Academy of Education Journal
Vol. 1, No. 15, Januari 2024, Page: 860-873
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
860
Bartolomeus Samho (Pola pengasuhan yang relevan ....)
Pola pengasuhan yang relevan untuk pengembangan
karakter anak pada era teknologi digital dan
globalisasi
Bartolomeus Samho
Universitas Katolik Parahyangan, Jawa Barat, Indonesia
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 28 Agustus 2023
Direvisi: 21 November 2023
Disetujui: 14 Januari 2024
Tersedia Daring: 7 April 2024
Kehidupan anak-anak di jaman sekarang ditandai oleh kecanggihan
teknologi digital yang memuncak pada globalisasi. Di satu sisi teknologi
digital memang terasa amat membantu kita dalam banyak hal, tapi di sisi
lain ia juga menyimpan persoalan untuk perkembangan karakter anak-anak
sebab belum tentu mereka dapat memanfaatkannya dengan benar dan baik
seperti yang diharapkan oleh para orang tuanya. Oleh karena itu, tanpa
menyangkal manfaat positif teknologi digital untuk urusan penyebaran
informasi dan komunikasi, ia dapat juga menimbulkan persoalan-persoalan
bagi pengembangan karakter anak-anak, khususnya, terkait dengan pola
pengasuhan dalam keluarga dan internalisasi nilai-nilai dalam rangka
penguatan karakter positif mereka. Artikel ini bertujuan untuk
mendeskripsikan mengenai pola pengasuhan anak dalam keluarga di era
teknologi digital yang dipandang penulis relevan untuk pengembangan
karakter anak. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola pengasuhan
anak yang relevan di era teknologi digital adalah yang berbasis pada
keteladanan para orang tua. Karena itu permasalahan utama yang diangkat
dalam artikel ini adalah apa ancaman-ancaman dan tantangan-tantangan
teknologi digital bagi pengembangan karakter anak? Bagaimana pola
pengasuhan pada era teknologi digital yang dipandang relevan untuk
pengembangan karakter anak?
Kata Kunci:
Pola pengasuhan anak
Keluarga
Pendidikan karakter
Teknologi digital
Globalisasi
ABSTRACT
Keywords:
Parenting patterns
Family
Character education
Digital technology
Globalization
Children's lives today are marked by the sophistication of digital technology
which has culminated in globalization. On the one hand, digital technology
helps us in many ways, but on the other hand, it also poses problems for the
development of children's character because they may not be able to use it
properly as well as their parents hope. Therefore, without denying the positive
benefits of digital technology for the dissemination of information and
communication, it can also cause problems for the development of children's
character, in particular, related to parenting patterns in the family and the
internalization of values to strengthen their positive character. This article
aims to describe parenting patterns in families in the era of digital technology
which the author views as relevant for developing children's character. The
writing method used in this research is qualitative. The results of this research
show that the relevant parenting patterns in the era of digital technology are
those based on the example of parents. Therefore, the main problem raised in
this article is what are the threats and challenges of digital technology for
children's character development? What parenting patterns in the era of
digital technology are considered relevant for children's character
development?
Academy of Education Journal
Vol. 1, No. 15, Januari 2024, Page: 860-873
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
861
Bartolomeus Samho (Pola pengasuhan yang relevan ....)
©2024, Bartolomeus Samho
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Pendidikan karakter dalam keluarga modern menghadapi tantangan dahsyat dari teknologi
digital dan globalisasi sebagai implikasinya. Fakta yang tak terbantahkan pada era teknologi
digital saat ini adalah percepatan arus penyebaran informasi yang berdampak pada sirnanya
batas-batas antara ranah kehidupan personal dan sosial. Saat ini dunia seakan-akan terlipat dan
menyempit. Marshall McLuhan (1962) menyebutnya dengan istilah dunia tanpa dinding
pembatas. Batasan-batasan seperti ideologi, teritorial, negara, bangsa, kesukuan, kepercayaan,
politik, kebudayaan, dan lain-lain yang tempo dulu sempat memengaruhi interaksi antar
manusia terasa tidak signifikan lagi (Piliang, 1998). Media-media sosial seperti Twitter,
Facebook, WhatsApp, Tik Tok, Instagram, dll., telah sedemikian rupa mempermudah
penyebaran dan pertukaran informasi. Alat-alat tersebut dapat dipandang sebagai sarana bagi
realisasi baru kodrat sosial manusia, mengubah kondisi dan fakta kehidupan masyarakat
sehingga “melebur tanpa batas-batas” menjadi suatu keseluruhan yang mengorganisir diri, dan
kita telah menjadi bagian dari mesin penggeraknya.
Teknologi digital dalam batasan tertentu menjadi mesin perubahan atas tatanan global
secara drastis dan radikal. Kebekuan, keterbatasan, dan kekurangan-kekurangan menyangkut
apa pun di masa silam, baik karena faktor jarak secara geografis maupun karena alasan budaya
dan ideologi, kini berhasil diatasi oleh manusia sampai pada level yang sungguh di luar
dugaan sebelumnya. Kecanggihan teknologi digital saat ini, misalnya, mampu membuat
keadaan terasa begitu cair, longgar, efisien, kompleks, nirbatas, dan sekaligus serba potensial
untuk bertautan dalam jejaring yang begitu rumit (Hardiman, 2021). Edgar Morin (2005)
bahkan mengatakan bahwa teknologi digital telah menciptakan multi dimensionalitas dan
kompleksitas. Namun, justru pada aspek multi dimensionalitas dan kompleksitas yang
dikandungnya itulah bersarang suatu persoalan mendasarnya, misalnya, menyangkut bidang
pendidikan karakter dalam keluarga.
Teknologi digital menghadirkan tantangan-tantangan bagi pendidikan karakter dalam
keluarga modern terutama berkaitan dengan pola asuh yang dipandang relevan untuk
pengembangan karakter anak ke arah yang positif baik. Kini orang tua sulit memerankan tugas
utamanya sebagai pendidik/pengajar, role model/teladan, “pelatih yang memberikan
pelatihan’’, dan sosok yang membiasakan dan menciptakan kondisi agar anak-anak dapat
berperilaku baik, serta sosok yang mewariskan nilai-nilai budaya bagi anak-anaknya. Tidak
dapat disangkal bahwa para orang tua saat ini acap kali mengalami kebingungan dalam
memilih dan menentukan pola pengasuhan anak-anaknya sebab teknologi digital nyatanya
juga tidak jarang menimbulkan gap atau kesenjangan dalam komunikasi antara para orang tua
dan anak-anaknya (http://www.intipesan.com/tips-pengasuhan-anak-di-era-digital/), bahkan
membuat sebagian besar orang tua, secara diam-diam, merasa seperti anak-anak yang
memiliki anak-anak.
