Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 787-798
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
787
Faishal Hilmy Maulida (Dukun Adat sebagai Benteng Pendidikan Karakter.)
Dukun Adat sebagai Benteng Pendidikan Karakter
Pemuda Desa Adat Tengger, Ngadas, Kabupaten
Malang
Faishal Hilmy Maulida
Character Building Development Center, Public Relations Department, Faculty of Digital Communication and
Hotel & Tourism, Bina Nusantara University, Indonesia
Email: faishal.maulid[email protected].id
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 31 Juli 2023
Direvisi: 28 November2023
Disetujui: 21 Januari 2024
Tersedia Daring: 24 Maret 2024
Studi ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana masyarakat Adat Tengger di
Desa Ngadas, Kabupaten Malang, mempertahankan tradisi mereka di tengah
tantangan modernisasi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode sejarah, yang melibatkan empat tahapan utama: (1) heuristik, yaitu
pengumpulan data melalui buku, artikel jurnal, surat kabar, serta
wawancara dan observasi di lapangan; (2) verifikasi, yang berfokus pada
evaluasi kredibilitas sumber yaitu dengan melakukan kritik sumber; (3)
interpretasi, atau proses penafsiran data; dan (4) historiografi, yang
berkaitan dengan cara data disajikan. Temuan penelitian ini menegaskan
peran penting dukun adat sebagai pemimpin non-formal yang tidak hanya
bertanggung jawab atas ritual keagamaan tetapi juga dalam menangani
masalah sosial di komunitas serta mengedukasi generasi muda dengan nilai-
nilai karakter yang positif. Studi ini menyimpulkan bahwa dukun adat
memegang peranan kunci dalam mengintegrasikan tradisi dengan
perubahan zaman, dan bahwa praktik bertani tradisional masyarakat
Tengger bukan hanya sebagai sumber penghidupan utama mereka, tapi juga
sebagai sarana untuk melindungi komunitas dari pengaruh negatif
modernisasi.
Kata Kunci:
Dukun Adat
Pendidikan
Karakter
Tengger
Ngadas
ABSTRACT
Keywords:
Shaman
Education
Character
Tengger
Ngadas
This study aims to explore how the Tengger Indigenous community in
Ngadas Village, Malang Regency, preserves their traditions amidst the
challenges of modernization. The research employs a historical method,
which includes four primary stages: (1) heuristic, involving the collection of
data through books, journal articles, newspapers, as well as interviews and
field observations; (2) verification, focusing on the credibility evaluation of
sources by conducting source criticism; (3) interpretation, or the process of
data interpretation; and (4) historiography, related to how the data is
presented. The findings of this research highlight the crucial role of
traditional healers as informal leaders who are responsible not only for
religious rituals but also for addressing social issues in the community and
educating the young generation with positive character values. The study
concludes that traditional healers play a key role in integrating tradition
with the changes of the times, and that the traditional farming practices of
the Tengger community are not only their main source of livelihood but also
a means to shield the community from the negative impacts of
modernization.
©2024, Faishal Hilmy Maulida
This is an open access article under CC BY-SA license
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 787-798
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
788
Faishal Hilmy Maulida (Dukun Adat sebagai Benteng Pendidikan Karakter.)
1. Pendahuluan
Pada era kepemimpinan Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, pembentukan karakter
dan pembangunan nasional menjadi fokus utama. Presiden Soekarno kerap menekankan
pentingnya membentuk karakter bangsa yang kuat sebagai fondasi untuk menciptakan Indonesia
yang berdaulat dan bermartabat. Hal ini ditekankan sebagai langkah penting untuk
membebaskan negara dari belenggu kolonialisme dan imperialisme yang selama ini
memposisikan Indonesia di bawah dominasi dan penindasan bangsa asing (Mu’in, 2019). Dalam
sejarah pendidikan global, terdapat dua tujuan utama: pertama, untuk membuat individu menjadi
cerdas dan pintar; kedua, untuk membentuk mereka menjadi orang yang baik dan berbudi luhur.
Meskipun mengembangkan kecerdasan dan keahlian mungkin relatif lebih mudah, menciptakan
karakter yang baik dan bijaksana seringkali lebih menantang. Oleh karena itu, masalah moral
sering dianggap sebagai tantangan berkelanjutan dan kompleks yang dihadapi manusia di setiap
zaman dan tempat (Sukatin et al., 2022).
Pembangunan karakter secara ideologis bertujuan untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sudut pandang normatif, ini adalah upaya nyata
untuk mencapai tujuan nasional, seperti melindungi bangsa, meningkatkan kesejahteraan,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan berkontribusi pada perdamaian dan keadilan sosial global.
Secara historis, pembangunan karakter telah menjadi bagian penting dari evolusi kebangsaan
Indonesia, terus berlangsung sejak era kolonial hingga kemerdekaan. Dari perspektif
sosiokultural, dalam konteks negara multikultural seperti Indonesia, pembangunan karakter
menjadi sebuah kebutuhan esensial (Jurusan et al., 2010). Mengintegrasikan Pendidikan
Karakter yang berakar pada nilai-nilai masyarakat adat menjadi salah satu strategi kunci dalam
memperkuat fondasi moral dan etika dalam masyarakat. Pendekatan ini secara khusus
melibatkan tokoh dan kelompok masyarakat adat sebagai pilar utama. Dengan mendayagunakan
kearifan lokal dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat adat, pendidikan karakter
tidak hanya menjadi lebih relevan dan bermakna bagi peserta didik, tetapi juga membantu dalam
pelestarian budaya dan tradisi (Purnama, 2021). Tokoh masyarakat adat, yang seringkali
dihormati dan dipandang sebagai pemimpin spiritual atau moral, memiliki pengaruh signifikan
dalam menyampaikan dan mengajarkan nilai-nilai penting kepada generasi muda. Sementara itu,
kelompok masyarakat adat dapat berperan aktif dalam menciptakan lingkungan belajar yang
mendukung, di mana praktik-praktik tradisional dan cerita lisan menjadi media pembelajaran
yang kaya akan nilai. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kesadaran tentang pentingnya
menjaga identitas dan warisan budaya, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan solidaritas
dalam komunitas adat.
Eksplorasi dan pemeliharaan elemen-elemen kearifan lokal, seperti tradisi, pranata sosial,
serta norma dan adat istiadat yang positif, merupakan langkah penting dalam memperkaya dan
memperkuat pendidikan karakter. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya memanfaatkan
nilai-nilai budaya tradisional yang memiliki potensi besar untuk mendukung pembentukan
karakter yang baik, sekaligus mengintegrasikan pemahaman baru dan wawasan modern yang
relevan. Berdasarkan teori Social Learning, yang menyatakan bahwa budaya adalah kumpulan
perilaku yang dipelajari, proses pembelajaran ini membuka peluang bagi masyarakat untuk
mengembangkan karakter yang lebih baik dan tidak "terkondisi untuk keras", atau dengan kata
lain, memiliki kemampuan adaptasi sosial yang tinggi dengan nilai-nilai positif (Ulfah Fajarini,
2014).
