk
tidak hanya mempelajari aspek estetika dan teknik menggambar, tetapi juga memahami makna