Di sisi lainnya, kecanduan setiap anggota keluarga dalam menggunakan teknologi digital
seperti smartphon untuk komunikasi saat ini berpotensi menjadi hambatan utama dalam
menjaga keharmonisan komunikasi dalam keluarga. Akibatnya, interaksi atau komunikasi
dalam keluarga pun serba bersifat virtual, jarang terjadi perjumpaan secara langsung. Kondisi
ini diperparah lagi oleh jadwal kegiatan masing-masing anggota keluarga yang cenderung
padat atau kesibukan masing-masing anggota keluarga di luar rumah telah menyebabkan
kurangnya waktu untuk berkumpul dengan keluarga dan bercengkerama bersama dalam
Academy of Education Journal
Vol. 1, No. 15, Januari 2024, Page: 860-873
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
862
Bartolomeus Samho (Pola pengasuhan yang relevan ....)
suasana kekeluargaan. Alhasil, anggota-anggota keluarga pun semakin sulit memahami
perasaan satu sama lain. Penggunaan smartphone dengan berlebihan, bahkan meskipun
masing-masing anggota keluarga sedang berada di rumah, telah menimbulkan jarak di antara
anggota-anggota keluarga modern. Paradoks memang. Teknologi digital yang mestinya
membantu komunikasi secara efektif dan efisien, ‘’mendekatkan yang jauh’’, nyatanya
berpotensi terasa lebih berpotensi menimbulkan jarak di antara orang yang terdekat sekalipun.
Maka muncullah istilah bahwa teknologi informasi dan komunikasi itu ‘’menjauhkan yang
dekat dan mendekatkan yang jauh’’. Dalam keluarga modern seringkali penggunaan
smartphon di rumah menciptakan jarak di antara anggota-anggota keluarga sebab masing-
masing anggota keluarga sibuk memainkan gadget meskipun berada di rumah atau di sekitar
anggota keluarganya. Kehadiran teknologi digital yang mestinya mempermudah komunikasi di
antara anggota-anggota keluarga nyatanya dapat menjadikan anggota-anggota keluarga
tampak/terasa semakin berjarak, menjadi lebih introvert, karena semua kegiatan serta
komunikasi dapat dilakukan dalam satu alat dan tidak perlu perjumpaan dan perbincangan
secara langsung dengan ‘’tatap muka’’. Jadi, di satu sisi, karakteristik kinerja teknologi digital
yang serba virtual itu membuatnya bisa menjelma dalam berbagai corak dan bentuk yang
dapat menjawab kebutuhan manusia modern. Tapi di sisi lain, potensi teknologi digital
tersebut bisa menimbulkan masalah-masalah baru dalam ranah pendidikan karakter dalam
keluarga.
Fakta bahwa teknologi digital berpotensi dapat menimbulkan jarak di antara anggota-
anggota keluarga dan memuat berbagai informasi, video, gambar yang belum tentu cocok dan
tepat untuk dibaca, dilihat, dan ditonton oleh anak-anak merupakan persoalan bagi pendidikan
karakter dalam keluarga modern sehingga memang menimbulkan keresahan, kecemasan bagi
para orang tua saat ini. Sebagian besar orang tua merasa cemas atau khawatir mengenai
bagaimana mendidik anak-anaknya agar mereka berkarakter baik. Para orang tua seakan-akan
tidak berdaya menghadapi fakta globalisasi dan fenomena-fenomena sosial dewasa ini yang
cenderung memberi pengaruh negatif bagi perkembangan karakter anak-anaknya. Mereka juga
tidak berdaya mengontrol anak-anaknya dalam menggunakan gadget. Melalui gadget anak-
anak bisa begitu leluasa membaca, mendengar, melihat, menonton, merekam, meng-copy apa
saja yang sebelumnya dianggap tabu dan imoral (nyaris tanpa sensor yang berarti), dan itu
jelas memengaruhi perkembangan karakter mereka. Beberapa gejala yang kentara adalah
bahwa anak-anak dewasa ini cenderung bersikap cuek, acuh tak acuh, masa bodoh,
individualis, senang menyendiri sambil memainkan gadget, dan memberontak kepada para
orang tuanya. Sikap dan perilaku seperti itu tidak mungkin lepas dari pengaruh lingkungan
sekitar atau pergaulannya dengan dan melalui alat-alat canggih seperti smartphone, tablet,
laptop, komputer, internet, instagram, facebook, dan lain-lain. Singkatnya, anak-anak jaman
sekarang lebih mudah atau cepat mengikuti dan meniru apa yang mereka lihat, tonton, dengar,
dan serap dari sosial media ketimbang mengikuti arahan, bimbingan, contoh, dan teladan
hidup yang ditunjukkan oleh orang tuanya dalam sikap, perkataan, dan tindakan nyata yang
memang baik untuk pengembangan karakternya.
Jadi, semakin terasa kini bahwa tidak mudah untuk menjadi orang tua yang berpengaruh
positif baik bagi perkembangan karakter anak-anak. Para orang tua pun tidak jarang sulit
memahami dunia anak-anaknya atau sulit berkomunikasi dengannya. Kemampuan untuk
berkomunikasi dengan anak-anak bisa diibaratkan dengan ombak di lautan yang datang dan
pergi begitu saja tanpa meninggalkan bekas yang berarti. Berdasarkan deskripsi atas masalah
di atas dalam pembahasan selanjutnya akan diuraikan mengenai Ancaman dan tantangan
globalisasi bagi pendidikan karakter dalam keluarga modern, pola pengasuhan yang dipandang
relevan untuk pengembangan karakter anak saat ini.
Academy of Education Journal
Vol. 1, No. 15, Januari 2024, Page: 860-873
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
863
Bartolomeus Samho (Pola pengasuhan yang relevan ....)
2. Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian memusatkan kajian pada
fenomena Pendidikan karakter dalam keluarga modern dan pemahaman akan realitas dari
sudut pandang dan pengalaman sang peneliti serta informasi yang diperoleh dari hasil studi
literatur sehingga dalam pembahasannya memang mengedepankan perspektif subjek penelitian
(Bogdan & Taylor, 1975). Dalam kerangka itu, yang membantu proses penelitian adalah:
pengamatan, imajinasi (berpikir abstrak), dan penghayatan atas fenomena dan informasi-
informasi yang didapatkan dari kajian literatur (Baswori & Suwandi, 2008). Oleh karena itu,
komitmen peneliti dalam pengamatan, empati, abstraksi dan daya interpretasi melalui
verstehen (upaya untuk mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa sosial)
berkaitan dengan tema penelitian atau masalah yang dikaji menjadi sangat penting.
Implementasi penelitian menjadi signifikan dan relevan manakala berangkat dari gagasan
bahwa tiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang dibuat oleh para pelaku yang
terlibat di dalamnya, misalnya, dalam urusan pendidikan.
Implikasinya dalam praksis penelitian, di antaranya, adalah menuntut peneliti agar
memusatkan perhatian, observasi, dan kajian pada praktik sosial yang terjadi; menggali sampai
ke sisi terdalam dari berbagai aspek dan informasi historis yang diperoleh dari para pelaku,
baik secara langsung maupun secara tidak langsung, memerhatikan dimensi struktural dan
kultural yang ada, serta memanfaatkan secara optimal data yang diolah secara triangulasi dan
investigator triangulasi (Waters, 1994). Oleh karena itu, fenomena (data) dipotret, ditelisik,
dan dianalisis dari sudut pandang yang berbeda-beda. Dalam konteks tema penelitian ini, yang
dikaji, ditelisik, dan dianalisis adalah fenomena pendidikan karakter dalam keluarga modern di
mana implementasi teknologi digital dipandang sebagai faktor yang signifikan memengaruhi
pola pengasuhan orang tua kepada anak-anaknya. Hasil penelitian studi literatur mengenai
pola pendidikan karakter anak dalam keluarga modern ini bermanfaat untuk membuat
gambaran umum (generalisasi) dan memahami arti dari persoalan pendidikan karakter yang
dikaji (Nazir, 2003).
