Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 753-764
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
753
Silawati, Dian Hidayati ( Peran Guru dalam Implementasi Pendidikan.)
Peran Guru dalam Implementasi Pendidikan
Karakter untuk Mengatasi Masalah Bullying di
Madrasah Ibtidaiyah
Silawati
a,1
, Dian Hidayati
b,2
a
Magister Manajemen Pendidikan, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta 55161, Indonesia
1
2
*
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 29 Juli 2023
Direvisi: 28 November 2023
Disetujui: 27 Januari 2024
Tersedia Daring: 18 Maret 2024
Bullying merupakan perilaku sosial yang sering terjadi di sekolah. Bullying juga
dapat melibatkan siswa sebagai pelaku dan korban. Bullying juga memiliki beberapa
dampak negatif bagi korban dan pelaku itu sendiri. Jika bullying jenis ini terjadi,
maka diperlukan peran guru agar guru dapat mengidentifikasi dan mengatasinya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran guru dalam implementasi
pendidikan karakter untuk mengatasi bullying. Metode penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Dari penelitian ini juga
diketahui bahwa ada beberapa jenis, faktor, dan dampak atau akibat yang dirasakan
siswa akibat perilaku bullying yang dilakukan. Ketiga aspek tersebut dapat menjadi
pedoman bagi guru untuk menganalisis dan merumuskan strategi untuk
memecahkan masalah tersebut, salah satunya melalui penerapan pendidikan
karakter. Dapat dilihat bahwa peran guru dalam implementasi pendidikan karakter
terhadap siswa adalah membimbing atau memberikan nasehat dan arahan, serta
mengembangkan siswa agar dapat mengatasi situasi atau masalah terjadinya
bullying sehingga meminimalisir terjadinya bullying di sekolah. Guru berperan
penting dalam menerapkan nilai moral untuk membentuk karakter siswa, khususnya
pada siswa sekolah dasar, karena siswa pada kelompok usia ini mudah meniru
perilaku dan tindakan yang dilihatnya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya, guru
dan orang tua harus bekerja sama untuk mencapai pembentukan karakter melalui
penerapan nilai-nilai karakter.
Kata Kunci:
Bullying
Pendidikan Karakter
Peran Guru
ABSTRACT
Keywords:
Bullying
Character Education
Teacher Role
Bullying is a social behavior that often occurs in schools. Bullying can also involve
students as perpetrators and victims. Bullying also has some negative repercussions
for both the victim and the perpetrator himself. If this type of bullying occurs, then
the role of the teacher is needed so that the teacher can identify and overcome it.
The purpose of this study was to determine the role of teachers in the
implementation of character education to overcome bullying. This research method
uses qualitative research methods with a case study approach. From this study, it is
also known that there are several types, factors, and impacts or consequences felt by
students due to bullying behavior carried out. These three aspects can be a guideline
for teachers to analyze and formulate strategies to solve these problems, one of
which is through the application of character education. It can be seen that the role
of teachers in the implementation of character education for students is to guide or
provide advice and direction, as well as develop students in order to overcome
situations or problems of bullying so as to minimize the occurrence of bullying at
school. Teachers play an important role in applying moral values to shape student
character, especially in elementary school students, because students in this age
group easily imitate the behaviors and actions they see. Therefore, in its
implementation, teachers and parents must work together to achieve character
building through the application of character values.
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 753-764
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
754
Silawati, Dian Hidayati ( Peran Guru dalam Implementasi Pendidikan.)
©2024, Silawati, Dian Hidayati
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Kekerasan interpersonal mempengaruhi kehidupan jutaan anak di seluruh dunia. Hingga
50% dari semua anak usia 2 hingga 17 tahun diperkirakan telah mengalami bentuk kekerasan
(pelecehan fisik, seksual atau emosional) dalam satu tahun terakhir setara dengan 1 miliar anak
(Hillis et al., 2016). Pengalaman kekerasan, terutama pada masa kanak-kanak, dapat merusak
kesehatan fisik dan mental anak serta mempengaruhi seluruh kehidupan mereka. Fakta
Kekerasan sekolah (madarasah) terutama berasal dari teman sekelas. Ironisnya, dengan
diundangkannya undang-undang baru pada tahun 2002 Amandemen UU No. 23, kasus dan
laporan kekerasan terhadap anak terus meningkat.
