Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 2, Oktober 2024, Page: 1597-1606
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
1597
Windayanti et.al (Heritage Sebagai Sumber Pembelajaran.)
Heritage Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah
Siswa
Windayanti
a,1
, Ika Nur Jayanti
b,2
a, b
Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Tadulako-Palu
*
Corresponding Author: windayanti.s[email protected]
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 16 Agustus 2024
Direvisi: 30 Agustus 2024
Disetujui: 20 September 2024
Tersedia Daring: 2 Oktober 2024
Penelitian ini terfokus pada upaya pemanfaatan Heritage sebagai sumber
belajar untuk memahami materi sejarah sebaiknya mulai dikenalkan kepada
siswa-siswi, sebagai strategi agar terwujud efektivitas pembelajaran. Tujuan
Penelitian ini adalah: (1) Mendeskripsikan kondisi terkini heritage Donggala;
(2) Menguraikan dan merumuskan upaya pemanfaatan heritage Donggala
sebagai sumber pembelajaran sejarah secara maksimal. Penelitian ini
dlakukan di Kota Donggala. Tahapan penelitian ini menggunakan metode
sejarah, yakni empat tahapan penletian: Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi,
dan historiografi. Tahap Heuristik dilakukan dengan cara: Focus Group
Discussion (FGD), interview, dan arsip/dokumen. Hasil dan pembahasan
menemukan bahwa, Pemanfaatan Heritage sebagai sumber belajar saat ini
masih sangat kurang. Upaya pemanfaatan Heritage sebagai sumber belajar
untuk memahami materi sejarah sebaiknya mulai dikenalkan kepada siswa-
siswi, sebagai strategi agar terwujud efektivitas pembelajaran. Tujuan
pembelajaran di Heritage Kabupaten Donggala sebagai salah satu upaya untuk
menguatkan memori kolektif bahwa Kabupaten Donggala merupakan
kabupaten yang tertua di Sulawesi Tengah, memiliki peran penting dalam
sejarah lokal yang panjang. Selain itu memiliki begitu banyak bangunan-
bangunan yang bersejarah yang masih ada secara fisik seperti Gedung Aduma
Niaga, Gudang Kopra Berbentuk Silinder, Kantor Badan Koperasi Kopra
Daerah (BKKD), Bekas Kantor Koninklijk Paketvaart Maatshapij (KPM),
Menara Suar di Bone Oge, Gedung Bea Cukai atau Kantor Douane, Gedung
Bioskop Megaria, Makan Gonenggati. Maka dari itu siswa- siswi bisa belajar
tentang sejarah lokal yang ada di Kabupaten Donggala.
Kata Kunci:
Haritage
Kota Donggala
Pembelajaran Sejarah
ABSTRACT
Keywords:
Daily
Donggala City
History Learning
This research focuses on efforts to use Heritage as a learning resource to
understand historical materials, it should be introduced to students, as a
strategy to realize learning effectiveness. The objectives of this research are:
(1) To describe the current condition of Donggala heritage; (2) Describe and
formulate efforts to utilize Donggala heritage as a source of history learning to
the maximum. This research was conducted in Donggala City. The stages of
this research use historical methods, namely four stages of research: Heuristic,
Source Criticism, Interpretation, and historiography. The Heuristic stage is
carried out by: Focus Group Discussion (FGD), interviews, and
archives/documents. The results and discussions found that the use of
Heritage as a learning resource is currently still very lacking. Efforts to use
Heritage as a learning resource to understand historical material should be
introduced to students, as a strategy to realize learning effectiveness. The
purpose of learning in Heritage Donggala Regency is one of the efforts to
strengthen the collective memory that Donggala Regency is the oldest district
in Central Sulawesi, has an important role in a long local history. In addition, it
has so many historical buildings that still exist physically such as the Aduma
Niaga Building, the Cylindrical Copra Warehouse, the Regional Copra
Cooperative Agency (BKKD) Office, the Former Koninklijk Paketvaart
Maatshapij (KPM) Office, the Beacon Tower in Bone Oge, the Customs Building
or Douane Office, the Megaria Cinema Building, the Gonenggati Restaurant.
Therefore, students can learn about the local history in Donggala Regency.
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 2, Oktober 2024, Page: 1597-1606
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
1598
Windayanti et.al (Heritage Sebagai Sumber Pembelajaran.)
©2024, Windayanti, Ika Nur Jayanti
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Kabupaten Donggala memiliki riwayat sejarah yang panjang. Sejumlah catatan
menunjukkan bahwa eksistensi wilayah Donggala telah ada paling tidak sejak abad ke- 16,
ketika Antonio de Paiva, seorang pedagang Portugis beserta pelancong lain yang sering
beroperasi di Maluku dan Timor mendatangi Sulawesi Tengah dan mencatat tentang kekayaan
cendana di Donggala sejak 1542 (Collins, 2006, hlm. ix; PaEni dkk.,1995, hlm. 42). Di masa
kejayaan Verenigde Oost-Indie Compagnie atau kongsi dagang Hindia Belanda yang dimulai
pada abad ke-17, Nadjamuddin dkk. mencatat bahwa secara politik, Banawa yang kini menjadi
nama kecamatan di Donggala juga pernah berada di bawah kekuasaan atau pengaruh kerajaan
Gowa yang merupakan dampak dari adanya perjanjian Bongaya yang ditandatangani pada 18
November 1667. Meski begitu, Banawa masih diberi kebebasan untuk mengurus wilayahnya
sendiri, terutama sektor pelabuhan (Lukman, 2016, hlm. 17). Hal ini membawa Donggala
menjadi salah satu titik penting dalam jaringan niaga yang dibangun oleh imperialis VOC.