3. Hasil dan Pembahasan
Teknologi digital membawa banyak perubahan dan kemajuan dalam berbagai aspek
kehidupan manusia. Akan tetapi, kecanggihan teknologi digital dan globalisasi yang
mengiringinya acap kali memunculkan persoalan baru dalam kehidupan manusia sebab ia
memuat ancaman-ancaman dan tantangan-tantangan, misalnya, dalam pengembangann
karakter anak. Oleh karena itu, teladan dari para orang tua dalam memanfaat teknologi digital
sangat berpengaruh pada anak-anak agar mereka dapat menggunakan teknologi digital dengan
bermanfaat. Selaras dengan tema penelitian ini, pembahasan selanjutnya mencakup ulasan
deskriptif mengenai ancaman dan tantangan globalisasi bagi Pendidikan karakter dalam
keluarga dan bagaimana pola pengasuhan yang relevan untuk pengembangan karakter anak
dalam keluarga saat ini.
A. Ancaman dan Tantangan Globalisasi Bagi Pendidikan Karakter Dalam Keluarga
Globalisasi merupakan suatu fakta yang di dalamnya mengalir arus proses-proses sosial
berupa integrasi ekonomi, budaya, kebijakan-kebijakan negara, dan pergerakan politik di
seluruh dunia. Sebagai suatu peristilahan, arti globalisasi mengacu pada proses-proses sosial
secara holistik yang mencakup peredaran atau migrasi orang, komoditas (barang), kapital,
pengetahuan, pemikiran, informasi dari satu negara ke negara lain (Appadurai, 2006). Dalam
rangka menalar arti globalisasi, penulis mencoba menginterpretasi sceara kritis atas global
village. Perspektif global village dalam konteks kajian globalisasi acap kali bersentuhan
dengan makna globality. Sebagai suatu peristilahan, arti globalisasi selain mengacu pada ekses
media yang digunakan dalam praksis kehidupan, juga merujuk pada dinamika politik dan
Academy of Education Journal
Vol. 1, No. 15, Januari 2024, Page: 860-873
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
864
Bartolomeus Samho (Pola pengasuhan yang relevan ....)
ekonomi, serta jejaring relasi dominasi dan hegemoni yang tentu berimbas pada urusan
pendidikan dalam arti yang luas. Sedangkan peristilahan globality atau global village merujuk
pada kenyataan atau fakta global menyangkut eksistensi sebuah negara atau komunitas yang
mesti saling membutuhkan dan itu merupakan akibat dari proses globalisasi juga.
Sebagai suatu konsep, peristilahan globalisasi konon diyakini telah mengemuka sebagai
wacana sejak abad kesembilan belas atau awal abad kedua puluh. Held dan McGrew (2004)
mencatat bahwa anggapan dasar mengenai modernitas yang mengikat dunia telah
menghasilkan karya-karya akademis dari beberapa intelektual besar seperti Saint Simon, Karl
Marx hingga MacKinder. Meskipun demikian, konsep globalisasi digunakan secara gamblang
oleh para akademisi untuk memotret kenyataan atau fakta kekinian, agaknya bermula pada
paruh kedua abad ke-20, tepatnya sekitar dekade 1960an sampai 1970an. Para akademisi
melihat bahwa adanya sebuah situasi eksternal, khususnya kondisi saling mempengaruhi, yang
tidak lagi dapat dinafikan atau diabaikan manakala mengkaji atau menganalisis sebuah
perkembangan di sebuah negara atau antar negara. Jatuhnya komunisme, di awal tahun
1990an, yang disusul dengan semakin meluasnya ide demokrasi dan pasar bebas, seiring
dengan semakin canggihnya perkembangan teknologi informasi, diyakini atau dipandang
semakin mengkondisikan praksis kehidupan masyarakat global pada suatu keadaan dunia yang
longgar, terlepas dari sekat-sekat penghalang yang menghambat relasi interaktif yang semakin
saling mempengaruhi dan menguntungkan (Pamungkas, 2015). Jadi sebagai suatu peristilahan,
globalisasi merupakan kata yang merangkum proses-proses kontekstual yang mengglobal
sebagai bagian dari imbas kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi di era modern.
Konteks dunia yang mengglobal dan sifatnya yang terbuka berkat kecanggihan teknologi
digital saat ini telah membuat dunia ini terasa nyaris tidak berjarak lagi. Barangkali ungkapan
Marshall McLuhan terasa telak untuk melukiskannya bahwa “telepon adalah pembicaraan
tanpa dinding ; fonograf adalah gudang pertunjukan musik tanpa dinding ; fotografi adalah
museum tanpa dinding ; cahaya listrik adalah ruang tanpa dinding, film, radio, TV dan
jaringan internet adalah ruang kelas tanpa dinding” (McLuhan, 1962). Melalui internet,
misalnya, bayangan tentang kesatuan dalam komunitas bersama ala Benedict Anderson terasa
tidak relevan lagi. Kini berbagai macam jejaring sosial telah membentuk dunia virtual, sebuah
dunia yang serba cair dan longgar, dunia yang lolos dari lapisan-lapisan ketat berupa negara-
bangsa. Dalam dunia “virtual” manusia didaulat menjadi subyek bebas.
Dengan demikian, manusia modern, subyek teknologi digital, dapat dengan leluasa untuk
menciptakan “pertemuan hasrat-hasrat” dalam berbagai macam corak, tujuan, dan manfaatnya.
Relasi antarmanusia pun tidak lagi terkotak-kotak secara kaku oleh, misalnya, konsep bangsa,
suku, agama, ras, daerah, dan ideologi tertentu. Kondisi inilah yang dimaksudkan Marshall
McLuhan bahwa teknolgi informasi dan komunikasi telah mengubah dunia manusia menjadi
global village atau “kampung global” (McLuhan, 1962). Istilah “kampung global” (global
vilage) dapat dimaknai sebagai fenomena globalisasi pada masa kini yang dapat dikenali dari
akibatnya yakni, melemahnya batas-batas nasional, menghilangnya identitas dan budaya lokal,
mengancam ekonomi nasional di tengah-tengah ekspansi modal, dan meningkatnya migrasi
internasional. Konsep ini mengacu pada spektrum masyarakat baru yang melampaui batas-
batas geografis, ekonomi, politik dan budaya dan menekankan pada percepatan arus informasi
dalam jaringan komunikasi (Pamungkas, 2015).
Sebagai konsekuensi logisnya, menurut McLuhan (1994), adalah munculnya proses-
proses sosial yang ia disebut dengan istilah de-westernisasi (akulturasi budaya Barat dengan
budaya lain), yang menimpa orang orang Barat yang telah mengunjungi dunia timur dan de-
tribalisasi (berubahnya nilai-nilai budaya lokal menjadi modern) oleh orang-orang Afrika yang
telah mengenal teknologi informasi dan industri dari negara-negara Barat. Fenomena yang
pertama terjadi ketika orang-orang Barat mempelajari dan mengadopsi nilai-nilai dan norma-
Academy of Education Journal
Vol. 1, No. 15, Januari 2024, Page: 860-873
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
865
Bartolomeus Samho (Pola pengasuhan yang relevan ....)
norma di dunia Timur, sedangkan fenomena yang kedua terjadi ketika orang-orang Afrika
meggunakan teknologi modern untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dalam
kehidupan sehari-hari sebagaimana yang terjadi di dunia Barat (Pamungkas, 2015). Proses
sosial ini ditandai oleh kegiatan-kegiatan spesialisasi dan pemisahan (specialization and
separation) yang merupakan sifat dasar terbentuknya masyarakat modern yakni pembagian
masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang bersifat spesifik (social differentiation) seperti
digambarkan oleh Durkheim (Parson, 1967). Semuanya itu berkat kecanggihan teknologi saat
ini.