Kearifan lokal, yang secara luas diinterpretasikan sebagai kumpulan nilai budaya yang
menguntungkan dalam komunitas, berperan sebagai sumber daya penting dalam pendidikan
karakter. Mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam kurikulum dan praktik pendidikan tidak
hanya membantu melestarikan warisan budaya, tetapi juga menawarkan perspektif yang unik
dan relevan bagi peserta didik dalam memahami dan menerapkan nilai-nilai etis dan moral
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 787-798
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
789
Faishal Hilmy Maulida (Dukun Adat sebagai Benteng Pendidikan Karakter.)
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini, pendidikan karakter menjadi proses yang dinamis,
yang tidak hanya berfokus pada penanaman nilai-nilai positif, tetapi juga pada pemahaman
mendalam tentang konteks sosial dan budaya yang membentuk perilaku individu. Melalui proses
ini, pendidikan karakter berbasis kearifan lokal dapat menjadi katalis untuk pengembangan
masyarakat yang harmonis, di mana individu tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga
kaya akan nilai-nilai budaya dan moral yang baik.
Menurut penelitian Bahrul Ulum (Ulum, 2016) Masyarakat Tengger memegang teguh etika
yang menekankan pentingnya harmonisasi antara manusia dan tiga dimensi kehidupan yang
mengelilinginya: sosial, alam, dan spiritual. Keyakinan ini didasarkan pada pemahaman bahwa
keselarasan antara ketiga aspek tersebut merupakan kunci untuk mencapai kebahagiaan, yang
dianggap sebagai tujuan utama kehidupan. Dalam rangka menciptakan keselarasan ini, ada tiga
prinsip utama yang dianut oleh masyarakat Tengger, yaitu saling menghormati, menjaga
kerukunan, dan hidup sederhana. Prinsip-prinsip ini diterapkan tidak hanya dalam interaksi
sosial antarmanusia, tetapi juga dalam hubungan mereka dengan alam dan dalam praktik
spiritual mereka.
Filosofi kehidupan orang Tengger ini menawarkan pandangan yang berharga dalam konteks
pengembangan karakter bangsa. Pemahaman mendalam tentang bagaimana kebahagiaan dapat
dicapai melalui harmonisasi hubungan sosial, penghargaan terhadap lingkungan alam, dan
keterlibatan spiritual menunjukkan cara-cara untuk membangun masyarakat yang lebih
kooperatif, berkelanjutan, dan bermakna. Mengadopsi nilai-nilai Tengger dalam pembangunan
karakter bangsa tidak hanya akan membantu dalam membentuk individu yang bertanggung
jawab dan empatik, tetapi juga mendorong pengembangan suatu masyarakat yang lebih
harmonis, di mana kebahagiaan tidak dilihat sebagai pencapaian individu semata, melainkan
sebagai hasil dari keseimbangan dan keselarasan dalam kehidupan bersama. Ini mendorong
suatu pendekatan holistik dalam pendidikan karakter, di mana pembelajaran tentang empati,
keberlanjutan, dan kesederhanaan menjadi inti dari pengembangan diri dan kehidupan
bermasyarakat.
Melalui penelitian ini, dipaparkan tentang tokoh adat tengger, dalam hal ini Dukut Adat
dalam kaitan pengembangan karakter di Desa Adat Tengger, Ngadas, Kabupaten Malang.
Penghuni Desa Ngadas merupakan bagian dari suku Tengger yang murni, sebuah klaim yang
diperkuat oleh keberlanjutan mereka dalam mempraktikkan adat dan tradisi Tengger yang telah
turun-temurun. Hal ini mencakup upacara keagamaan, praktik sosial, dan peran dukun sebagai
pilar penting dalam menjaga dan memediasi praktik-praktik tradisional tersebut. Ayu Sutarto,
dalam disertasinya tahun 1997 (Sutarto, 1997), menyoroti bagaimana keberadaan dan fungsi
dukun adat tidak hanya vital dalam aspek keagamaan, tetapi juga dalam memelihara harmoni
sosial dan edukasi karakter bagi generasi muda. Kehidupan masyarakat Ngadas, yang erat
dengan alam dan tradisi, menjadi simbol dari resistensi terhadap arus modernisasi, sekaligus
menunjukkan bagaimana komunitas dapat mempertahankan identitas dan warisan budaya
mereka di tengah perubahan zaman.
Area sekitar Desa Ngadas merupakan hutan negara yang dikelola oleh Dinas Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru di Provinsi Jawa Timur. Desa yang paling dekat dengan Desa
Ngadas adalah Desa Gubuk Klakah. Jarak dari Desa Ngadas ke pusat Kota Malang adalah
sekitar 60 kilometer (Agustapraja, 2017). Disamping itu, Masyarakat Tengger Ngadas di Malang
menunjukkan keragaman agama yang signifikan, meskipun mereka berbagi identitas adat yang
sama sebagai bagian dari suku Tengger. Mereka mempraktikkan tiga agama berbeda, yaitu
Islam, Buddha, dan Hindu, yang diwujudkan dalam semboyan "Satu Adat Tiga Agama". Sebagai
representasi dari keragaman kepercayaan ini, terdapat tiga masjid, satu pura Hindu, dan satu
wihara Buddha di daerah tersebut (Setyabudi, 2022). Masyarakat Tengger sangat menghormati
dan menjalankan tradisi yang diwariskan oleh leluhur mereka. Tradisi tersebut sering kali
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 787-798
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
790
Faishal Hilmy Maulida (Dukun Adat sebagai Benteng Pendidikan Karakter.)
mencerminkan keyakinan magis-animistis, kebersamaan komunal yang erat, serta serangkaian
kewajiban dan larangan yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Aspek-aspek ini turut
menciptakan ekspresi budaya khas, termasuk tradisi yang menjadi ciri khas budaya dan identitas
Tengger (Haryanto, 2016).