Memasuki masa kolonial pun demikian, Donggala menjadi ibu kota Afdeling Midden-Celebes
karena posisi pentingnya di Pulau Sulawesi (Lukman & Idrus, 2008).
Jejak panjang Donggala dalam sejarah tersebut masih dapat dilihat pada hari ini, baik
dalam buku teks hasil penelitian maupun benda-benda sebagai bukti sejarah. Sejumlah
bangunan tua menjadi warisan atau heritage berharga yang bernilai historis. Keberadaan
bangunan tersebut sebenarnya bisa menjadi salah satu aspek yang dapat memupuk kesadaran
sejarah bangsa Indonesia. Kuntowijoyo menegaskan bahwa bangunan, selain foto dan alat-
alat, merupakan bukti artefak (artifact) yang dapat dijadikan sebagai sumber dalam penelitian
maupun pembelajaran sejarah (Kuntowijoyo, 2013, hlm. 73).
Terdapat sejumlah cagar budaya yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai media
pembelajaran sejarah di Donggala. Andrifal Latomaria mencatat bahwa terdapat 10 bangunan
warisan sejarah yang masih tampak hari ini, antara lain Gedung Aduma Niaga di kelurahan
Boya, Gudang Kopra Silinder di Kelurahan Tanjung Batu yang sebagiannya telah porak-
poranda akibat terjangan tsunami dan guncangan gempa bumi 28 September 2018 silam, bekas
Kantor Koperasi Kopra Daerah (BKKD) yang juga berada di kompleks pelabuhan, bekas
kantor Koninklijk Paketvaart Maatschapij (KPM) yang kemudian beralih menjadi Pelayaran
Nasional Indonesia atau PT Pelni, Menara Mercusuar di Desa Bone Oge, hingga rumah bekas
kantor Asisten Residen Belanda di Kelurahan Gunung Bale.
Meski penggunaan artefak tersebut sudah jamak dimanfaatkan sebagai sumber dalam
sejumlah penelitian sejarah, penggunaannya sebagai pembelajaran sejarah yang merupakan
perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang
peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini (Widja, 1989, hlm. 23), masih
kurang dilakukan. Hal ini membuat pengetahuan sejarah lokal menjadi eksklusif dan terbatas
pada lingkungan tertentu saja. Akibatnya, penelitian sejarah berdasarkan artefak tersebut
tidak sampai pada tataran siswa-siswa di sekolah. Padahal, sejarah lokal dapat memainkan
peran penting dalam pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah yang sampai hari ini masih
belum dimasukkan ke dalam materi khusus dalam kurikulum sekolah. Melalui pembelajaran
berbasis pengetahuan lokal tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memperkuat memori
kolektif dan kesadaran sejarah di kalangan siswa-siswi, khususnya di Sulawesi Tengah.
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1) Bagaimana kondisi heritage Donggala yang
bernilai sejarah pada saat ini?; 2) memaksimalkan heritage Donggala sebagai pembelajaran
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 2, Oktober 2024, Page: 1597-1606
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
1599
Windayanti et.al (Heritage Sebagai Sumber Pembelajaran.)
sejarah?. Penelitian ini menggunakan metodologi Sejarah dengan melakukan pengumpulan
(heuristik), Kritik Sumber, Pemberian makna atau Interpretasi, dan Historiografi. Data ini
dikumpulkan melalui berbagai macam cara seperti observasi, wawancara, intisari dokumen,
dan sebagainya.
2. Metode
Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yakni empat tahapan penletian: Heuristik,
Kritik Sumber, Interpretasi, dan historiografi. Tahap Heuristika dilakukan dengan cara: Focus
Group Discussion (FGD), interview, dan arsip/dokumen. Pertama, Focus Group Discussion
(FGD). Tim peneliti akan melakukan Focus Group Discussion (FGD) yang akan dihadiri oleh
para pemangku kepentingan, baik dari perwakilan masyarakat adat, pemerintah lokal, guru-
guru, maupun para penggiat budaya di Kabupaten Donggala. Mengacu pada hasil FGD,
peneliti akan mengidentifikasi berbagai. Kedua, Interview atau wawancara. Wawancara
mendalam akan dilakukan dengan masyarakat yang mendiami kota Tua Donggala untuk
menjaring informasi dari tokoh masyarakat dan sejumlah organisasi masyarakat di Kabupaten
Donggala. Masyarakat yang akan diwawancarai tidak hanya berkecimpung dalam prosesi adat
istiadat, tetapi juga masyarakat umum yang langsung terlibat dalam kesaksian heritage.
Ketiga, Arsip atau Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah arsip statis dan
arsip dinamis baik yang belum diterbitkan maupun yang sudah diterbitkan berupa Koran dan
semacamnya.
Tahap Kritik Sumber, pada tahap ini melakukan kritik intern untuk mendapatkan
keotentikan sumber dan melakukan kritik ekstern untuk mendapatkan faliditas sumber.
