1. Pendahuluan
Pajak merupakan instrumen penting dalam pembangunan nasional. Sebagai kewajiban
nasional, pajak mencerminkan peran serta masyarakat dalam mendukung pembiayaan negara.
Dana pajak digunakan untuk membiayai infrastruktur, layanan publik, pendidikan, dan
kesehatan, sehingga mendukung kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (Andriani et al.,
2024). Di tingkat global, sektor perpajakan menjadi tulang punggung pendapatan domestik.
Negara-negara berupaya meningkatkan sistem perpajakan melalui inovasi teknologi, kebijakan
yang adil, dan perluasan basis pajak untuk memastikan keberlanjutan keuangan negara dan
pemerataan ekonomi. Pajak juga menjadi alat redistribusi pendapatan demi keadilan social
(Cindy, 2023).
Di Indonesia, penerimaan perpajakan terus menjadi pilar utama dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 2023, realisasi penerimaan pajak
mencapai Rp1.869,2 triliun, melampaui target sebesar 108,8% dari APBN. Pencapaian ini
mencerminkan efektivitas reformasi perpajakan yang tengah berjalan, termasuk digitalisasi
administrasi pajak dan penguatan pengawasan (Kementrian Keuangan, 2024). Keberhasilan
pemerintah dalam mendorong penerimaan pajak melalui berbagai kebijakan fiskal dan
pengelolaan administrasi pajak yang semakin modern dilihat berdasarkan pencapaian ini.
Meskipun penerimaan meningkat, tax ratio Indonesia masih berada di bawah angka ideal. Tax
ratio tahun 2023 hanya mencapai angka 10,21% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di
bawah angka ideal untuk negara berkembang yang direkomendasikan sebesar 15% hingga
18% (Siswanto, 2024). Tax ratio ini jauh di bawah standar ideal 15–18% untuk negara
berkembang, sebagaimana direkomendasikan oleh IMF dan OECD. Hal ini menunjukkan
adanya tantangan struktural dalam memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan wajib
pajak, serta mengintegrasikan sektor informal ke sistem perpajakan formal.
Sebagai negara yang menerapkan sistem self-assessment, tingkat kepatuhan wajib pajak
sangat menentukan keberhasilan pengumpulan pajak. Namun, rendahnya tax ratio
menunjukkan bahwa banyak wajib pajak belum memenuhi kewajibannya secara optimal.
Kurangnya penyuluhan dari pemerintah kepada masyarakat sebagai wajib pajak mengenai
pentingnya membayar pajak, manfaat membayar pajak, dan sanksi yang akan diterima jika
wajib pajak melalaikan kewajibannya menjadi tantangan utama. Selain rendahnya kesadaran
pengetahuan Sumber Daya Manusia (SDM), hal ini juga mempengaruhi, dimana Wajib Pajak
tidak memahami pentingnya membayar pajak tersebut, tidak mengetahui cara mendaftar,
menghitung dan melaporkan sendiri Objek Pajak yang mereka kuasai, miliki dan gunakan
(Wala & Rasji, 2023). Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya pemahaman dan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya pajak (Wardani & Kurniawan, 2024). Oleh karena
itu, edukasi pajak menjadi kunci untuk membangun moral pajak (tax morale) dan
meningkatkan kepatuhan pajak secara sukarela (voluntary tax compliance) (Dwi Nurcahya &
Kuniawati, 2024).
Salah satu upaya strategis untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak adalah
melalui edukasi pajak, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-46/PJ/2021. Kebijakan ini dirancang untuk menciptakan pola kegiatan edukasi perpajakan
yang lebih terencana, terstruktur, terarah, terukur, dan berkelanjutan, guna meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pelaksanaannya (Direktur Jendral Pajak, 2021). Edukasi perpajakan
diharapkan tidak hanya berfokus pada penyampaian informasi mengenai kewajiban
perpajakan, tetapi juga mampu membangun kesadaran moral pajak (tax morale) yang menjadi