Kekerasan terhadap anak meningkat dari 2011 hingga 2020, menurut Dewan Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI). Dari data yang komprehensif terlihat bahwa perbandingan kasus pada
tahun 2020 mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Bahkan dalam klaster pendidikan tahun 2020, terdapat 1.451 kasus, meningkat
cukup signifikan dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai ratusan. Hal ini membuktikan
bahwa sekolah belum menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi anak (Dewi & Sholeh, 2021).
Sekolah (madrasah) harus menjadi rumah kedua yang bahagia, aman dan sehat di mana anak-anak
dapat mencapai potensi penuh mereka. Meski begitu, bahkan sebaliknya itu bisa menjadi tempat
yang tidak aman bagi mereka dan membuat mereka merasa stress, cemas dan takut.
Gambaran kekerasan dan kejadian tidak menyenangkan saat memasuki lingkungan
sekolah (madrasah) seringkali menghantui perasaan anak. Kekerasan yang sering terjadi di
sekolah (madrasah) tak hanya meliputi aspek tindakan yang bersifat fisik, psikis atau kejahatan
seksual, bahkan bisa berbentuk bullying, saling ejek dan hukuman yang kurang mendidik untuk
anak. Terjalinnya komunikasi yang efektif antar guru dan siswa, mengenal potensi siswa untuk
berkreasi serta guru dapat menghargai sesuai kemampuan yang dimiliki oleh siswa, hal tersebut
berguna dalam menanamkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah (madrasah).
Sekolah (madrasah) memiliki tanggung jawab etis dan hukum untuk mencegah
intimidasi, memastikan keselamatan siswa dan hak asasi manusia. Hal yang bisa dilakukan
ketika menghadapi kekerasan dalam pendidikan, guru harus selalu berpikir positif dan
bertindak positif. Tidak ada jalan keluar yang baik untuk mengendalikan kekerasan dengan
kekerasan. Kepala sekolah (madrasah), guru, orang tua siswa serta komite sekolah berperan
penting dalam mengupayakan pencegahan tindak kekerasan di dunia pendidikan (SD/MI)
dimana pihak tersebut dapat bekerja sama guna memberikan solusi dalam mengatasi semua
permasalahan.
Di sekolah (madrasah) tentu saja tidak hanya ada proses belajar, tetapi juga proses
interaksi antar siswa yang masing-masing memiliki kepribadian dan sifat yang berbeda, hal
yang sering terjadi di lingkungan sekolah (madrasah) di luar pembelajaran yaitu bullying
dimana individu yang merasa dirinya kuat menindas individu yang lemah, dan bullying
semacam ini sepertinya masih sulit dipisahkan dengan lingkungan sekolah (madrasah). Secara
khusus, bullying adalah fenomena umum di banyak negara dan dikaitkan dengan peningkatan
angka bunuh diri anak (Inggris, 2017).
Seperti yang baru-baru ini viral, kasus anak sekolah dasar yang dibully oleh teman-
temannya hingga pindah ke SLB, dan adapun kasus siswa yang diikat di pohon kemudian
disiram air comberan oleh temannya. Bullying telah terbukti menyebabkan kerusakan fisik,
tekanan sosial serta emosional, hingga kematian. Anak-anak yang menjadi korban berisiko
lebih tinggi mengalami depresi, kecemasan, insomnia, rasa tidak aman, kesepian,
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, January 2024, Page: 753-764
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
755
Silawati, Dian Hidayati ( Peran Guru dalam Implementasi Pendidikan.)
ketidakbahagiaan, gejala psikosomatis, harga diri rendah, dan prestasi akademik yang buruk
(Noboru et al., 2021). Semua tindakan kekerasan terhadap anak akan tercatat di alam bawah
sadarnya dan akan terbawa hingga dewasa dan berlanjut seumur hidup. Jika ini terjadi, maka
akan menjadi mata rantai dan budaya kekerasan.