Tahap Interpretasi, tahap interpretasi melakukan pemberian makna terhadap sumber-sumber
yang telah dikritik supaya dapat membentuk fakta sejarah. Pemberian makna terhadap sumber-
sumber yang telah dilakukan kritik sangat penting dalam penulisan sejarah supaya
mendapatkan arti penting dari sebuah fakta sejarah. Tahap Historiografi, Tahap ini adalah
tahap penulisan secara deksripsi diakronis (memanjang dalam waktu) dan secara sinkronis
(melebar dalam ruang). Secara diakrinis akan melihat kronologi waktu. Sementara, uraian
sinkronis akan menjeleskan informasi tentang heritage sehingga melebar dalam ruang-ruang
sosial sebagai pengembangan wacana laporan penelitian.
3. Hasil dan Pembahasan
Heritage Donggala
Secara historis, catatan tertua mengenai sejarah Donggala yang dapat dijumpai saat ini
adalah kesaksian Kapten David Woodard, seorang pelaut asal Inggris yang terdampar di
Donggala serta sempat menjadi tawanan Raja Donggala di akhir abad ke 18, tepatnya di tahun
1792. Kesaksiannya menunjukkan bahwa masyarakat Donggala telah lama terhubung dengan
dunia luar serta dalam bahasa kesehariannya mereka menggunakan bahasa Melayu (Vaughan,
2022). Catatan inilah yang menjadi rujukan bagi James T. Collins dalam menyusun Sejarah
Bahasa Melayu di Sulawesi Tengah (Collins, 2006).
Sukar melacak sejarah Donggala di awal dan pertengahan abad ke-19. Meskipun begitu,
tahapan penting dalam sejarah Donggala adalah terbentuknya Onderafdeling Donggala di awal
abad ke-20 sebagai bentuk desentralisasi yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Bersama Poso, kedua onderafdeling ini merupakan bagian dari Afdeling Midden-
Celebes yang berdiri pada 1905 hingga 1924 (Abubakar, 2021; Mamar et al., 1984;
Nadjamuddin et al., 2016). Setelah itu, Afdeling Midden-Celebes ditiadakan oleh pemerintah
kolonial. Donggala bersama Poso masing-masing dipromosikan secara administratif menjadi
Afdeling Poso dan Donggala. Pada fase itu, Donggala secara berangsur-angsur mengalami apa
yang disebut sebagai modernisasi yang dimotori oleh pemerintah kolonial dengan cara
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 2, Oktober 2024, Page: 1597-1606
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
1600
Windayanti et.al (Heritage Sebagai Sumber Pembelajaran.)
memonopoli perdagangan dan menundukkan penguasa setempat, selain juga menaklukannya
secara politik.
Letak strategis Donggala yang berhadapan langsung dengan Selat Makassar membuatnya
menjadi salah satu pelabuhan yang ramai bagi pelayaran Nusantara. Sepanjang abad ke-20,
Donggala menjadi ramai dengan aktivitas perdagangan tekstil, beras, hingga kopra yang
menjadi komoditi utama perdagangan mereka (Hasanuddin, 2018). Pelayaran yang menautkan
Donggala ke Makassar hingga Singapura menciptakan akulturasi budaya yang membentuk
masyarakat Donggala menjadi kosmopolit. Seiring berjalannya waktu, kejayaan pelabuhan
niaga Donggala mulai menghilang dan paling tidak sejak 1978, fungsi Pelabuhan Donggala
dipindah ke Pantoloan. Sangat sedikit catatan mengenai Donggala saat pendudukan Jepang.
Hanya saja, hal yang perlu diketahui adalah bahwa Donggala menjadi tempat sentral bagi
kaum pergerakan yang tercermin dari perjuangan melawan pemerintah NICA yang datang
setelah kekalahan Jepang dan proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Beberapa
tempat yang saat ini masih berdiri pernah menjadi saksi bisu atas sejumlah kejadian heroik
kaum pergerakan Donggala dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia (Nainggolan,
1982). Selain tertulis dalam sejumlah buku teks, fakta-fakta di atas sebenarnya dapat dipelajari
melalui sejumlah tinggalan yang saat ini masih ada di Donggala. Dalam ilmu sejarah, artefak
atau tinggalan berbentuk fisik dapat dimanfaatkan sebagai sumber sejarah. Bagian
selanjutnya akan membahas tentang sejumlah bangunan yang dapat menjadi sumber
pembelajaran sejarah.
Publikasi tentang Kabupaten Donggala ke mancanegara sesunguhnya tidak terlepas dari
peran penting sebuah pelabuhan tua yang berada di ibu kota Donggala, dimana pelabuhan
tersebut menjadi pelabuhan tersibuk pada abad ke 15 dalam perdagangan antarpulau di
Nusnatara bahkan menjadi pelabuhan penghubung atau transit kapal-kapal asing yang berlayar
ke wilayah Nusantara dalam catatan cina yang dikutip oleh Mohammad Isnaeni dan Zulkifli
Pagessa (2013:2) keberadaan wilayah Donggala jauh sebelumnya sudah diketahui oleh
masyarakat mancanegara.
Penjelasan tentang catatan tertua mengenai keberadaan Kabupaten Donggala sebagai
pusat perdagangan hasil bumi menunjukan jika Kabupaten Donggala memiliki pontesi sumber
daya alam yang melimpa, sehingga hal itu menjadikan Donggala banyak disinggahi oleh
kapal-kapal bangsa asing khususnya bangsa Eropa, seiring dengan terkenalnya Donggala
sebagai kota perdagangan tersibuk pada masa tersebut Banawa yang notabene ibu Kota
Kabupaten Donggala sesungunya berada dalam kekuasan kerajaan Banawa seiring dengan
berjalanya waktu kedatangan bangsa Eropa dengan kongsi dagang milik bangsa Belanda yaitu
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
1. Mengidentifikasi Bangunan Warisan Sejarah Donggala
Berdasarkan observasi yang telah tim peneliti lakukan, terdapat beberapa bangunan yang
berpotensi menjadi sumber pembelajaran sejarah. Seluruh bangunan tersebut tersebar di
beberapa kelurahan yang berada di Kecamatan Banawa. Hal ini didasarkan pada usia
bangunan-bangunan tersebut serta perannya dalam sejarah Donggala sejak masa kolonial.