Teknologi merupakan istilah yang digunakan untuk mencirikan karakteristik kehidupan
pada jaman modern. Globalisasi merupakan implikasi dari teknologi. Misalnya, teknologi
digital yang saat ini menjadi begitu signifikan untuk urusan komunikasi dan penyebaran
informasi. Namun, apakah yang kita maksudkan dengan teknologi ? Dalam pengertian yang
umum, teknologi pada dasarnya dapat dimaknai sebagai suatu cara pandang dan pengalaman
yang membentuk cara bertindak kita terhadap alat yang kita gunakan atau cara bagaimana kita
menggunakan alat dan cara kita berhubung dengan dunia kehidupan di mana teknologi
membentuk arah gerak semua yang ada termasuk sains (Choy, 2006). Dalam terang pengertian
itu, teknologi digital dapat kita artikan sebagai ungkapan untuk, di satu sisi, menyebutkan alat
komunikasi yang kita gunakan untuk berkomunikasi dan menyebarkan informasi dan di sisi
lain mengacu pada bagaimana cara kita menggunakan segala jenis peralatan untuk menjalin
komunikasi, berinteraksi, dan menyampaikan informasi kepada sesama (Brotosiswojo, 2000).
Pada sisi yang terakhir itu, dimensi pendidikan karakter berkaitan dengan cara yang tepat
untuk menggunakan teknologi digital menjadi penting agar teknologi digital tidak
mengalienasi diri dan menjauhkan kita dari sesama atau anggota keluarga.
Beberapa jenis teknologi digital yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dan
menyebarkan informasi saat ini adalah : telepon, smartphone, radio, TV, telegram, instagram,
facebook, twitter, dan jaringan internet (yang tentu dilengkapi dengan pelbagai perangkat dan
program canggihnya). Melalui internet, misalnya, setiap manusia dapat berkunjung ke
berbagai belahan dunia, berselancar mencari informasi sejauh yang dia inginkan dan tersedia
di dalam ruang ruang virtual tersebut. Dalam ruang ruang virtual setiap manusia dapat
“bertemu” dan berkomunikasi dengan sesamanya dalam waktu yang relaif cepat melalui
berbagai sarana teknologi informasi dan komunikasi tersebut (Piliang, 1998). Tentu, semua
jenis teknologi informasi dan komunikasi yang disebutkan di atas amatlah berguna untuk
kehidupan manusia dalam berbagai aspek, misalnya, dalam ranah pendidikan. Lagi pula,
semua teknologi digital untuk urusan penyebaran informasi dan komunikasi yang disebutkan
di atas adalah berkat pendidikan juga. Dalam arti itu pendidikan telah sedemikian rupa
membentuk kerangka berpikir dan kecerdasan manusia, mengoptimalkan daya imajinasi,
intelektualitas, dan kreativitasnya sehingga manusia dapat menciptakan teknologi yang
semakin canggih untuk urusan penyebaran informasi dan komunikasi saat ini.
Namun di sisi lain, teknologi yang diciptakan oleh manusia, yang diharapkan berdampak
positif bagi kehidupannya itu, juga tidak luput dari berpengaruh negatif bagi kehidupannya
bila digunakan secara keliru dan tidak tepat. Artinya, sikap, intensi, dan motivasi dalam
penggunaannya berpengaruh pada keberlanjutan hidup (komunitas) dan pengembangan
karakter. Fakta yang sulit dibantah saat ini adalah bahwa anak-anak jauh lebih mudah
terpengaruh oleh (pemikiran dan gaya hidup) orang lain yang diserapnya melalui teknologi
digital ketimbang terpengaruh oleh gaya hidup atau teladan dari orang tuanya. Anehnya,
aneka macam tawaran hasil ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kadang kala kita terima
begitu saja tanpa mempertimbangkan pengaruhnya bagi pembentukan dan pengembangan
karakter anak-anak kita. Jadi, teknologi informasi dan komunikasi dan globalisasi sebagai
implikasinya selain menghadirkan kemudahan bagi kehidupan manusia dalam berbagai aspek,
Academy of Education Journal
Vol. 1, No. 15, Januari 2024, Page: 860-873
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
866
Bartolomeus Samho (Pola pengasuhan yang relevan ....)
juga menghadirkan beberapa ancaman dan tantangan-tantangan untuk kesadaran moral anak-
anak.
Ancaman-ancaman untuk kesadaran moral, di antaranya adalah: pertama melalui alat
komunikasi seperti smartphone (hand phone), facebook, Instagram, twitter, telegram, TV, para
bola, telepon, VCD, DVD dan internet, dll., anak-anak dapat berhubungan dengan dunia luar
secara instan. Melalui bantuan alat-alat canggih tersebut, anak-anak dapat menyaksikan
tontonan yang tidak relevan dengan ajaran agama, misalnya, tontonan yang bernuansa vulgar,
sensual, dan bahkan porno dari kamar tidur. Kedua, anak-anak dapat dengan mudah tertarik
atau tergiur oleh segala macam jenis dan bentuk iklan yang berpotensi mengubah gaya hidup
mereka kelak menjadi konsumtif dan hedonis. Akibatnya, kelak mereka lebih memupuk
“budaya membeli” ketimbang budaya menjual atau bahkan menciptakan (barang-barang).
Ketiga, fenomena-fenomena seperti: free sex, tawuran antarpelajar, pembocoran kunci
jawaban Ujian Nasional, korupsi, konflik berbasis suku, agama, ras, dan antar-golongan
(SARA), tindakan-tindakan kriminal yang semakin marak terjadi akhir akhir ini,
sesungguhnya mengisyaratkan bahwa pendidikan karakter masih merupakan mega proyek
bangsa yang berideologi Pancasila ini. Keempat, globalisasi berpotensi membuat anak-anak
modern tercerabut dari akar identitas atau budaya leluhurnya. Saat ini orang begitu mudah
mengikuti nila-nilai dari luar yang mencerminkan liberalisasi cara hidup pribadi ketimbang
hidup selaras dengan nilai-nilai tradisional leluhurnya, budaya lokal, atau budaya bangsa yang
dikristalisasi sebagai Pancasila.