Seiring perkembangan zaman, jumlah penduduk Desa Ngadas bertambah. Peningkatan
jumlah penduduk setiap tahunnya di Desa Ngadas tidak hanya memberikan efek pada dinamika
sosial masyarakat, tetapi juga menimbulkan tantangan baru dalam ekonomi lokal. Dengan
keterbatasan lahan garapan yang tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk,
masyarakat Ngadas dihadapkan pada keharusan untuk mencari alternatif lain dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi mereka. Meskipun budidaya kentang dan sayuran merupakan sumber
pendapatan utama yang menguntungkan, realitas ini sering kali tidak dapat dimanfaatkan
sepenuhnya oleh warga yang memiliki akses terbatas terhadap lahan pertanian. Hal ini memaksa
mereka untuk berpikir kreatif dalam mencari sumber penghasilan tambahan.
Dalam mengatasi permasalahan ekonomi yang diakibatkan oleh keterbatasan lahan ini,
sektor pariwisata muncul sebagai solusi potensial, terutama dengan adanya dorongan aktif dari
Pemerintah Kabupaten Malang yang berambisi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
melalui pengembangan pariwisata. Sebagai bentuk dukungan konkret, pemerintah setempat telah
melakukan perbaikan infrastruktur jalan yang menghubungkan Desa Ngadas tidak hanya ke
Gunung Bromo, tetapi juga menuju Gunung Semeru lewat Ranu Pane. Inisiatif perbaikan
infrastruktur ini, bersamaan dengan penyediaan fasilitas listrik yang telah dilakukan sebelumnya,
diharapkan dapat memperkuat posisi Desa Ngadas sebagai destinasi wisata yang menarik dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peluang ekonomi baru di sektor pariwisata.
Pembangunan infrastruktur berupa masuknya listrik dan perbaikan jalan dari Tumpang,
Kabupaten Malang menuju Desa Gubuk Klakah hingga ke Desa Ngadas di Kecamatan
Poncokusumo telah memberikan dampak signifikan pada revitalisasi berbagai sektor. Inisiatif ini
terutama mempermudah transportasi hasil pertanian, seperti kentang dan berbagai jenis sayuran,
dari kawasan pegunungan menuju pasar di Kota Malang, memperpendek waktu perjalanan serta
mengurangi kerugian pasca-panen. Lebih dari itu, sektor pariwisata juga mengalami
pertumbuhan yang pesat, ditandai dengan bertambahnya akomodasi seperti homestay untuk
menampung wisatawan yang ingin menikmati keindahan Bromo atau mendaki Semeru.
Penyediaan jasa persewaan kendaraan 4WD sejenis Jeep/Hardtop untuk eksplorasi daerah sekitar
menjadi lebih dinamis, menawarkan pengalaman yang lebih nyaman dan memadai bagi
pengunjung.
Selain itu, elektrifikasi telah membawa transformasi sosial dan ekonomi yang mendalam di
Desa Ngadas, dengan masuknya berbagai perangkat elektronik seperti televisi, kulkas, dan radio,
yang semakin meningkatkan kualitas hidup penduduk. Kehadiran telepon seluler dan akses
internet dalam perkembangan selanjutnya membuka jendela baru bagi masyarakat untuk
terhubung dengan dunia luar, memperluas akses informasi dan komunikasi, serta membuka
peluang ekonomi digital. Penyediaan listrik yang stabil tidak hanya memfasilitasi kebutuhan
rumah tangga dan bisnis lokal, tetapi juga menginspirasi inovasi dan kreativitas dalam
memanfaatkan teknologi untuk pengembangan usaha, pendidikan, dan pariwisata. Dengan
demikian, pembangunan infrastruktur ini telah menjadi katalis untuk pertumbuhan ekonomi
yang inklusif dan berkelanjutan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memperkaya
pengalaman wisata di daerah tersebut.
Modernisasi di Desa Ngadas, sebagaimana layaknya sebuah pedang bermata dua, telah
membawa konsekuensi yang bertolak belakang. Meskipun kedatangan listrik dan peningkatan
akses jalan telah membuka jalan untuk kemajuan dan konektivitas, dampak negatifnya pun tidak
dapat diabaikan. Budaya modern yang masuk melalui interaksi dengan wisatawan dan eksposur
terhadap media seperti televisi dan internet, memunculkan kekhawatiran tentang pengaruhnya
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 787-798
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
791
Faishal Hilmy Maulida (Dukun Adat sebagai Benteng Pendidikan Karakter.)
yang merugikan, terutama terhadap pemuda setempat. Ini berpotensi mengancam kelestarian
nilai dan tradisi adat yang telah lama dipertahankan oleh komunitas tersebut.
Dalam menghadapi tantangan ini, peran Dukun Adat menjadi sangat krusial. Mereka tidak
hanya berfungsi sebagai pemimpin spiritual dan non-formal dalam komunitas, tapi juga sebagai
garda terdepan dalam menyaring dan menyesuaikan pengaruh-pengaruh luar tersebut dengan
nilai-nilai lokal dan memberi peran pada muatan pendidikan karakter. Dukun Adat berperan
sebagai mediator yang memastikan bahwa sambil menerima manfaat dari kemajuan modern,
masyarakat tidak kehilangan jati diri dan tradisi yang menjadi dasar kekuatan komunal mereka.
Mengacu pada pembahasan sebelumnya, fokus utama dari studi ini menjadi pertanyaan
penelitian utama yaitu: Bagaimana kontribusi dukun adat dalam menjembatani perubahan zaman
dan melindungi komunitas dari aspek negatif modernisasi? Berdasarkan hal tersebut, penelitian
ini bertujuan untuk: Menggambarkan secara detail bagaimana dukun adat berperan aktif dalam
menjaga keseimbangan antara penerimaan terhadap perkembangan baru dan perlindungan
terhadap nilai-nilai tradisional dan pendidikan karakter bagi pemuda untuk menghindari dampak
negatif modernisasi. Disamping itu, penelitian ini akan berkontribusi terhadap perkembangan
pengetahuan tentang pendidikan karakter melalui pemahaman peran adat dan dukun adat sebagai
kearifan lokal.
2. Metode
Studi ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan metodologis historis, yang
melibatkan empat tahapan utama dalam proses penelitiannya, yaitu: (1) heuristik, yang berkaitan
dengan pengumpulan data yang meliputi berbagai sumber seperti buku, artikel surat kabar, dan
sumber-sumber lisan; (2) kritik sumber, yang fokus pada evaluasi keaslian dan keandalan data
yang dikumpulkan; (3) penafsiran, yang melibatkan analisis dan pemahaman terhadap data; serta
(4) historiografi, yang merupakan proses penulisan dan penyajian data historis (Kuntowijoyo,
2001, 2005). Dalam fase heuristik, penelitian ini diperkaya dengan data lisan yang diperoleh
melalui serangkaian wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh adat setempat. Integrasi antara
data kepustakaan dan informasi lisan ini dirancang untuk mengoptimalkan keakuratan dan
kedalaman analisis penelitian.