Berikut ini adalah beberapa bangunan yang dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran
sejarah, antara lain:
a) Gedung Aduma Niaga
Gedung ini didirikan pada 1963 sebagai kantor Perusahaan Dagang Negara P.N. Budi
Bhakti Cabang Donggala (Latomaria, 2018). Lokasi gedung ini terletak di kelurahan Boya
tepat berada di depan pintu gerbang pelabuhan utama donggala disamping dengan gedung
bank nasional Indonesia. gedung aduma niaga sendiri sampai saat ini belum mendapatkan
perhatian khusus dari pemerintah kabuoaten donggala, secara fisik bangunan
memprihatinkan tidak adanya perawatan khusus dari pihak pemerintah, ironisnya didalam
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 2, Oktober 2024, Page: 1597-1606
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
1601
Windayanti et.al (Heritage Sebagai Sumber Pembelajaran.)
gedung ini sendiri terdapat sebuah pohon beringin yang tumbuh secara alamiah sehingga hal
ini mengkhawatirkan bila suatu saat pohon tersebut akan rubuh serta menjalarnya akar akar
pohon ke berbagai sudut bangunan terutama disekitar dinding bangunan dan atap bangunan,
atap bangunan itu sendiri mulai bocor, seputaran bangunan terdapat beberapa bangunan yang
tua, bangunan peninggalan bangsa colonial belanda sampai saat ini dipertahankan
keasliannya sebab masih dalam pengawasan sebuah perusahaan milik Negara yaitu PT
perusahaan perdagangan Indonesia PERSERO tulisan itu terlihat jelas di dinding utama pintu
masuk bangunan. Gedung ini dilengkapi dengan gudang yang dipergunakan sebagai tempat
penyimpanan bahan pokok dan kebutuhan sandang dan pangan bagi masyarakat oleh
pemerintah.
Aduma Niaga terletak di depan pintu gerbang pelabuhan Donggala, tepat di samping
Bank Negara Indonesia. Secara fisik, bangunan yang terletak di Kelurahan Boya ini sangat
memprihatinkan. Tampak bahwa pemerintah Kabupaten Donggala tidak terlalu menaruh
perhatian pada gedung bersejarah ini, terlihat dari adanya pohon beringin yang dibiarkan
tumbuh secara liar dan melilit bangunan tersebut sehingga terancam roboh. Meski begitu,
struktur bangunan ini belum mengalami perubahan sama sekali.
b) Gudang Kopra Berbentuk Silinder
Gedung ini terletak di kompleks pelabuhan Donggala yang berada di Kelurahan Tanjung
Batu. Lokasinya sangat strategis dan bisa dijangkau baik dengan roda dua maupun roda
empat. Gempa 28 September 2018 silam membuat bangunan ini amblas dan roboh sebab
adanya fenomena downlift yang diakibatkan oleh gempa bumi. Dilihat dari fungsinya,
gedung ini dibangun sebagai tempat menyimpan hasil kopra yang telah dikumpulkan, serta
dijadikan sebagai tempat menjemur kopra yang siap untuk diperdagangkan. Sebab sejak masa
kolonial, Donggala pernah menjadi pusat pelabuhan termaju di Sulawesi Tengah yang
menautkannya dengan sejumlah jaringan pelayaran Hindia Belanda. Gedung kopra donggala
yang berbentuk silinder tersebut terdapat di kelurahan tanjung dengan posisi gedung
masuk yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki, kendaraan roda dua maupun beroda
empat. Tepat berada di bibir pantai pelabuhan kopra. Sedangkan bangunan kopra donggala
setengah silinder terdiri 3 buah, ketiga bangunan tersebut sangat Nampak jelas kita
melalukan kunjungan wisata. Pada gedung bangunan 1 dan 2 masih terlihat bagus sedangkan
pada bangunan ke 3 sangat rusak berat, jika kita melihat secara langsung Nampak besi-besi
tua bangunan yang rusak ini terletak disisi timur laut wilayah donggala dengan posisi berjejer
dengan posisi pintu menghadap ke utara kota donggala dan pintu samping kiri dan kanan
terdapat 2 buah di setiap gedung. Kedudukan posisi bangunan serta fungsi bangunan
sebagaimana dijelaskan oleh balai pelestarian benda cagar budaya gorontalo wilayah kerja
provinsi Sulawesi utara, Sulawesi tengah pada tahun 2013 menjelaskan: gudang kopra masih
berada dalam lahan kantor BKKD, tepatnya dibagian depan bangunan gedung kantor. 0
0
40”
LS dan 119
0
44”. dan 44”764” BT. Ketinggian dari permukaan laut 13 Mdpl. Gedung kopra
tersebut berjumlah 3 buah bangunan yang berderet dan memiliki penanda sebuah nomor urut
1.2. dan 3 dibagian atas pintuh gedung. Dengan Konstruksi bangunan tersebut menggunakan
seng yang berfungsi sebagai dinding bangunan sekaligus menjadi kesatuan dengan bagian
atap bangunan Gudang kopra tersebut dibuat sangat sederhana dengan ukuran yang
memanjang dengan dinding dan atap bangunan dibuat setengah lingkaran. Gedung tersebut
selain memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan hasil kopra yang telah di kumpulkan,
juga difungsikan sebagai tempat menjemur/oven. untuk gudang nomor 3 dibagian
belakannya terdapat bangunan memiliki banguan segi empat dengan bentuk atap segi tiga.