Kemajuan Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi yang membantu manusia
saat ini dalam segala aspek kehidupannya bisa jadi membuat sebagian besar orang memandang
warisan leluhurnya sebagai tahap-tahap kehidupan yang sudah tidak relevan lagi alias
ketinggalan jaman. Akibatnya, berbagai tindak kriminal pun sering mewarnai praksis
kehidupan. Kini kita dapat menyaksikan bahwa porsi penyiaran seputar penyakit-penyakit
sosial melalui sosial media kian meningkat. Berita seputar kekerasan secara fisik dan verbal
terhadap sesama (kekerasan seksual, penipuan, penganiayaan, kekerasan dalam rumah tangga,
tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa, penganiayaan guru terhadap muridnya, majikan
terhadap asisten rumah tangganya, konflik sosial-horisontal berbasis suku, agama, ras, dan
antargolongan), fenomena korupsi bergrombolan secara sistemik yang merugikan negara dan
rakyat banyak, serta alih fungsi hutan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup, kini
semakin marak disiarkan (Samho, 2014). Persoalan-persoalan di atas sulit kita bayangkan
terlepas dari pengaruh globalisasi. Perilaku tidak terpuji seperti dideretkan di atas jelas tidak
selaras dengan nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh para leluhur. Barangkali itulah yang
dimaksudkan dengan ungkapan “manusia yang tercerabut dari akar identitas dan budaya
leluhurnya”.
Selain menghadirkan ancaman-ancaman bagi kesadaran moral di atas, globalisasi sebagai
implikasi teknologi canggih saat ini juga menghadirkan beberapa tantangan, khususnya, bagi
pendidikan karakter dalam keluarga. Berikut merupakan beberapa tantangan globalisasi yang
membuat penting dan perlu adanya pola pengasuhan yang relevan untuk pendidikan karakter
anak dalam keluarga modern, yakni: Pertama, menguatnya fenomena relativisme nilai dan
liberalisasi cara hidup sehingga kaum muda dan anak-anak saat ini mudah terjerumus pada
sikap desakralisasi kehidupan. Manusia modern mudah mengalami disorientasi nilai, masing-
masing individu menjalani kehidupan dengan berpusat pada klaim atas hak privat,
kecenderungan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan dan hasratnya secara instan.
Kemudian, kehidupan individu yang terjerat dalam kultur privatisasi dan liberalisasi pun
cenderung anti terhadap komitmen (pernikahan dipandang menghambat kebebasan pribadi dan
privasi), ketaatan kepada orang tua lantas dilihat sebagai mental lembek dan disebut ‘anak
mami’ atau anak yang tidak mandiri. Kedua, apa yang dulu dipandang bernilai oleh orang tua
Academy of Education Journal
Vol. 1, No. 15, Januari 2024, Page: 860-873
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
867
Bartolomeus Samho (Pola pengasuhan yang relevan ....)
atau leluhur kini dipandang atau dianggap irasional dan ketinggalan jaman oleh kaum muda.
Kondisi ini semakin parah ketika klaim kebenaran mutlak atas nilai-nilai tradisional kian
melemah karena orang tua juga semakin banyak yang mengikuti tren gaya hidup modern yang
meminggirkan kearifan lokal. Ketiga, anak-anak remaja dan orang-orang dewasa saat ini
semakin banyak yang terjerumus ke dalam pergaulan tanpa batas. Kebebasan seksual dengan
segala implikasi negatifnya; penyakit kelamin, HIV, AIDS, dan seterusnya saat ini menjadi
perkara serius yang kian sulit diatasi. Keempat, masing-masing individu menjalani kehidupan
dengan berpusat pada klaim atas hak privat. Perspektif atas kebahagiaan pribadi pun lantas
dimaknai secara dangkal sebab disamakan dengan hak atas kebebasan mencari kenikmatan
sejauh tidak mengganggu hak orang lain. Kelima, kecenderungan setiap individu untuk
memenuhi kebutuhan dan hasratnya dengan budaya instan. Apa yang diinginkan harus
langsung dipenuhi. Gejala yang menguat saat ini adalah orang semakin tidak bisa sabar
menunggu proses sehingga mudah berprinsip “bisa berarti boleh” dan itu berdampak pada
“demi tujuan tertentu orang pun menghalalkan segala cara untuk meraihnya”. Keenam,
kehidupan individu yang terjerat dalam kultur privatisasi dan liberalisasi cenderung anti
terhadap komitmen. Ini jelas berlawanan dengan nilai-nilai tradisional, juga nilai-nilai
Pancasila yang mengedepankan keimanan, persaudaraan, kesetiaan, kekeluargaan, dan
solidaritas. Ketujuh, “krisis komunikasi secara langsung dan terbuka” antara para orang tua
dengan anak-anaknya atau antara para guru dengan para peserta didiknya. Efek yang mulai
tampak dan terasa kini adalah kecenderungan anak-anak untuk tidak taat kepada orang tuanya
dan gurunya atau mereka lebih mudah berkomunikasi atau mengungkapkan perasaan,
persoalan, dan kegundahan hatinya kepada orang lain melalui smartphone dan internet
ketimbang kepada orang tuanya atau gurunya.
Kini para orang tua dalam keluarga modern juga menghadapi “krisis komunikasi secara
langsung dan terbuka” dengan anak-anaknya (Purwadi, dkk, 2007). Di dalam dunia virtual itu
setiap orang, anak-anak kita, dapat bertukar cerita, berbagi pengetahuan dan pengalaman hidup
menyangkut banyak hal secara instan, efisien dan efektif dengan siapa pun juga, yang faktanya
lebih intens dengan orang lain ketimbang dengan orang tuanya sendiri. Kemampuan para
orang tua dan para guru untuk berkomunikasi dengan anak-anak mereka bisa diibaratkan
dengan ombak laut, kadang-kadang datang dan pergi begitu saja. Anak-anak kini malahan
lebih sering berkomunikasi dengan pihak lain dalam dunia maya. Mereka berkomunikasi dan
menjalin relasi dengan dan terpengaruh oleh orang lain yang bahkan belum pernah
dijumpainya dalam kehidupan real, misalnya, berkomunikasi melaui facebook, twitter, e-mail,
homepage, dan lain-lain. Pada sisi yang terakhir itulah pendidikan karakter dalam keluarga
modern dapat menghadapi masalah. Bahkan ketika sudah berada di dalam rumah masing-
masing anggota keluarga sibuk dengan dunianya sendiri, dunia virtual. Dalam hal ini, orang
tua memang wajib menjadi teladan dalam penggunaan alat-alat komunikaasi digtal.
Gambar 1
Sumber ilustrasi: https://www.summareconserpong.com/whats-on/information/jangan-ada-
gadget-saat-berkumpul-bersama
Academy of Education Journal
Vol. 1, No. 15, Januari 2024, Page: 860-873
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
868
Bartolomeus Samho (Pola pengasuhan yang relevan ....)