Penelitian ini juga mendefinisikan batasan geografis dan kronologis yang spesifik. Secara
geografis, penelitian terfokus pada Desa Adat Ngadas di komunitas Tengger, dipilih karena desa
ini merupakan area yang paling signifikan terkena dampak modernisasi. Faktor-faktor seperti
pengenalan listrik, modernisasi dalam praktik pertanian, perbaikan akses jalan ke Gunung
Bromo dan Semeru melalui Poncokusumo di Kabupaten Malang, serta pengakuan formal
sebagai desa adat yang diikuti oleh peningkatan jumlah wisatawan, telah mendorong terjadinya
interaksi yang intensif antara masyarakat setempat dengan elemen-elemen modern dan
pengunjung dari luar.
3. Hasil dan Pembahasan
Menurut Purnawan D. Negara (Negara, 2010) kepemimpinan dalam komunitas Tengger
dapat dibedakan menjadi dua jenis utama: kepemimpinan formal dan non-formal.
Kepemimpinan formal di Desa Ngadas, yang terletak di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten
Malang, mengikuti struktur dan prinsip kepemimpinan modern atau transisional, yang
terintegrasi ke dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia. Ini mencakup posisi-posisi resmi
dalam hierarki pemerintahan desa yang beroperasi sesuai dengan regulasi dan prosedur negara.
Sebaliknya, kepemimpinan non-formal dalam masyarakat Tengger berakar pada tradisi dan adat
istiadat setempat, di mana posisi kepemimpinan ditentukan berdasarkan warisan budaya dan
praktik adat, sering kali dipegang oleh tokoh-tokoh seperti dukun adat atau pemimpin spiritual
lainnya.
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 787-798
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
792
Faishal Hilmy Maulida (Dukun Adat sebagai Benteng Pendidikan Karakter.)
Kedua sistem kepemimpinan ini, yang berjalan beriringan dalam masyarakat Tengger,
menciptakan dinamika sosial yang unik dan menarik. Struktur ganda ini memungkinkan
masyarakat Tengger untuk mempertahankan keseimbangan antara nilai-nilai tradisional mereka
dan tuntutan kehidupan modern. Keberadaan model kepemimpinan ganda ini tergolong langka
dan menjadi salah satu ciri khas yang membedakan komunitas Tengger dari komunitas-
komunitas lain di Jawa Timur. Interaksi antara kedua bentuk kepemimpinan ini tidak hanya
menguatkan identitas budaya Tengger tetapi juga menunjukkan adaptasi mereka terhadap
perubahan zaman, di mana mereka berhasil mengintegrasikan aspek-aspek modernitas ke dalam
struktur sosial dan budaya yang telah lama ada. Kepemimpinan formal dan non-formal ini
bersama-sama memainkan peran penting dalam memandu dan memelihara kesinambungan
komunitas Tengger, menunjukkan keberhasilan mereka dalam menjembatani perbedaan antara
masa lalu dan masa kini.
Dalam masyarakat adat Tengger, struktur kepemimpinan formal mirip dengan yang
ditemukan di desa-desa lain di seluruh Indonesia. Mengingat daerah Tengger mencakup
beberapa desa yang berada di bawah administrasi empat kabupaten di Jawa Timur, setiap desa
dipimpin oleh seorang kepala desa, yang dalam konteks lokal disebut petinggi. Calon petinggi
terpilih melalui proses pemilihan yang demokratis, menegaskan keterlibatan dan partisipasi
masyarakat dalam pemilihan kepemimpinan formal mereka. Selain sistem kepemimpinan
formal, Tengger juga mengenal bentuk kepemimpinan tradisional, yang keberadaan dan
legitimasinya diakui oleh anggota masyarakat berdasarkan tradisi yang diwariskan. Dalam
konteks Tengger, pemimpin tradisional ini dikenal dengan sebutan dukun. Namun, perlu dicatat
bahwa pemahaman tentang peran dukun di Tengger berbeda secara signifikan dengan
interpretasi yang mungkin ada di masyarakat lain, seperti yang dijelaskan oleh Arifin pada tahun
1994 (Arifin, 1994). Di banyak komunitas, istilah dukun seringkali dikaitkan dengan praktik-
praktik seperti perantara roh, tukang sihir, herbalis, dan bahkan terkadang dengan pengobatan
tradisional atau pijat.
Berbeda dengan konsep tersebut, di masyarakat Tengger, dukun dihormati sebagai pendeta
atau pemimpin spiritual yang memiliki kemampuan untuk mengucapkan mantra-mantra
tradisional, menjadikan mereka pemimpin dalam upacara dan ritus agama. Ini menandakan
posisi unik dukun dalam struktur sosial Tengger, di mana mereka tidak hanya berfungsi sebagai
penyembuh atau praktisi magis, tetapi lebih penting lagi sebagai penjaga dan penyalur nilai-nilai
spiritual dan keagamaan dalam komunitas. Dengan demikian, kedua bentuk kepemimpinan ini
formal dan tradisional beroperasi bersamaan di Tengger, masing-masing memainkan peran
penting dalam menjaga keseimbangan antara pemerintahan administratif dan pemeliharaan
warisan budaya dan spiritual komunitas.
Dalam masyarakat Tengger, peran dukun tidak hanya dihormati tetapi juga dianggap unik
dibandingkan dengan peran serupa di wilayah Jawa lainnya atau di luar Jawa, menurut
Widyaprakosa (Widyaprakosa, 1994). Hubungan antara dukun, sebagai pemimpin spiritual, dan
anggota masyarakat, yang diwakilinya, menciptakan sebuah dinamika yang tidak simetris, di
mana masyarakat menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada dukun dalam menentukan nasib
mereka. Kemampuan para dukun dalam menyampaikan dan mempertahankan ajaran-ajaran
spiritual dari generasi sebelumnya menjadikan mereka perantara penting antara umat dengan
kekuatan pencipta.
Dengan demikian, fungsi dukun dalam struktur sosial Tengger melampaui tugas-tugas
keagamaan dan spiritual semata. Mereka juga berperan aktif dalam aspek-aspek sosial
masyarakat, yang mencakup berbagai aspek kehidupan sehari-hari di luar praktik keagamaan,
termasuk dalam bidang pertanian, upacara kelahiran, pencarian jodoh, dan penyelenggaraan
pernikahan, seperti yang dijelaskan oleh Romadon (Romadon, 2004). Ini menegaskan bahwa
dukun Tengger memegang peranan kunci tidak hanya dalam pemeliharaan tradisi spiritual, tapi
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 787-798
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
793
Faishal Hilmy Maulida (Dukun Adat sebagai Benteng Pendidikan Karakter.)
juga dalam keberlangsungan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, menunjukkan
integrasi yang dalam antara dimensi spiritual dan sosial dalam kehidupan masyarakat Tengger.
