ketidakbahagiaan, gejala psikosomatis, harga diri rendah, dan prestasi akademik yang buruk
(Noboru et al., 2021). Semua tindakan kekerasan terhadap anak akan tercatat di alam bawah
sadarnya dan akan terbawa hingga dewasa dan berlanjut seumur hidup. Jika ini terjadi, maka
akan menjadi mata rantai dan budaya kekerasan.
Kontroversi seputar bullying telah menjadi area signifikan yang telah mendapat banyak
perhatian dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, guru, dan masyarakat, khususnya karena
potensi dampak perilaku bullying terhadap keadaan akademik, sosial, dan emosional siswa
(Suchyadi et al., 2018). Peristiwa kekerasan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan cukup
meresahkan dan memprihatinkan (Salmia et al., 2022). Di ruang kelas, bullying luput dari
perhatian. Banyak siswa gagal menyadari bahwa komentar, lelucon, dan bahasa tubuh mereka
dapat menjadi bagian dari bullying (Setiarani & Suchyadi, 2018). Situasi ini memberikan
peluang terjadinya perundungan atau bullying (Muluk et al., 2021).
Perilaku bullying paling sering terjadi di lembaga pendidikan SD/MI. Hal ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor, diantaranya faktor lingkungan yang mempengaruhi daya saing siswa
(Tambak et al., 2021). Selain itu, kondisi psikologis individu jelas berbeda, sehingga akan
memberikan efek yang berbeda pula dalam kehidupan sehari-harinya (Taufik, 2020). Kondisi
psikologis ini didasarkan pada emosi, kesadaran akan fungsi, dan motivasi. Anak usia sekolah
dasar (SD/MI) memiliki rentang usia antara 6-12 tahun dan memiliki karakteristik yang
cenderung lebih labil karena masih anak-anak dan bermain (Rahma et al., 2021).
Berdasarkan hasil wawancara bersama guru kelas IV Madrasah Ibtidaiyah Kecamatan
Parittiga, terdapat beberapa siswa yang melakukan perilaku perundungan. Umumnya
perundungan (Bullying) yang terjadi dalam bentuk verbal atau lisan dan juga dalam bentuk
fisik. Guru mengatakan dampak dari perundungan (Bullying) tersebut, korban menjadi malas
sekolah, kurang percaya diri, sering menyendiri karena merasa tidak ada orang yang ingin
berteman dengannya. Sejalan dengan studi pendahuluan hasil wawancara yang dilakukan guru
di SDN 4 Mamben Lauk, didapatkan, “bahwa masih ditemukan di kalangan siswa yang sering
murung di dalam kelas, tidak percaya diri, bahkan ada yang terkadang malas ke sekolah,
merasa takut untuk bergaul dengan teman sebayanya akibat kekerasan verbal sesama teman di
lingkungan sekolah seperti siswa sering mengejek teman sebayanya, meneriaki teman di dalam
kelas (Suteja & Ulum, 2019).
Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Intan Puspita Sari, tindakan kekerasan yang
terjadi di sekolah dasar di daerah pesisir kota Yogyakarta yaitu Srandakan. Sejak kelas satu,
siswa SD Negeri 1 Srandakan menjadi korban kasus tindakan bullying. Berawal dari saling
mengejek nama orang tua dan jenis pekerjaan orang tua, siswa-siswa ini membentuk kelompok
sendiri-sendiri, yakni kelompok siswa pem-bully dan kelompok siswa di-bully. Tindakan
saling mengejek di kelas I masih berlanjut di kelas II, III dan IV. Hasil wawancara dengan wali
dari siswa yang mengalami pem-bully-an menjelaskan telah terjadi tindakan kekerasan antar
siswa seperti palak-memalak sampai tindakan pemukulan (Sari, 2016).
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Usman menunjukkan beberapa faktor yang
dapat memengaruhi tindakan bullying, yaitu kepribadian, komunikasi peserta didik
dengan remaja, peran kelompok teman sebaya, dan iklim sekolah. Aspek-aspek tersebut
secara parsial mempunyai pengaruh signifikan terhadap tindakan bullying. Dengan
demikian, banyak sekali faktor-faktor yang dapat mendorong terjadinya tindakan
bullying. Maka dari itu, dibutuhkan sinergitas bagi setiap stakeholderagar tindakan
bullyingdi sekolah dapat diminimalisir atau bahkan dicegah, sehingga sekolah dapat
kembali menjadi tempat yang nyaman untuk tumbuh dan kembang peserta didik (Irvan,
2019).
Adanya perilaku bullying di SD/MI dapat menurunkan reputasi lembaga pendidikan
sebagai tempat siswa berusaha memahami diri dan lingkungannya. Lingkungan sekolah