Jadi, yang perlu kita sadari saat ini bahwa di balik peranan teknologi digital yang semakin
sentral dalam segala aspek kehidupan manusia adalah ancaman-ancaman yang mereduksi
kesadaran anak-anak akan nilai-nilai. Ancaman yang terasa nyata, selain berkaitan dengan
urusan pendidikan karakter anak, juga berkaitan dengan identitas. Teknologi digital telah
sedemikian rupa membuat manusia tercerabut dari akar budayanya. Saat ini orang rentan atau
mudah berpaling dari nilai-nilai atau kearifan lokal yang sudah membentuk identitas dirinya
seperti adat-istiadat dan agama. Di Indonesia, misalnya, orang begitu mudah mengikuti nilai-
nilai dari luar, dari dunai barat yang mencerminkan liberalisasi cara hidup ketimbang hidup
selaras dengan nilai-nilai tradisional leluhurnya atau budaya bangsa yang dikristalisasi sebagai
Pancasila. Kondisi ini tentu membahayakan, khususnya bagi anak-anak. Mereka terancam
mengalami kesulitan untuk menghayati nilai-nilai atau budaya bangsanya. Akibat lebih lanjut,
mereka mengalami kesulitan dalam menemukan orientasi nilai yang efektif dan signifikan
untuk dijadikan sebagai alternatif solusi yang etis, normatif, dan bermanfaat bagi persoalan-
persoalan kehidupan yang dihadapinya. Bagaimanapun juga, fenomena bunuh diri (pada anak-
anak dan kaum muda jaman sekarang), pergaulan bebas yang melanda kam muda pada
umumnya, tindakan berupa kekerasan verbal dan fisik, penyalahgunaan obat-obat terlarang,
merupakan sinyal kuat yang menunjukkan krisis identitas sedang melanda mereka. Selain itu,
berbagai tindakan pelanggaran norma atau aturan yang dilakukan oleh para pejabat teras di
negeri Pancasila ini seperti kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme pada dasarnya dapat
dipandang sebagai muara dari krisis identitas sehingga pelakunya tidak memiliki gambaran
tentang diri yang positif baik bagi sesama.
Manusia yang dilanda krisis nilai dan makna dalam kehidupannya dapat dengan mudah
mengalami disorientasi dan alienasi diri. Ia merasa terasing dari dunianya, dari sesamanya, dan
dari dirinya sendiri. Kondisi ini bila tidak segera diatasi maka dapat bermuara pada tindakan
destruktif bagi diri dan sesamanya. Berbagai kasus yang merugikan diri dan sesama seperti
dideskripsikan di atas akhirnya menunjukkan bahwa manusia saat ini rentan terhadap krisis jati
diri, krisis karakter positif, serta krisis nilai dan makna. Ia pun sulit mengalami kehidupan
sebagai anugerah istimewa dari Sang Pencipta yang harus disyukuri dan diisi dengan kegiatan-
kegiatan yang bernilai positif baik untuk diri dan sesamanya. Oleh karena itu, agar
kecanggihan teknologi digital tidak bagaikan “senjata makan tuan” bagi perkembangan
karakter anak-anak, implementasi teknologi digital dalam praksis kehidupan penting dan perlu
senantiasa berlandas pada nilai-nilai moral dan religius.
Gejala krisis komunikasi antara para orang tua dengan anak-anaknya di era teknologi
digital saat ini tentu berdampak buruk pada pembentukan dan pengembangan karakternya. Di
balik kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi digital saat ini untuk urusan informasi dan
komunikasi, terdapat ancaman dahsyat yang patut diwaspadai bagi pengembangan karakter
anak-anak. Fenomena yang mengemuka saat ini adalah bahwa anak-anak mudah menjadi
pribadi yang individualis dan egois, pemurung, tertutup, tidak santun dalam sikap, perkataan,
dan tindakannya kepada orang tuanya. Fenomena demikian merupakan tanda nyata bahwa
perlu adanya pola pengasuhan dalam keluarga yang relevan untuk pengembangan karakter
anak-anak. Pola pengasuhan yang relevan adalah yang memperkuat karakter (positif baik)
anak-anak. Dalam konteks itu, metode dan semboyan pendidikan yang dicanangkan oleh
Bapak Pendidikan Nasional bangsa Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, dapat dijadikan salah
satu alternatif pola pengasuhan dalam keluarga dalam rangka pengembangan karakter anak
pada jaman teknologi digital dan globalisasi saat ini.
B. Pola Pengasuhan Yang Relevan untuk Pengembangan Karakter Anak
Kinerja teknologi digital yang serba virtual membuatnya "bisa berdampak menjauhkan
yang dekat dan mendekatkan yang jauh" dalam praksis kehidupan. Tentu hal itu amatlah
bergantung kepada subyek yang menggunakannya. Tanpa kontrol atasnya, teknologi digital
Academy of Education Journal
Vol. 1, No. 15, Januari 2024, Page: 860-873
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
869
Bartolomeus Samho (Pola pengasuhan yang relevan ....)
bisa memperbudak penggunanya. Alih-alih sebagai subyek, para penggunanya malah dapat
berpotensi menjadi obyek, mengalami disorientasi atau teralienasi dari dirinya. Ia bisa merasa
begitu akrab dengan orang lain yang nun jauh di sana tapi kehadiran orang yang berada
didekatnya, misalnya, orang tua, sanak keluarga, dan teman-temannya tidak disadarinya atau
bahkan diabaikannya. Oleh karena itu, agar teknologi digital tidak mengasingkan penggunanya
dari diri dan sesamanya, perlu suatu pola pengasuhan yang relevan untuk pendidikan karakter
dalam keluarga modern. Apakah yang kita maksudkan dengan keluarga dan bagaimanakah
pola pengasuhan yang signifikan untuk urusan pengembangan karakter anak?
Istilah keluarga, dalam batasan tertentu, adalah orang seisi rumah yakni, ayah, ibu dan
anak-anak (Poerwadarminta, 1985) atau sekelompok orang yang hidup bersama karena terikat
oleh pernikahan dan hubungan darah (Soelaeman, 1970) atau suatu sistem sosial yang sub-
subnya berhubungan dan saling memengaruhi satu sama lain (Sudarja, 1988). Keluarga
sebagai unit terkecil dalam masyarakat (nuclear family) acap kali dipandang sebagai tempat
pendidikan utama dan pertama bagi setiap anggotanya. Oleh karena itu, keluarga mestilah
menjadi landasan pendidikan karakter anak yang kokoh. Dalam konteks itu, pola pengasuhan
dalam keluarga yang mesti dikembangkan adalah melalui pengalaman aktif dan pasif.
Pola pengasuhan pasif atau pengalaman pendidikan pasif perlu dialami anak-anak dengan
sikap mendengarkan dan mengikuti nasehat, perintah, dan anjuran orang tuanya. Sementara
pola pengasuhan aktif atau pengalaman pendidikan aktif berarti orang tua menjadi pendidik
yang mendidik anak-anaknya melalui sikap, perkataan, dan tindakan yang positif baik.
Pengasuhan aktif bermula dari orang tua yang menginisiasi pengasuhan kepada anak-anaknya
dalam suasana akrab dan kasih sayang. Pola pengasuhan seperti itu penting untuk
menumbuhkan keyakinan diri pada anak-anak. Kedua pola pengasuhan dalam kerangka
pendidikan karakter itu arahnya adalah memerdekakan anak dari segala bentuk
keterbatasannya melalui tuntunan dan pengalaman yang bercorak informatif, formatif,
liberatif, dan kemudian transformatif (mengubah mereka menjadi insan paripurna, proaktif,
dan kreatif).
Jadi, pola pengasuhan dalam keluarga melibatkan kerjasama antara orang tua dan anak-
anaknya. Tanpa kerjasama dari kedua belah pihak, pendidikan dalam keluarga terasa sulit
dilaksanakan secara maksimal. Persoalan dalam rumah tangga dewasa ini, apa pun bentuk atau
wujudnya, terkait secara langsung atau tidak langsung dengan pola pendidikan yang
diterapkan dalam keluarga. Sikap acuh tak acuh anak kepada orang tua, misalnya,
menunjukkan adanya mata rantai yang terputus dalam pola pengasuhan dalam keluarga.