c) Kantor Badan Koperasi Kopra Daerah (BKKD)
Perdagangan kopra di Donggala dikelola oleh Badan Koperasi Kopra Daerah yang
bangunannya masih terdapat hingga saat ini. Arsitektur bangunan bergaya Belanda ini
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 2, Oktober 2024, Page: 1597-1606
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
1602
Windayanti et.al (Heritage Sebagai Sumber Pembelajaran.)
dibangun atas dasar kondisi iklim tropis, yang terdiri atas dua lantai yang memiliki bukaan
jendela yang cukup besar dan pintu depan dengan lengkungan pada bagian atasnya.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda membangun gedung ini dua tahun sebelum mereka
diusir oleh pemerintahan militer pendudukan Jepang, yakni pada 13 September 1940. Waktu
itu, Hindia Belanda menamai gedung ini dengan nama Stichting Het Coprafonds atau
Yayasan Dana Kopra dengan tujuan sebagai tata niaga kopra. Tugas gedung ini antara lain
memborong dan meniagakan kopra dari para petani. Pemerintah colonial belanda
membangun gedung ini pada tanggal 13 september 1940, belanda mendirikan dana kopra
dengan tujuan sebagai tata niaga bertugas memborong dan menimbun dari petani untuk
mengandalkan harga kopra. Sampai saat bangunan yang kental dengan arsitektur belanda
belum juga mendapat sentuhan dari pemerintah sehingga kondisinya dari waktu ke waktu
semakin memprihatinkan dan akan menghilangkan nilai nilai sejarah local yang ada di kota
tua donggala hal ini kondisi bangunan yang hamper rubuh serta banyaknya bagian gedung
yang sudah mulai menua karena usia tersebut.
d) Bekas Kantor Koninklijk Paketvaart Maatshapij (KPM)
Awalnya, gedung ini adalah rumah untuk agen KPM yang bertugas mengatur dan
memfasilitasi pelayaran Hindia Belanda di wilayah Donggala. Gedung ini kini dikenal
dengan nama bekas Kantor Pelayaran Nasional Indonesia atau Pelni. Sebab setelah Belanda
hengkang dan terjadi nasionalisasi perusahaan asing pada 1950-an, KPM yang merupakan
maskapai pelayaran milik Hindia Belanda dinasionalisasi oleh pemerintah Republik
Indonesia. Dengan demikian, seluruh aset pemerintah Hindia Belanda beralih menjadi milik
Pemerintah RI, termasuk kantor KPM di Donggala ini. Hingga kini, kepemilikan gedung ini
masih merupakan aset milik PT Pelni.
Gedung ini termasuk bangunan yang eye-catching atau mudah dijangkau oleh para
pengunjung di Donggala. Selain itu, perannya dalam sejarah Donggala masa kolonial
membuat gedung ini tampak klasik dan bernilai sejarah. Memiliki halaman yang luas,
gedung ini sebenarnya bisa dijadikan sebagai ruang publik terbuka yang bisa digunakan oleh
para pelajar untuk berkegiatan secara edukatif.
e) Menara Suar di Bone Oge
Menara suar atau yang juga biasa dikenal dengan nama Mercusuar ini merupakan saksi
bisu atas kejayaan pelabuhan Donggala pada masa kolonial. Menara ini berdiri sejak 1902
dengan ketinggian 28 meter yang berfungsi sebagai pengontrol arus pelayaran, keluar
masuknya kapal, dan penanda bagi kapal yang sedang melintas maupun yang hendak
bersandar. Menara ini terletak di Desa Bone Oge, sebelah utara Kabupaten Donggala.
Letaknya sangat strategis dengan keperluan pariwisata karena dekat dengan lokasi wisata
bahari Tanjung Karang.
Kompleks Gedung Tua yang ada di Donggala masa kini merupakan warisan dari
adanya kejayaan ekonomi Donggala pada masa lalu. Kompleks ini terletak di sekitar
pelabuhan dan sebagian besar saat ini dijadikan sebagai pertokoan. Arsitektur yang tampak
klasik dan bercirikan kolonial dapat menjadi salah satu daya tarik tersendiri apabila dikelola
dengan baik. Menara suar peninggalan Kolonial Belanda ini terletak didaerah desa Bone Oge
tepatnya arah utara ibu Kota Kabupatan Donggala melewati tempat rekrasi wisata bahari
tanjung karang, kondisi Menara tersebut samapai saat ini masih berdiri koko di atas bukit
yang tidak jauh dari lokasi sekolah SMP 3 Banawa desa Bone Oge. Tetap terjaga dengan
baik walupun ada beberapa ornament yang sudah mulai rusak karena usia namun menara
suar tersebut sampai saat ini menjadi patokan dan petanda bagai sebagian kapal nelayan dan
kapal- kapal tertentu yang ini melewati laut perairan donggala yang akan keluar ke selat
makasar dalam sehingga keberadaan menara suara tersebut memiliki asa manfaat yang
cukup penting bagi perlayaran msyarakat lokal juga dapat di kembangan sebagai obyek
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 2, Oktober 2024, Page: 1597-1606
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
1603
Windayanti et.al (Heritage Sebagai Sumber Pembelajaran.)
