juga menghadirkan beberapa ancaman dan tantangan-tantangan untuk kesadaran moral anak-
anak.
Ancaman-ancaman untuk kesadaran moral, di antaranya adalah: pertama melalui alat
komunikasi seperti smartphone (hand phone), facebook, Instagram, twitter, telegram, TV, para
bola, telepon, VCD, DVD dan internet, dll., anak-anak dapat berhubungan dengan dunia luar
secara instan. Melalui bantuan alat-alat canggih tersebut, anak-anak dapat menyaksikan
tontonan yang tidak relevan dengan ajaran agama, misalnya, tontonan yang bernuansa vulgar,
sensual, dan bahkan porno dari kamar tidur. Kedua, anak-anak dapat dengan mudah tertarik
atau tergiur oleh segala macam jenis dan bentuk iklan yang berpotensi mengubah gaya hidup
mereka kelak menjadi konsumtif dan hedonis. Akibatnya, kelak mereka lebih memupuk
“budaya membeli” ketimbang budaya menjual atau bahkan menciptakan (barang-barang).
Ketiga, fenomena-fenomena seperti: free sex, tawuran antarpelajar, pembocoran kunci
jawaban Ujian Nasional, korupsi, konflik berbasis suku, agama, ras, dan antar-golongan
(SARA), tindakan-tindakan kriminal yang semakin marak terjadi akhir akhir ini,
sesungguhnya mengisyaratkan bahwa pendidikan karakter masih merupakan mega proyek
bangsa yang berideologi Pancasila ini. Keempat, globalisasi berpotensi membuat anak-anak
modern tercerabut dari akar identitas atau budaya leluhurnya. Saat ini orang begitu mudah
mengikuti nila-nilai dari luar yang mencerminkan liberalisasi cara hidup pribadi ketimbang
hidup selaras dengan nilai-nilai tradisional leluhurnya, budaya lokal, atau budaya bangsa yang
dikristalisasi sebagai Pancasila.
Kemajuan Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi yang membantu manusia
saat ini dalam segala aspek kehidupannya bisa jadi membuat sebagian besar orang memandang
warisan leluhurnya sebagai tahap-tahap kehidupan yang sudah tidak relevan lagi alias
ketinggalan jaman. Akibatnya, berbagai tindak kriminal pun sering mewarnai praksis
kehidupan. Kini kita dapat menyaksikan bahwa porsi penyiaran seputar penyakit-penyakit
sosial melalui sosial media kian meningkat. Berita seputar kekerasan secara fisik dan verbal
terhadap sesama (kekerasan seksual, penipuan, penganiayaan, kekerasan dalam rumah tangga,
tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa, penganiayaan guru terhadap muridnya, majikan
terhadap asisten rumah tangganya, konflik sosial-horisontal berbasis suku, agama, ras, dan
antargolongan), fenomena korupsi bergrombolan secara sistemik yang merugikan negara dan
rakyat banyak, serta alih fungsi hutan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup, kini
semakin marak disiarkan (Samho, 2014). Persoalan-persoalan di atas sulit kita bayangkan
terlepas dari pengaruh globalisasi. Perilaku tidak terpuji seperti dideretkan di atas jelas tidak
selaras dengan nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh para leluhur. Barangkali itulah yang
dimaksudkan dengan ungkapan “manusia yang tercerabut dari akar identitas dan budaya
leluhurnya”.
Selain menghadirkan ancaman-ancaman bagi kesadaran moral di atas, globalisasi sebagai
implikasi teknologi canggih saat ini juga menghadirkan beberapa tantangan, khususnya, bagi
pendidikan karakter dalam keluarga. Berikut merupakan beberapa tantangan globalisasi yang
membuat penting dan perlu adanya pola pengasuhan yang relevan untuk pendidikan karakter
anak dalam keluarga modern, yakni: Pertama, menguatnya fenomena relativisme nilai dan
liberalisasi cara hidup sehingga kaum muda dan anak-anak saat ini mudah terjerumus pada
sikap desakralisasi kehidupan. Manusia modern mudah mengalami disorientasi nilai, masing-
masing individu menjalani kehidupan dengan berpusat pada klaim atas hak privat,
kecenderungan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan dan hasratnya secara instan.
Kemudian, kehidupan individu yang terjerat dalam kultur privatisasi dan liberalisasi pun
cenderung anti terhadap komitmen (pernikahan dipandang menghambat kebebasan pribadi dan
privasi), ketaatan kepada orang tua lantas dilihat sebagai mental lembek dan disebut ‘anak
mami’ atau anak yang tidak mandiri. Kedua, apa yang dulu dipandang bernilai oleh orang tua