Barangkali karena orang tua sibuk bekerja, jarang mengurusi keperluan anak-anaknya, segala
kebutuhan anaknya diatasi dengan materi atau uang, atau karena orang tua tidak bersikap tegas
kepada anak-anaknya atau tidak mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya. Artinya, pola
pengasuhan anak dalam keluarga sangat menentukan pembentukan dan perkembangan
karakter anak dalam era teknologi digital dan globalisasi dewasa ini. Misalnya, pola
pengasuhan dalam keluarga perlu mempertimbangkan fase-fase perkembangan anak,
khususnya menyangkut seksualitas dan kebutuhan seks pada lelaki dan perempuan.
Pendidikan seksualitas dalam era teknologi digital bermula dalam pola pengasuhan keluarga.
Orang tua penting memberikan pendidikan seksualitas kepada anak-anaknya agar mereka tidak
terjerumus pada perilaku seks yang menyimpang dan menjadi korban eksploitasi seksual
(Gresh, 1974).
Terkait dengan beberapa ancaman dan tantangan yang dihadirkan oleh teknologi digital
dan globalisasi saat ini, pentingnya pola pengasuhan anak yang berkualitas agar tidak
mengalami ketergantungan pada sarana teknologi digital. Berkaitan dengan itu, ada beberapa
kebiasaan yang dapat diterapkan dalam keluarga, yang juga dapat menjadi pola pengasuhan,
yakni: pertama, memberi batasan waktu kepada anak-anak dalam menggunakan gadget agar
Academy of Education Journal
Vol. 1, No. 15, Januari 2024, Page: 860-873
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
870
Bartolomeus Samho (Pola pengasuhan yang relevan ....)
tidak tergantung atau ketergantungan padanya. Misalnya, hari apa saja mereka boleh
memainkan gadget atau nonton televisi, berapa lama anak-anak boleh memainkan gadget atau
nonton televisi. Pada umumnya, anak-anak boleh menggunakan gadget dan nonton sepuasnya
di hari minggu. Hari-hari di luar itu mesti dibatasi dengan ketat dan tegas. Pembatasan waktu
tersebut tentu dibicarakan terlebih dahulu dengan anak-anak dan diberi alasan yang dapat
mereka pahami, misalnya, bahwa mereka mesti harus mengutamakan sekolah dan belajar
sebab itulah yang menjadi jaminan bagi masa depan mereka yang baik. Keculi itu, beri juga
penjelasan bahwa bila mereka tekun dalam belajar maka suatu saat mereka bisa membuat
sarana teknologi yang jauh lebih canggih dari pada yang mereka lihat dan mainkan sekarang
ini. Selain itu, anak-anak juga diminta untuk membuat jadwal pribadi mengenai kapan mereka
belajar, bermain dengan teman sebaya, berolah raga atau menekuni habinya. Pembatasan dan
pembuatan jadwal kegiatan tersebut mesti dibahas dan disepakati bersama dengan anak-anak
sehingga ketika mereka melanggarnya, kita sebagai orang tua cukup dengan memberikan
isyarat bahwa tindakannya itu melanggar kesepakatan bersama atau waktu bermain gadget
sudah cukup. Pembatasan penggunaan gadget dapat mencegah ketergantungan mereka pada
teknologi digital secara dini dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan karakter positif
mereka sehingga mereka tidak menjadi anak yang pasif dan kurang peka terhadap lingkungan
sosialnya. Kedua, memberi pengawasan/kontrol yang tepat dalam penggunaan gadget,
terutama menyangkut pilihan informasi yang boleh dan tidak boleh diunduh, ditonton, dan
dibaca oleh mereka. Monitoring anak dalam menggunakan gadget adalah cara yang tepat agar
anak tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara
moral. Ketiga, mengajak anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan
mendukung mereka untuk bersosialisasi ketimbang membiarkannya menjadi pribadi yang
individualis lantaran bermain gadget terus. Misalnya, ikut kelompok bersepeda, hiking, futsal,
kegiatan religius, dll. Dengan demikian mereka mampu mengasah keterampilan motoriknya
dan dapat bersosialisasi secara luas. Keempat, mengarahkan mereka untuk mencari informasi
yang terkait dengan ajaran-ajaran agama. Namun, sebelumnya tentu pembinaan iman mereka
terlebih dahulu dilakukan secara intensif sehingga mereka termotivasi untuk mencari informasi
tentang ajaran atau pengetahuan agamanya melalui teknologi digital yang dimilikinya. Kelima,
membiasakan mereka untuk menggunakan sarana teknologi digital untuk berkomunikasi
dengan kita sebagai orang tuanya atau dengan sanak keluarga dalam rangka silaturahmi dan
penguatan rasa kekeluargaan. Keenam, mengingatkan anak untuk selalu bersikap kritis
terhadap segala informasi yang mereka peroleh dari jejaring sosial media agar mereka tidak
mudah tertipu oleh informasi murahan yang memang dimaksudkan untuk menipu atau
menggosip atau hoax. Orang tua juga memiliki kewajiban moral untuk mengingatkan anak-
anak agar mereka tidak menyebarkan hoax melalui alat komunikasi yang mereka miliki.
Dalam rangka menerapkan pola pengasuhan di atas, tentu ada tantangan-tantangan yang
dihadapi oleh para orang tua, yakni: pertama, sikap membrontak dari anak-anak atau mereka
mencoba membandingkan kondisi yang dialaminya dengan keadaan teman sebayanya. Anak-
anak bisa saja merasa diperlakukan orang tuanya secara tidak adil karena membatasi waktu
mereka untuk bermain gadget. Mereka bisa juga membandingkan kondisi yang dialaminya
dengan kondisi teman sebayanya yang tampak leluasa bermain gadget. Dalam menyikapi
keadaan seperti itu, para orang tua tentu perlu menjadi teladan dalam menggunakan gadget.
Misalnya, bila di rumah maka orang tua sebaiknya tidak lagi menyibukkan diri dengan gadget
tapi lebih fokus kepada orang-orang yang ada di rumah, berkomunikasi dengan mereka, dan
merencanakan hal-hal yang perlu dijadikan kegiatan utama dalam keluarga. Jadi, yang
dibutuhkan adalah pola pengasuhan atau metode pendidikan dalam keluarga yang relevan
untuk penguatan karakter anak.
Academy of Education Journal
Vol. 1, No. 15, Januari 2024, Page: 860-873
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
871
Bartolomeus Samho (Pola pengasuhan yang relevan ....)
Di era teknologi digital dan globalisasi saat ini, anak-anak perlu pola pengasuhan dalam
keteladanan. Orang tua mesti menjadi teladan atau sosok figuratif yang dikagumi dan dicintai
oleh anak-anak dalam hal-hal yang positif baik. Prinsipnya, pengembangan karakter anak
dalam keluarga modern memerlukan suatu metode atau pola yang relevan. Dalam konteks
Indonesia, misalnya, metode dan semboyan pendidikan yang dicanagkan oleh Bapak
Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, senantiasa relevan untuk diadopsi dan
diimplementasikan. Metode pendidikan yang dimaksudkan adalah metode Among dengan
semboyannya “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri
Handayani” (Dewantara, 1962).