wisata bahari yang berada di Desa Bone Oge Sebagai warisan sejarah Menara Sauar
(mercusuar) merupakan saksi bisu sejarah yang menandakan kejayaan pelabuhan Donggala
pada masa kolonial belanda, bangunan yang di bangun sejak tahun 1902 dengan ketingian
menara 25 Meter berfungsi sebagai menara kontrol arus pelayaran dan arus keluar masuknya
kapal dari dan ke Selat Malaka.
f) Gedung Bea Cukai atau Kantor Douane
Di masa kolonial, perdagangan selalu dikenakan pajak atas hasil dagangannya, termasuk
di Donggala. Oleh sebab itulah kantor ini didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Bangunan ini terdiri atas tiga lantai, 6 buah jendela masing-masing di sebelah kiri dan kanan,
pintu masuk yang besar, serta pagar kawat yang dipasang sebagai pengaman. Gedung ini
juga menjadi saksi atas sejarah ramainya aktivitas bongkar muat atau peti kemas di
pelabuhan Donggala pada awal abad ke-20. Selain itu, gedung ini juga menjadi saksi atas
kejadian yang persis sama dengan peristiwa heroik di Hotel Yamato Surabaya. Setelah
proklamasi dikumandangkan dan kabar kemerdekaan sampai di Sulawesi Tengah, aktivis
Laskar Merah Putih melakukan aksi perobekan bendera Belanda di kantor ini dengan
merobek bagian biru bendera Belanda dan menyisakan bagian Merah-Putih sebagai tanda
kesetiaan kepada republik (Nainggolan, 1982). Akibatnya, para aktivis Laskar Merah Putih
tersebut menjadi buron. Gedung Bea Cukai ini terletak di dalam areal pelabuahan yang
posisinya di arah utara sudut pelabuhan, dari sejumlah gedung yang berada di lekoasi
pelabuhan hanya gedung Bea Cukai ini yang berlantai tiga. Banguan Bea Cukai ini sangat
kokoh berdiri dengan penampakan bangunan yang secara fisik sangat baik, dari hasil
observasi secara langsung bangunan Bea Cukai ini memiliki gaya tersendiri dari sejumlah
gedung yang ada di kota tua.
Bangunan yang terdiri tiga lantai dengan jumlah jendelah kiri dan kanan 6 buah dai
lantai satu sampai lantai tiga, dengan jumlah pintu pada pintu depan yang berukuran bersar
serta dua jendela, hal demikian juga terdapat pada bagian belakang gedung, pada lantai dua
terdapat pagar gawat besi sebagai sebagai pengaman. Adanya gedung ini terlepas dari
ramainya aktifitas bongkar muat di pelabuahan Donggala di awal dekade 20an sebagaimana
diungkapkan oleh Lukman Nadjemuddin dkk (2016:93) adalah: “Donggala merupakan
pelabuhan yang sangat penting artinya pada dekade kedua abad ke-20, terutama pasca perang
Dunia ke-2. Berdasarkan volume kedatangan dan keberangkatan, tampak bahwa perabuhan
Donggala merupakan pelabuhan terbanyak disinggahibaik oleh Kapal Uap maupun Kapal
Layar bahkan jauh di atas Pelabuhan Manado dan Gorontalo.Hal ini menunjukkan bahwa
Pelabuhan Donggala pada periode seberum perang Dunia merupakan urat nadi
perekonomian.” Dengan adanya pandangan tersebut sangat beralasan jika Gedung Bea Cukai
(Douane) milik Direktorat Jendral Bea dan Cukai dibangun sejak 11 desember 1967 dan
dioprasikan pada tanggal 21 maret 1969. Bangunan bea cukai ini dikelilingi beberapa
bangunan tua lainya seperti gedung penyimpanan barang bea cukai sekarang di jadikan
museum bahari, diantara bangunan tua tersebut ada satu bangunan yang pada tahun 2014 di
renovasi menjadi banguan ruang tunggu penumpang atau terminal pelabuhan yang
sebelumnya merupakan banguan gedung pada kejayaan pelabuhan, namun hingga kini
banguan berlantai tiga tersebut koko berdiri dan memiliki daya tarik tersendiri dalam
pengembangan kota wisata.
g) Gedung Bioskop Megaria
Megaria merupakan bioskop tertua yang ada di Donggala yang terletak di antara
Kelurahan Labuan Bajo dan Kelurahan Boya, Kecamatan Banawa. Awalnya, sekitar tahun
1950, bioskop ini bernama bioskop Express. Beberapa kesaksian menyebutkan bahwa
bioskop ini banyak menyediakan tontonan Malaya, terutama yang dibintangi oleh P. Ramlee.