Dalam menjalankan tugasnya, Dukun Ngadas memegang peranan penting sebagai
pemimpin tradisi dan penjaga warisan adat di Ngadas, bertanggung jawab atas penyelenggaraan
upacara adat dan pemeliharaan tradisi adat Tengger Ngadas. Kemandirian dukun dalam
melaksanakan fungsi ini sangatlah kuat, sehingga ia tidak terpengaruh oleh keputusan kepala
desa terkait pelaksanaan atau kepemimpinan dalam ritual adat. Bahkan, menurut sebagian
masyarakat, keberadaan dukun dianggap lebih penting daripada kepala pemerintahan desa,
sebuah pandangan yang mencerminkan peran vital dukun dalam mempertahankan budaya dan
spiritualitas masyarakat. Menurut Purnawan D. Negara (Negara, 2010) Dukun memiliki
pengetahuan mendalam tentang mantra dan legenda yang esensial untuk upacara adat.
Selain itu, peran dukun dalam masyarakat Tengger juga mencakup dukun bayi, yang
berbeda dengan peran dukun adat. Dukun bayi memiliki peran khusus dalam membantu proses
persalinan, bekerja bersama dengan bidan desa. Masyarakat Tengger mempercayai keahlian
dukun bayi dalam merawat bayi baru lahir dan pengelolaan perawatan pasca-kelahiran hingga
bayi mencapai usia 40 hari atau sampai tali pusar lepas, seperti yang dijelaskan oleh Laurentius
Dyson P. (Dyson et al., 2016). Hal ini menunjukkan bahwa, selain menjalankan ritual adat,
dukun dalam masyarakat Tengger memiliki peranan khusus dalam aspek kehidupan sosial yang
lebih luas, termasuk kesehatan dan kesejahteraan bayi serta ibu baru.
Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, Dukun Ngadas tidak bertindak seorang
diri tetapi didukung oleh dua asisten atau wakil, yang dikenal sebagai Sepuh Adat dan Legen.
Masing-masing memiliki peranan spesifik yang mendukung pelaksanaan ritual adat di Desa
Ngadas. Sepuh Adat bertanggung jawab atas pelaksanaan Ajat, yaitu serangkaian upacara adat
yang berkaitan dengan permohonan atau hajat, sedangkan Legen fokus pada persiapan dan
penyelenggaraan ritual. Dukun Adat sendiri memiliki keahlian khusus dalam mengucapkan
mantra selama upacara adat. Dalam situasi tertentu, Sepuh Adat dan Legen juga dapat
menggantikan Dukun Adat apabila ia tidak dapat menghadiri suatu upacara.
Proses pemilihan Dukun Adat di Tengger melibatkan beberapa tahapan yang dimulai
dengan pemilihan oleh Kepala Desa bersama tokoh agama dan masyarakat. Setelah terpilih,
kandidat harus mendapat persetujuan dari masyarakat desa. Langkah selanjutnya adalah
mengajukan pilihan ini kepada Ketua Dukun di Desa Ngadisari, Kabupaten Probolinggo.
Persetujuan dari Ketua Dukun menjadi kunci untuk melanjutkan proses pemilihan. Calon Dukun
Adat yang terpilih kemudian diharuskan untuk melaksanakan ritual Mulunen di Gunung Bromo
selama bulan Kesada, sebuah ritual penting yang menandai pengangkatan mereka sebagai Dukun
Adat di masyarakat adat Tengger.
Sementara itu, pemilihan Sepuh Adat dan Legen berada dalam kewenangan Dukun Adat,
yang memilih keduanya berdasarkan kriteria tertentu. Setelah sosok Sepuh dan Legen terpilih,
Dukun Adat akan menyampaikan pilihannya kepada Kepala Desa, yang kemudian akan
mengumumkannya kepada masyarakat. Persetujuan komunal atas pilihan ini merupakan langkah
terakhir sebelum Sepuh dan Legen resmi bertugas sebagai pendukung Dukun Adat. Proses
seleksi dan penunjukan ini mencerminkan prinsip demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam
memelihara tradisi dan ritus adat, memastikan bahwa pemimpin spiritual dan adat yang dipilih
benar-benar mewakili dan mendapat dukungan dari komunitas Tengger.
Terdapat tiga jenis ritual adat yang dilaksanakan di desa tersebut, yaitu ritual desa,
ritual pribadi yang dijalankan oleh warga, dan ritual khusus (Ayu et al., 2024). Menurut
Senetram, Sepuh Adat Desa Ngadas, dalam wawancara pada 14 April 2017 (Senetram, 2017), di
Desa Ngadas terdapat dua jenis ritual adat, yaitu adat umum dan adat pribadi. Adat umum
meliputi berbagai jenis hajat seperti Pujan, Kesada, Karo, Unan-unan, Barikan, dan Galungan.
Ritual Pujan dilakukan sesuai dengan siklus waktu tertentu, termasuk Pujan kapat, Pujan Wolu,
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 787-798
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
794
Faishal Hilmy Maulida (Dukun Adat sebagai Benteng Pendidikan Karakter.)
Pujan Kesada, dan Pujan Kesanga, masing-masing memiliki tanggal pelaksanaan yang spesifik
dalam kalender Jawa. Kesada diadakan di Gunung Bromo pada tanggal 14 bulan Kesada,
sedangkan Karo adalah ritual bersih desa tahunan di rumah Kepala Desa, diikuti oleh seluruh
warga Tengger Ngadas. Unan-unan, yang berlangsung setiap 5 tahun 3 bulan sekali, dimulai dari
rumah Kepala Desa dan puncaknya di Sanggar Adat. Barikan diadakan ketika terjadi kejadian
alam seperti gempa bumi atau gerhana bulan. Terakhir, Galungan merupakan hajat yang
menyerupai upacara dalam agama Hindu tetapi di Desa Ngadas diikuti oleh masyarakat dari
berbagai agama.
Dalam konteks budaya Jawa, praktik Slametan berperan sebagai aspek konsumsi tradisional
yang signifikan, yang mencerminkan sintesis antara doa-doa Islami dan upacara ritual Jawa,
sebagaimana dijelaskan oleh Geertz pada tahun 1960 (Geertz, 1960). Di kawasan Tengger,
terdapat keunikan di mana frekuensi pelaksanaan ritual adat jauh lebih sering dibandingkan
dengan daerah lain di Jawa. Uniknya, ritual-ritual ini seringkali dipimpin oleh dukun adat, yang
berbeda dengan Kyai dalam praktik Islam Jawa, dimana dukun adat di Tengger meneruskan
keilmuan dan praktik tradisional mereka secara turun-temurun dari ayah ke anak laki-laki.