Kontroversi seputar bullying telah menjadi area signifikan yang telah mendapat banyak
perhatian dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, guru, dan masyarakat, khususnya karena
potensi dampak perilaku bullying terhadap keadaan akademik, sosial, dan emosional siswa
(Suchyadi et al., 2018). Peristiwa kekerasan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan cukup
meresahkan dan memprihatinkan (Salmia et al., 2022). Di ruang kelas, bullying luput dari
perhatian. Banyak siswa gagal menyadari bahwa komentar, lelucon, dan bahasa tubuh mereka
dapat menjadi bagian dari bullying (Setiarani & Suchyadi, 2018). Situasi ini memberikan
peluang terjadinya perundungan atau bullying (Muluk et al., 2021).
Perilaku bullying paling sering terjadi di lembaga pendidikan SD/MI. Hal ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor, diantaranya faktor lingkungan yang mempengaruhi daya saing siswa
(Tambak et al., 2021). Selain itu, kondisi psikologis individu jelas berbeda, sehingga akan
memberikan efek yang berbeda pula dalam kehidupan sehari-harinya (Taufik, 2020). Kondisi
psikologis ini didasarkan pada emosi, kesadaran akan fungsi, dan motivasi. Anak usia sekolah
dasar (SD/MI) memiliki rentang usia antara 6-12 tahun dan memiliki karakteristik yang
cenderung lebih labil karena masih anak-anak dan bermain (Rahma et al., 2021).
Berdasarkan hasil wawancara bersama guru kelas IV Madrasah Ibtidaiyah Kecamatan
Parittiga, terdapat beberapa siswa yang melakukan perilaku perundungan. Umumnya
perundungan (Bullying) yang terjadi dalam bentuk verbal atau lisan dan juga dalam bentuk
fisik. Guru mengatakan dampak dari perundungan (Bullying) tersebut, korban menjadi malas
sekolah, kurang percaya diri, sering menyendiri karena merasa tidak ada orang yang ingin
berteman dengannya. Sejalan dengan studi pendahuluan hasil wawancara yang dilakukan guru
di SDN 4 Mamben Lauk, didapatkan, “bahwa masih ditemukan di kalangan siswa yang sering
murung di dalam kelas, tidak percaya diri, bahkan ada yang terkadang malas ke sekolah,
merasa takut untuk bergaul dengan teman sebayanya akibat kekerasan verbal sesama teman di
lingkungan sekolah seperti siswa sering mengejek teman sebayanya, meneriaki teman di dalam
kelas (Suteja & Ulum, 2019).
Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Intan Puspita Sari, tindakan kekerasan yang
terjadi di sekolah dasar di daerah pesisir kota Yogyakarta yaitu Srandakan. Sejak kelas satu,
siswa SD Negeri 1 Srandakan menjadi korban kasus tindakan bullying. Berawal dari saling
mengejek nama orang tua dan jenis pekerjaan orang tua, siswa-siswa ini membentuk kelompok
sendiri-sendiri, yakni kelompok siswa pem-bully dan kelompok siswa di-bully. Tindakan
saling mengejek di kelas I masih berlanjut di kelas II, III dan IV. Hasil wawancara dengan wali
dari siswa yang mengalami pem-bully-an menjelaskan telah terjadi tindakan kekerasan antar
siswa seperti palak-memalak sampai tindakan pemukulan (Sari, 2016).
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Usman menunjukkan beberapa faktor yang
dapat memengaruhi tindakan bullying, yaitu kepribadian, komunikasi peserta didik
dengan remaja, peran kelompok teman sebaya, dan iklim sekolah. Aspek-aspek tersebut
secara parsial mempunyai pengaruh signifikan terhadap tindakan bullying. Dengan
demikian, banyak sekali faktor-faktor yang dapat mendorong terjadinya tindakan
bullying. Maka dari itu, dibutuhkan sinergitas bagi setiap stakeholderagar tindakan
bullyingdi sekolah dapat diminimalisir atau bahkan dicegah, sehingga sekolah dapat
kembali menjadi tempat yang nyaman untuk tumbuh dan kembang peserta didik (Irvan,
2019).
Adanya perilaku bullying di SD/MI dapat menurunkan reputasi lembaga pendidikan
sebagai tempat siswa berusaha memahami diri dan lingkungannya. Lingkungan sekolah