Meski bangunannya sudah hampir roboh secara keseluruhan, masyarakat setempat menamai
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 2, Oktober 2024, Page: 1597-1606
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
1604
Windayanti et.al (Heritage Sebagai Sumber Pembelajaran.)
jalan di depan bioskop ini sebagai Jalan Bioskop sebagai upaya untuk merawat ingatan atas
sejarah modernisasi di daerah mereka. Gedung ini juga pernah menjadi saksi lahirnya
beberapa tokoh dan aktivis yang menggunakannya sebagai tempat rapat-rapat untuk urusan
politik maupun kegiatan kemasyarakatan. Megaria merupakan bioskop pertama dan tertua
yang terletak di perbatasan Kelurahan Labuan Bajo dan Kelurahan Boya Kecamatan Banawa
Ibu Kota Kabupaten Donggala. Bioskop Megaria dalam perkembangan di dekade 50an,
Jamrin Abubakar (2013:146) menjelasakan bahwa: “Bioskop ini pada mulanya disebut
Bioskop F,xpres, dibangun 1949 dan beroperasi tahun 1950 yang awalnya kebanyakan
memutar film- film Malaya masih hitam putih yang saat itu sedang populer. Terutama film
yang dibintangi P. Ramlee (1929-1973) dengan genre drama percintaan/rumah tangga yang
meratap-ratap dengan selingan lagu dan cerita paling diminati. Di antara filmnya yang
sempat diputar di Donggala yaitu Nasib (1949), Rathun Dunia (1950), Juwita (1951), Miskin
(1952), Putus Harapan (1953), Merana (1954) Penarek Bechak (1955) dan masih banyak
lagi”
h) Makan Gonenggati
Makam Gonenggati terletak di atas atas bukit keluarahan Kabonga Besar yang
masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan Bulu Bomba jarak yang ditempu kurang
lebih 400 Km, sampai di tempat makan dengan kondisi medan yang menanjak dan berbukit
Cerita rakyat tentang Legenda Gonenggati begitu fameliar dikalangan masyarakat Kota
Donggala, khusunya masyarakat yang berada di dua kelurahan yaitu kelurahan Kabonga
Kecil dan Kabongga Besar. Goneggati sendiri merupakan sorang raja perempuan Kaili yang
bermukim di wilayah seputaran kabonga memiliki kharismatik dan berpikiran demokratis
dengan mempersatukan negeri-negeri Kaili, dalam keadatan pitungota. Ia berkuasa di
wilayah Kanguhui (Kanggurui) yang pusat pemerintahanya terletak dipegunungan kabonga
kecil.
2. Upaya Pemanfaatan Heritage Donggala Sebagai Sumber Pembelajaran
Harus diakui bahwa kandungan sejarah lokal, khususnya Donggala, dalam narasi sejarah
nasional dalam buku teks pelajaran di sekolah masih sangat minim. Padahal di masa lampau
Donggala pernah menjadi salah satu pusat perdagangan di Indonesia Timur yang disinggahi oleh
pelaut domestik maupun internasional. Kekurangan ini sebenarnya bisa menjadi peluang untuk
mengenalkan sejarah lokal yang tidak tercantum dalam pendidikan formal di sekolah, yaitu
dengan memanfaatkan heritage Donggala sebagai sumber pembelajaran sejarah di sekolah.
Beberapa kunjungan telah dilakukan oleh sejumlah sekolah. pada Februari 2016, siswa dan siswi
dari Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Palu yang dibawa oleh Anton datang berkunjung ke
Donggala untuk mempelajari tinggalan-tinggalan sejarah di sana. Begitu pula kunjungan yang
dilakukan oleh siswa dan siswi dari Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Banawa yang datang
berkunjung bersama Dirsan selaku guru sejarah. Mereka datang secara terpisah untuk
mempelajari sejarah lokal yang dekat dari lingkungan mereka untuk menumbuhkan kesadaran
sejarah di kalangan siswa dan siswi.
Kandungan sejarah yang ada di Donggala dapat dikaitkan dengan beberapa materi ajar yang
ada dalam buku teks sejarah di sekolah. Beberapa di antaranya adalah mengenai Vereenigde Oost-
Indische Compagnie (VOC) yang memonopoli seluruh jalur perdagangan di Nusantara, termasuk
di Donggala yang tinggalan fisiknya masih dapat dijumpai pada hari ini. Tinggalan-tinggalan
fisik yang bersejarah tidak hanya terbatas pada penjelasan mengenai bangunannya saja,
melainkan bisa diarahkan kepada penjelasan lain yang masih berada dalam lingkup yang sama.
Keberadaan tinggalan tersebut, dalam kata lain, bisa dijadikan pintu masuk untuk menjelaskan
sejarah lokal Donggala pada aspek yang lain. Misalnya adalah keterangan bahwa seorang pelaut
Inggris, David Woodard, yang pernah terdampar di Towale dan Kota Donggala serta menjadi
tawanan Raja Donggala selama beberapa bulan di sana. Hal ini dapat membangun kesadaran
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 2, Oktober 2024, Page: 1597-1606
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
1605
Windayanti et.al (Heritage Sebagai Sumber Pembelajaran.)
sejarah siswa dan siswi, khususnya yang berasal dari Kabupaten Donggala, untuk menyadari
bahwa peradaban masyarakat Donggala telah ada sejak abad ke 18 serta dapat mengetahui
gambaran Donggala pada masa itu sehingga para pelajar bisa mengenali identitas daerah mereka
sendiri.