Berbeda dari kebanyakan wilayah di Jawa yang telah mengintegrasikan elemen-elemen
Islam ke dalam praktik Slametan, masyarakat Tengger tetap memelihara kesucian dan kemurnian
ritual tradisional mereka. Fenomena ini, seperti yang dikaji oleh Hefner pada tahun 1983,
menunjukkan sebuah bentuk resistensi budaya terhadap pengaruh luar dan komitmen kuat
masyarakat Tengger untuk menjaga warisan leluhur mereka. Hal ini menandakan kedalaman
nilai-nilai budaya dan spiritual yang terjaga di Tengger, di mana ritual Slametan tidak hanya
berfungsi sebagai kegiatan religius tetapi juga sebagai sarana pemeliharaan identitas komunal
dan transmisi pengetahuan adat dari generasi ke generasi. Dalam konteks ini, Slametan dan
praktik-praktik ritual lainnya di Tengger menjadi medium penting untuk menguatkan ikatan
sosial, spiritual, dan keberlanjutan tradisi di tengah perubahan zaman (Hefner, 1999).
Dalam tradisi perkawinan di Desa Ngadas, tidak ada prasyarat yang mengharuskan kedua
calon pengantin harus berasal dari desa yang sama atau bahkan dari komunitas Tengger itu
sendiri. Masyarakat Desa Ngadas terbuka terhadap pernikahan antara warga lokal dengan
individu dari luar Tengger, dan perbedaan agama antara kedua mempelai pun tidak dipandang
sebagai hambatan. Keputusan mengenai pernikahan lebih banyak bergantung pada kesepakatan
antarkeluarga. Dalam konteks ini, Dukun, Sepuh, dan Legen berperan sebagai pelaksana upacara
adat atau hajat, bukan sebagai pembuat keputusan. Pernikahan yang berlangsung lebih dari satu
hari di Desa Ngadas sering kali disertai dengan hajat Entas-entas, sebuah ritual yang memiliki
durasi yang spesifikbiasanya berlangsung selama dua hari, atau maksimal dua hari dan satu
malam. Ritual ini memiliki aturan waktu yang ketat dan tidak bisa dilaksanakan lebih lama atau
lebih pendek dari yang telah ditentukan.
Berkaitan dengan hal tersebut, karakter khas dari kehidupan masyarakat Tengger adalah
adanya kesetaraan gender dalam aspek domestik dan publik. Masyarakat ini mengakui
pentingnya peran wanita, yang berdampak signifikan baik di lingkungan keluarga, masyarakat,
maupun dalam pelaksanaan ritual. Di Tengger, perempuan dan laki-laki memiliki hak dan
kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam struktur keluarga dan
kegiatan sosial atau pemerintahan. Keyakinan ini sebagian besar bersumber dari penghormatan
terhadap leluhur mereka, Roro Anteng dan Joko Seger, yang tercermin dalam pembagian tugas
antara wanita dan pria. Perbedaan gender dipengaruhi oleh faktor biologi, kebutuhan
institusional sosial, dan kebutuhan eksistensial. Namun, masyarakat Desa Ngadas percaya bahwa
praktik pembagian kerja berdasarkan gender adalah bagian dari warisan leluhur mereka, yang
merupakan cara hidup yang telah lama ada di masyarakat Tengger, khususnya di Desa Ngadas
(Ramiyati et al., 2022). Dalam rumah tangga masyarakat Tengger, perempuan dan laki-laki
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 787-798
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
795
Faishal Hilmy Maulida (Dukun Adat sebagai Benteng Pendidikan Karakter.)
bekerja sama tanpa adanya pembagian tugas spesifik berdasarkan gender, khususnya dalam
pekerjaan di ladang (Sukmawan & Febriani, 2018).
Sebagaimana ditunjukkan penelitian Harry Waluyo, Dukun memainkan peran kunci dalam
upacara perkawinan di masyarakat Tengger. Sebuah pernikahan hanya akan dianggap valid dan
sah secara adat jika telah mendapatkan restu dan diupacarakan oleh Dukun. Peran Dukun dalam
pernikahan di Desa Ngadas mencerminkan pentingnya tradisi dan ritual dalam memelihara
ikatan sosial dan spiritual di masyarakat Tengger. Ini menandakan bagaimana prinsip-prinsip
budaya dan adat istiadat berperan dalam memandu proses-proses kehidupan penting, seperti
perkawinan, yang tidak hanya dianggap sebagai penyatuan dua individu, tetapi juga sebagai
momen penting yang menguatkan kohesi sosial dan kontinuitas budaya di tengah masyarakat.
Melalui prosesi yang dilakukan sesuai dengan adat istiadat yang berlaku, masyarakat Desa
Ngadas menegaskan komitmennya terhadap pelestarian warisan leluhurnya, sambil tetap
menunjukkan fleksibilitas dan inklusivitas terhadap perubahan dan keberagaman (Waluyo,
1997).
Oleh karena itu, dukun di Tengger memiliki posisi yang sangat penting dalam struktur
kultural masyarakat, lebih signifikan daripada institusi sosial lainnya. Dukun dipandang sebagai
jembatan antara dunia spiritual yang luas dengan realitas kehidupan sehari-hari, menjalin
hubungan antara manusia dengan Hyang Wenanging Jagad (Dewa Pencipta), roh leluhur, dan
roh penjaga desa. Untuk menduduki posisi penting ini, seorang dukun harus memenuhi berbagai
syarat yang menegaskan kapasitasnya sebagai perantara spiritual masyarakat Tengger.
Keberadaan dukun yang dihormati dan menjadi contoh bagi masyarakat menunjukkan perannya
yang krusial dalam mengkonsolidasikan dan menjaga nilai-nilai komunal. Dalam konteks
masyarakat tradisional seperti Tengger, peran dukun sebagai pemimpin spiritual sering kali
dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan pemimpin administratif atau pemerintahan (Arifin,
1994; Negara, 2010).
Secara garis besar, kearifan lokal sebagai manifestasi pendidikan karakter yang ditanamkan
para sesepuh Dukun Adat terhadap pemuda pemudi Desa Adat Tengger Ngadas sering kali
termanifestasi dalam berbagai bentuk ekspresi budaya, seperti upacara adat, pepatah, ajaran
moral, semboyan, dan teks-teks kuno, yang semuanya menjadi bagian tak terpisahkan dari
praktik kehidupan sehari-hari masyarakat. Ekspresi-ekspresi ini bukan sekadar ungkapan artistik,
melainkan sarana penting yang mengandung nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup yang telah diuji
oleh waktu. Dengan demikian, kearifan lokal tidak hanya tercermin melalui ritual atau tradisi
yang diamati secara terbuka, tetapi juga dalam pola perilaku sehari-hari yang secara bertahap
telah terbentuk dan berkembang menjadi tradisi yang kaya dan beragam.