Dalam konteks metode among dan semboyan pendidikannya, Ki Hadjar Dewantara
menegaskan pentingnya orang tua berperan sebagai pamong. Peran sebagai pamong itu
mengharuskan orang tua untuk senantiasa berada di depan untuk menjadi pemimpin dan
teladan bagi anak-anaknya dalam sikap, perkataan, dan tindakan yang baik (Ing Ngarsa Sung
Tuladha), dan berada di antara anak-anaknya untuk menginspirasikan dan memantik gagasan
yang positif dalam praksis kehidupan (Ing Madya Mangun Karsa), dan memotivasi,
mendorong, menyemangati anak-anaknya untuk menjadi pribadi yang maju dan berkembang
dalam gagasan, aktivitas, dan karya nyata yang berdampak positif baik baginya dan sesamanya
(Tut Wuri Handayani). Misalnya, dalam era teknologi digital, orang tua mesti menjadi teladan
dalam penggunaan teknologi digital secara terukur dan bermanfaat. Mereka mendidik dan
menginspirasi anak-anaknya dalam menggunakan sosial media untuk menyebarkan informasi
yang konstruktif, memperluas, dan memperdalam wawasan, serta mendorong atau memotivasi
anak-anaknya untuk berkreasi melalui sosial media dengan sikap dan tindakan yang terpuji;
meng-upload konten-konten yang berguna untuk pengembangan wawasan dan penguatan rasa
persaudaraan di antara sesama manusia. Dengan kata lain, dalam hal penggunaan teknologi
digital, orang tua mesti bertindak sebagai pemimpin dan teladan, sebagai inspirator yang
menumbuhkan gagasan-gagasan kreatif bagi anak-anak untuk menggunakan teknologi digital
secara bermanfaat bagi kemajuannya serta sebagai motivator bagi anak-anaknya untuk terus
mencari informasi yang sungguh berkualitas dan mendukung mereka untuk berkembang dalam
minat dan bakatnya serta karya-karyanya yang memberi manfaat dan kebaikan bagi orang
banyak. Jadi, sebagai pendidik utama dalam keluarga, orang tua mesti senantiasa memberi
dorongan, dukungan dan topangan kepada para anak-anaknya agar mereka bertindak
berdasarkan nilai-nilai dan aturan-aturan hidup bersama dan mewujudkan nilai-nilai tersebut di
dalam karya nyata yang penting bagi masyarakat.
4. Kesimpulan
Hidup manusia adalah medan pendidikan yang dinamis. Setiap manusia mengalami
pendidikan, baik sebagai sebyek pasif (yang dididik) maupun sebagai subyek aktif (yang
mendidik). Dalam ranah pendidikan keluarga, pola pengasuhan sangat menentukan
perkembangan karakter anak-anak. Orang tua penting mendidik anak-anak dengan sabar,
tegas, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi mereka dalam kehidupan yang bermakna dan
bernilai religius, benar, baik, jujur, bersahabat, dan rendah hati.
Keberhasilan pendidikan karakter anak dalam era teknologi digital dan globalisasi amat
tergantung pada sejauh mana orang tua aktif memberikan pendampingan, pengarahan,
pengontrolan, dan teladan yang positif baik bagi anak-anaknya dalam penggunaan teknologi
digital. Orang tua mesti pertama-tama melakukan apa yang mereka harapkan dilakukan oleh
anak-anaknya. Sementara anak-anak besikap mendengarkan, taat mengikuti perintah, nasihat,
dan anjuran orang tuanya. Oleh karena itu, selain penting menjadi teladan dan model dalam
sikap, perkataan, dan tindakan, orang tua juga perlu memperhatikan, mendengarkan, dan
mengasihi anak-anaknya sementara anak-anak penting bersikap taat, rendah hati untuk mau
Academy of Education Journal
Vol. 1, No. 15, Januari 2024, Page: 860-873
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
872
Bartolomeus Samho (Pola pengasuhan yang relevan ....)
dibimbing dan diarahkan oleh orang tuanya. Dengan demikian, implementasi teknologi digital
untuk pendidikan karakter dalam keluarga modern relevan untuk kemajuan anak-anak dalam
dalam ranah kognitif, afektif, psikomotorik, sosial, dan spiritual-religius.
5. Daftar Pustaka
Adiwikarta, S. (1998). Sosiologi Pendidikan, Isyu dan Hipotesis Tentang Hubungan Penduduk
Dengan Masyarakat, Depdik Bub, Dirjen Dikti, Jakarta.
Appadurai, A. (2006). “The Right to Research.” Globalization, Societies and Education, 4 (2),
167-177.
Baswori & Suwandi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rineka Cipta.
Bogdan, R & Taylor, S. J. (1975). Introducing to Qualitative Methods: Phenomenological,
New York: A Wiley Interscience Publication.
Brotosiswojo, B. S. (2000). Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta Globalisasi.
Dalam Sindhunata (ed.), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi,
Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Yogyakarta, Kanisius.
Budiman, H. (2002). Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius.
Choy, F. L. C. (2006). Membingkai (Ge-Stell): Sejenis Pembusukan Pandangan terhadap
Dunia, dalam Korupsi Kemanusiaan, Menafsirkan Korupsi (dalam) Masyarakat,
Jakarta: KOMPAS.
Dewantara, K.H. (1962). Karja I (Pendidikan). Jogjakarta: Pertjetakan Taman Siswa.
Gresh, M. J. & Iris, L. The Handbook of Adolescence. New York: Dell, 1974.
Hardiman, FX. B. (2021). Aku Klik Aku Ada: Manusia Dalam Revolusi Digital. Yogyakarta:
Kanisius.
Held, D. & McGrew, A. G. (2002). Globalization/anti-globalization. Cambridge, UK: Polity;
Malden, MA: Blackwell Publishers
McLuhan, M. (1962). The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. Toronto:
University of Toronto Press.
McLuhan, M. (1994). Understanding Media: The Extensions of Man. MIT Press.
Morin, E. (2005). Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius.
Pamungkas, C. (2015). Global village dan Globalisasidalam Konteks ke-Indonesiaan, Global &
Strategis, vol. 9, No. 2 (Published: 2017-12-14).
Parson, T. (1967). Sociological Theory and Modern Society, London, Free Press.
Piliang, Y.A. (1998). Sebuah Dunia Yang Dilipat, Bandung: Mizan.
Poerwadarminta, W.J.S. (1985). Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka.
Purwadi, Y. S, et.al. (2007). Pendidikan Nilai Pancasila, Bandung: Unpar Press.
Samho, B. (2014). Pendidikan Karakter Dalam Kultur Globalisasi: Inspirasi Dari Ki Hadjar
Dewantara. Jurnal MELINTAS, vol. 30. No. 3.
Soelaeman, M.I (1970). Pendidikan Dalam Keluarga, Al-FABETA, Bandung.
Academy of Education Journal
Vol. 1, No. 15, Januari 2024, Page: 860-873
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
873
Bartolomeus Samho (Pola pengasuhan yang relevan ....)
Sumber Internet
http://www.intipesan.com/tips-pengasuhan-anak-di-era-digital/ (diunduh tanggal 12 Maret
Oktober 2024).
https://www.summareconserpong.com/whats-on/information/jangan-ada-gadget-saat
berkumpul-bersama (diunduh tanggal 14 Maret Oktober 2024)