3. Situs Cagar Budaya Sebagai Penunjang Kota Wisata
Pengembangan situs cagar budaya sebagai wisata sejarah kota dengan obyek destinasinya
adalah gedung-gedung peninggalan kolonial Belanda yang penyebarannya terletak di ibu kota
kabupaten memiliki potensi yang dapat menunjang donggala menuju kota wisata atau kota wisata
sejarah (tourist history city). Perkembangan wisata kota dalam kurun waktu terakhir ini di semaua
wilayah Indonesia sangat begitu popular sebab meliki daya tarik tersendiri baik secara konsep
arsitekturnya maupun sejarah konsep bangunnya, pariwisata merupakan suatu kegiatan yang
secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai manfaat
terhadap masyarakat setempat dan sekitarnya. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi
dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorphose
dalam berbagai aspeknya. Pariwisata mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat bahkan bagi
Negara sekalipun, manfaat pariwisata dapat dilihat dari berbagai aspek/segi yaitu manfaat
pariwisata dari segi ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, nilai pergaulan dan ilmu
pengetahuan, serta peluang dan kesempatan kerja. Pariwisata sendiri merupakan kegiatan yang
dapat dipahami dari banyak pendekatan. dengan adanya sejumlah obyek dibutuhkan keterlibatan
semua pihak dalam mewujudka kota wisata yang berkualitas. Sehingga kegiatan wisata
merupakan sebuah kegiatan ekonomi masayarakat dalam mempublikasikan potensi lokal yang
dimiliki oleh Daerahnya dalam menunjang sebuah wilayah menajadi sebuah kota wisata perlu
dilakukan langkah-langkah kongrit oleh pemerintah sehingga dalam penataan dan pengolahan
kota wisata menjadi lebih terarah dan sistimasis pada implemenatsi pelaksanaaa.
4. Kesimpulan
Pemanfaatan Heritage sebagai sumber belajar saat ini belum efektif. Sebab sekolah-sekolah
yang berkunjung ke tempat-tempat sejarah belum memiliki kesadaran yang utuh tentang
keterlibatan pembelajaran sejarah lokal. Namun beberapa guru sekolah telah berinisiatif
membawa para siswa-siswinya mengunjungi Haritage sebagai pengenalan sejarah lokal. Upaya
memahami materi sejarah sebaiknya mulai dikenalkan kepada siswa-siswi, sebagai strategi agar
terwujud efektivitas pembelajaran. Tujuan pembelajaran di Heritage Kabupaten Donggala
sebagai salah satu upaya untuk menguatkan memori kolektif bahwa Kabupaten Donggala
merupakan kabupaten yang tertua di Sulawesi Tengah, memiliki peran penting dalam sejarah
lokal yang panjang. Selain itu memiliki begitu banyak bangunan-bangunan yang bersejarah yang
masih ada secara fisik. Maka dari itu siswa-siswi bisa belajar tentang sejarah lokal yang ada di
Kabupaten Donggala.
5. Daftar Pustaka
Abubakar, J. (2021). Donggala Kota Pusaka. Ladang Publishing.
Agung, L., & Wahyuni, S. (2013). Perencanaan Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Collins, J. T. (2006). Sejarah Bahasa Melayu: Sulawesi Tengah 1793-1795. Makassar:
Universitas Negeri Makassar.
Fuadib, M. N. J. (2017). Optimalisasi Pemanfaatan Bangunan Kota Lama Semarang Sebagai
Sumber Belajar Dalam Pembelajaran Sejarah di SMA N 5 Semarang Tahun Pelajaran
2016/2017 (Skripsi Tidak Diterbitkan). Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 2, Oktober 2024, Page: 1597-1606
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
1606
Windayanti et.al (Heritage Sebagai Sumber Pembelajaran.)
Hasan, S. H. (2003). Kurikulum Sejarah dan Pendidikan Sejarah Lokal. Dipresentasikan pada
Seminar Nasional Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung.
Hasanuddin. (2018). Donggala Dalam Jalur Perdagangan Kopra (1907-1942). Amara
Books.
Janti, N. (2018, Desember 4). Mencari Arah Pendidikan Sejarah. Diambil 5 Februari 2022, dari
HistoriaMajalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia website:
https://historia.id/politik/articles/mencari-arah-pendidikan-sejarah-vqj0V
Jumardi. (2020). Relevansi Nilai-nilai Sejarah Lokal dan Nasionalisme Generasi Muda.Jurnal
Pendidikan Sejarah, 9(1), 7389. https://doi.org/Doi.org/10.21009/JPS.091.05
Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Latomaria, A. I. A.
(2018). Sejarah Lokal Sebagai Penunjang Ibu Kota Kabupaten Donggala Menuju Kota
Wisata (Tesis). Universitas Tadulako, Palu.
Majid, A. (2009). Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru.
Bandung: Alfabeta.
Mamar, S., Mappalahere, F., & Wayong, P. (1984). Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Tengah
(Wajah Kota Donggala dan Palu). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional.
Mohamad, S., & Mokodompit, H. (2019). Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Dalam
Pembelajaran Sejarah di SMA. Jambura History and Culture Journal, 1(1), 1929.
Mulyasa. (2013). Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT.
Remaja Rosdakara.
Nadjamuddin, L., & Idrus, I. (2008). DONGGALA: FROM IMPERALISM TO THE
REGENCY ESTABLISHMENT. ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah, 7(1).
https://doi.org/10.21831/istoria.v7i1.6307
Nadjamuddin, L., Rore, I. A., Ahmad, I., Nuraedah, & Lumangino, W. D. (2016). Satu Kota
Empat Zaman: Donggala Pada Masa Tradisional Hingga Terbentuknya Kabupaten.
Yogyakarta: Ombak.
Nainggolan, N. (1982). Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Sulawesi Tengah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
PaEni, M., Poelinggomang, E., Kallo, A. M., Sulistio, B., Thosibo, A., & Maryam, A. (1995).
Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Vaughan, W. (2022). Kisah Petualangan David Woodard c.s.: Pantai Barat Sulawesi 1793
1795: Palu, Donggala, Mandar, Makassar. Nemupublishing.
Widja, I. G. (1989). Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang:
Satya Wacana.