Menurut Joko Tri Haryanto (Haryanto, 2014) Proses evolusi kearifan lokal menjadi tradisi
sering kali memerlukan periode waktu yang sangat panjang, menandakan perjalanan panjang
suatu masyarakat dalam menginternalisasi dan menjaga nilai-nilai tersebut agar tetap relevan
sepanjang generasi. Kearifan lokal, dengan demikian, berfungsi sebagai jembatan antara masa
lalu dan masa kini, memberikan panduan bagi masyarakat dalam memahami dunia dan
menjalankan kehidupan mereka sesuai dengan nilai yang dihargai bersama. Melalui
pemeliharaan dan praktik kearifan lokal, masyarakat dapat mempertahankan identitasnya,
memperkuat ikatan sosial, serta menghadapi tantangan modern dengan tetap berakar pada prinsip
dan nilai yang telah teruji sepanjang waktu.
4. Kesimpulan
Ada anggapan umum bahwa komunitas yang berada di area pegunungan cenderung primitif
atau terisolasi. Namun, anggapan ini tidak tepat ketika diterapkan pada Suku Tengger. Meskipun
mereka bertempat tinggal di kawasan gunung dan memiliki rasa hormat yang mendalam
terhadap Gunung Bromo sebagai situs suci, mereka tetap menjunjung tinggi tradisi sambil
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 787-798
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
796
Faishal Hilmy Maulida (Dukun Adat sebagai Benteng Pendidikan Karakter.)
membuka diri terhadap interaksi, khususnya dengan para wisatawan yang datang ke Bromo
(Kresna, 2016).Dalam kajian Punawan D. Negara (Negara, 2010), disebutkan bahwa Dukun
Adat di masyarakat Tengger Ngadas memiliki peran yang sangat penting dan strategis. Di satu
sisi, mereka bertindak sebagai pemimpin upacara adat dan ritual Tengger, sedangkan di sisi lain,
mereka juga berperan sebagai bagian dari struktur pemerintahan desa.
Dalam konteks pelestarian lingkungan, dukun adat memiliki potensi besar untuk bertindak
sebagai agen perubahan. Mereka menyebarkan pengetahuan melalui ritual adat dan berperan
sebagai penasihat dalam pengambilan keputusan oleh kepala desa, terutama jika kebijakan
tersebut dianggap dapat merusak lingkungan atau mengganggu tradisi Tengger. Peran ganda ini
menunjukkan bahwa dukun adat tidak hanya penting dalam menjaga keberlangsungan tradisi
spiritual dan budaya, tetapi juga dalam memastikan keseimbangan dan keharmonisan dengan
lingkungan alam sekitar. Melalui praktik dan ajaran yang mereka wariskan, dukun adat menjadi
titik temu antara kearifan lokal dan kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman,
sambil memastikan bahwa intervensi dari luar, termasuk kebijakan pemerintah atau dampak dari
pariwisata, tetap selaras dengan nilai-nilai dan prinsip lingkungan serta adat istiadat Suku
Tengger. Ini membuktikan bahwa komunitas Tengger, jauh dari primitif, merupakan contoh vital
dari bagaimana tradisi dan modernitas dapat berjalan seiring dalam upaya pelestarian budaya dan
lingkungan.
Dalam konteks Desa Adat Tengger, Ngadas, hadirnya modernisasi melalui media seperti
televisi, radio, dan internet tidak sepenuhnya dilihat sebagai ancaman, berkat keberadaan dan
peran Dukun Adat yang konsisten dalam memelihara tradisi dan ritual adat yang telah
diwariskan dari generasi ke generasi. Definisi modernitas oleh Giddens (Giddens, 1991), yang
menggambarkan sebagai kecenderungan individu atau kelompok untuk mempertanyakan dan
mungkin mengurangi penghargaan terhadap kebiasaan dan tradisi yang telah lama berlangsung
demi orientasi ke dunia luar, menunjukkan sifatnya yang terbuka dan dinamis. Giddens lebih
lanjut menekankan pada tahun 2017 bahwa modernitas memiliki orientasi masa depan,
menempatkan masa depan sebagai sesuatu yang ideal yang kontrast dengan realitas saat ini.
Melalui kerangka ini, Dukun Adat di Desa Ngadas berperan vital sebagai 'filter' yang
menyeimbangkan antara nilai-nilai tradisional dengan gelombang modernisasi sekaligus sebagai
benteng pendidikan karakter bagi pemuda Desa Ngadas. Komunitas adat yang masih bertahan
telah menjadikan kearifan lokal sebagai elemen penting dalam kehidupan sehari-hari mereka,
yang juga menjadi dasar dalam menyelesaikan berbagai masalah di masyarakat (Istiawati, 2016).
Dukun Adat tidak hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai pendidik yang
meneruskan nilai, karakter, adat, dan tradisi kepada masyarakat, memungkinkan komunitas
untuk bersikap kritis dan selektif terhadap pengaruh modernitas. Menurut Ramadhan, dkk
(Ramadhan & Resmi, 2019) Pendidikan karakter yang mengutamakan nilai-nilai kearifan lokal
menjadi penting untuk membangun kualitas moral, kepribadian, dan rasa kebersamaan yang
mulai terkikis seiring dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, meskipun Desa Ngadas
menghadapi tantangan dari arus modernisasi, peran Dukun Adat menjadi fondasi kuat yang
memungkinkan masyarakat untuk menjaga identitas dan warisan budayanya.
Dalam masyarakat Suku Tengger, kepercayaan pada dukun sebagai sosok penting dalam
proses pengambilan keputusan mencerminkan hubungan sosial yang didasari oleh kepercayaan.
Dalam setiap event penting, dukun dianggap sebagai penunjuk arah yang memberikan jaminan
kebaikan, keamanan, dan keharmonisan (Nurcahyono & Astutik, 2018). Dukun Adat bertindak
sebagai pemimpin dalam aspek adat dan keagamaan di masyarakat Tengger, bertugas menjaga
nilai-nilai tradisional. Sebagai pemimpin adat, ia diberi wewenang dan otoritas oleh komunitas
berdasarkan karisma yang berasal dari kemampuannya dalam melakukan doa dan mantra untuk
kesejahteraan masyarakat Tengger. Karena peran dan keahliannya ini, Dukun Adat dianggap
sebagai figur penting kalangan masyarakat Tengger (Hidayat, 2019).
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 787-798
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
797
Faishal Hilmy Maulida (Dukun Adat sebagai Benteng Pendidikan Karakter.)
5. Daftar Pustaka
Agustapraja, H. R. (2017). Penerapan Genius Loci Pada Pemukiman Masyarakat Ngadas
Tengger Malang. Jurnal CIVILA, 2(1). https://doi.org/10.30736/cvl.v2i1.42
Arifin, E. B. (1994). Dukun dan Peranannya dalam Perubahan Sosial di Tengger, Laporan
Penelitian.
Ayu, K., Achadiat, T., David, A. K., Syukri, M. K., Purnama, A., & Paskarina, C. (2024).
Pengaruh Keberagaman terhadap Pengambilan Keputusan: Studi Kasus Pemerintah
Desa Ngadas. 6(3), 81238134.
Dyson, L., Dokter, P., Desa, B., & Bayi, D. (2016). Peran Dokter, Bidan Desa, dan Dukun Bayi
Dalam Pelayanan Kesehatan di Masyarakat Tengger. Journal.Unair.Ac.Id, 2, 237246.
https://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-bk25fdb5a9e3full.pdf
Geertz, C. (1960). The Religion Of Java. Free Press.
Giddens, A. (1991). Modernity and Self-Identity. Polity Press.
Haryanto, J. T. (2014). Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan. Analisa Journal, 21(2), 201
213.
Haryanto, J. T. (2016). Pesan Kerukunan Cerita Lisan Masyarakat Tengger Desa Ngadas
Kabupaten Malang. Smart, 2(2), 131. https://doi.org/10.18784/smart.v2i2.389
Hefner, R. W. (1999). Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. LKiS.
Hidayat, S. S. (2019). Kedudukan, Peran, dan Fungsi Dukun Pandita di Suku Tengger.
Umbara, 4(1), 44. https://doi.org/10.24198/umbara.v4i1.20543
Istiawati, N. F. (2016). Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal Adat
Ammatoa Dalam Menumbuhkan Karakter Konservasi. CENDEKIA: Journal of
Education and Teaching, 10(1), 1. https://doi.org/10.30957/cendekia.v10i1.78
Jurusan, D., Stain, D., Qaimuddin, S., Abstrak, K., Induk, D., & Karakter, P. (2010).
PENDIDIKAN KARAKTER Nurdin. 6989.
Kresna, R. (2016). Tradisi Petekan, Tes Keperawanan dari Negeri Kahyangan: Studi Etnografi
Suku Tengger di Desa Ngadas Kabupaten Malang. PT Malang Intermedia Press.
Kuntowijoyo. (2001). Pengantar Ilmu Sejarah. Bentang Budaya.
Kuntowijoyo. (2005). Metodologi Sejarah (2nd ed.). Tiara Wacana.
Muin, F. (2019). Pendidikan Karakter: Perspektif Teoritis dan Gagasan Praktis.
Negara, P. D. (2010). Kearifan Lingkungan Tengger dan Peranan dukun sebagai Faktor
Penentu Pelestarian Lingkungan Tengger Pada Desa Enclave Ngadas, Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru: Suatu Tinjauan Hukum.
Nurcahyono, O. H., & Astutik, D. (2018). Harmonisasi Masyarakat Adat Suku Tengger
(Analisis Keberadaan Modal Sosial Pada Proses Harmonisasi Pada Masyarakat Adat
Suku Tengger, Desa Tosari, Pasuruan, Jawa Timur). Diailektika Masyarakat: Jurnal
Sosiolog, 2(1), 112.
Purnama, S. (2021). Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Sebagai Penguatan
Pendidikan Karakter Berbasis Masyarakat. Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora,
12(1), 30. https://doi.org/10.26418/j-psh.v12i1.46325
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 787-798
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
798
Faishal Hilmy Maulida (Dukun Adat sebagai Benteng Pendidikan Karakter.)
Ramadhan, G. M., & Resmi, C. (2019). Analisis Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Kearifan
Local Cipta Gelar Sukabumi dalam Mengembangkan Kecerdasan Ekologis. Jurnal
Penelitian & Artikel Pendidikan, 11(2), 91102.
Ramiyati, A., Nisa, F. C., Jakti, S. S., & Kutanegara, P. M. (2022). Manifestasi Folklor Roro
Anteng: Signifikansi Peran Perempuan dalam Kehidupan Masyarakat Tengger. Jurnal
Ilmu Sosial Dan Humaniora, 11(1), 8292. https://doi.org/10.23887/jish.v11i1.39093
Romadon, M. H. E. (2004). Kepemimpinan dan Lapisan Tengger: Studi tentang Kompetensi
Kepemimpinan Tradisional dan Pemerintahan Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura,
Kabupaten Probolinggo. Universitas Airlangga.
Senetram. (2017). Wawancara dengan Sepuh Adat Senetram.
Setyabudi, M. (2022). Dynamics of Tolerance of Religion and Culture of the Tengger Ngadas
Community. Masyarakat Dan Budaya, 24(2), 187206.
https://doi.org/10.55981/jmb.1560
Sukatin, Nuraini, Sari, N., Hamidia, U., & Akhiri, K. (2022). Pendidikan Karakter Anak.
Hijaz: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 2(2), 713. https://doi.org/10.57251/hij.v2i2.783
Sukmawan, S., & Febriani, R. (2018). Perempuan-Perempuan Pemeluk Erat Adat: Studi
Etnografi Perempuan Tengger. Linguista: Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra, Dan
Pembelajarannya, 2(1), 1. https://doi.org/10.25273/linguista.v2i1.2682
Sutarto, A. (1997). Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang. Universitas
Indonesia.
Ulfah Fajarini. (2014). Peran Kearifan Lokal bagi Pendidikan Karakter. Sosiodidaktika, 1(2),
123130.
Ulum, M. B. (2016). Relevansi Falsafah Orang Tengger Tentang Kebahagiaan Terhadap Upaya
Pendidikan Karakter Bangsa. PEDAGOGIK: Jurnal Pendidikan, 4(1), 3644.
http://ejournal.unuja.ac.id/index.php/pedagogik/article/view/117%0Ahttps://ejournal.unuj
a.ac.id/index.php/pedagogik/article/viewFile/117/97
Waluyo, H. (1997). Sistem Pemerintahan Tradisional di Tengger Jawa Timur. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Widyaprakosa, S. (1994). Masyarakat Tengger Latar Belakang Daerah Taman Nasional
Bromo. Kanisius.