berupa fakta, konsep serta prinsip.
Menurut perspektif literasi sains, penalaran ilmiah merupakan keterampilan kognitif yang
diperlukan untuk memahami dan mengevaluasi informasi ilmiah, yang sering melibatkan
memahami dan mengevaluasi teoritis, hipotesis statistik, dan kausal. Dari sudut pandang
penelitian, penalaran ilmiah, didefinisikan secara luas, termasuk pemikiran dan penalaran
keterampilan yang terlibat dalam penyelidikan, eksperimen, evaluasi bukti, inferensi, dan
argumentasi yang mendukung pembentukan dan modifikasi konsep dan teori tentang alam dan
sosial (Lei Bao, 2009).
Menurut Karplus et. al (1977), penalaran ilmiah memiliki dua pola penalaran, yaitu pola
penalaran konkrit dan pola penalaran formal. Contoh pola penalaran konkrit diantaranya
adalah class inclusion, conservation, serial ordering, and reversibility. Sementara pola
penalaran for¬mal meliputi theoretical reasoning, combinatorial reasoning, functionality and
proportional reasoning, control variables, and probabilistic, dan correlational reasoning (N.
Shofiyah, 2013).
Dalam penelitian ini, penalaran ilmiah memformulasikan tahap perkembangan kognitif
untuk mengidentifikasi pola yang telah ada pada tahap operasi konkret dan operasi formal
(Robert Karplus, 1977). Pola penalaran yang digunakan yaitu, serial ordering reasoning
(kemampuan peserta didik dalam mengurutkan sekumpulan objek atau peristiwa), class
inclusion reasoning (kemampuan peserta didik untuk membuat klasifikasi sederhana),
correlational reasoning (keampuan peserta didik untuk menjelaskan sebab akibat suatu data
atau peristiwa), theoretical reasoning (kemampuan peserta didik untuk menerapkan konsep
atau teori untuk menginterpretasikan data dan menerapkan konsep atau teori untuk
menganalisis fenomena), dan functionality reasoning (kemampuan peserta didik untuk
menganalisis hubungan fungsional).
Chen dan klahr juga mengatakan bahwa beberapa studi penelitian menunjukkan bahwa
kemampuan penalaran ilmiah diperlukan bagi siswa untuk mampu bersaing di era global. Oleh
karena itu, kinerja siswa pada penalaran ilmiah penting untuk dikembangkan dalam pengajaran
ilmu pengetahuan dan proses belajar (A.W. Jufri, 2016). Kemampuan penalaran ilmiah juga
telah memiliki dampak jangka panjang terhadap prestasi akademik siswa (istar assessment).
Keterampilan penalaran diperlukan sebagai substansi standar kompetensi lulusan untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional (Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016). Melalui
kurikulum 2013 juga menyatakan pentingnya penalaran ilmiah bahwa salah satu keterampilan
yang harus dikuasai yaitu menalar dalam ranah konkret dan abstrak yang diatur bagi siswa
setingkat SMP dan SMA (Permendikbud Nomor 64 Tahun 2013).
Meskipun demikian, Menurut OECD dalam tes PISA 2009, keterampilan scientific
reasoning juga merupakan salah satu keterampilan yang diujikan (N. Shofiyah, 2013). Namun
Indonesia dalam tes PISA tersebut, terutama pada skala IPA, menduduki peringkat 57 dari 65
negara dan mendapatkan skor rata-rata 383 yang terbilang rendah jika dibandingkan dengan
skor rata-rata negara-negara diatasnya dan termasuk kategori dibawah rata-rata menurut
penilaian OECD (OECD). Untuk itu, kemampuan penalaran ilmiah siswa saat ini dinilai masih
rendah. Rendahnya kemampuan penalaran siswa disebabkan kurangnya guru dalam
mengaplikasikan kemampuan penalaran dalam pembelajaran di kelas (Mira, 2015). Kemudian,
penelitian dalam mengembangkan kemampuan penalaran dalam hal ilmu alam jarang
dilakukan di Indonesia (Nia, 2016).
Supaya keterampilan peserta didik diberikan lebih optimal kepada peserta didik, maka
sangat diperlukan peran guru. Semestinya guru terlebih dahulu mengetahui sejauh mana
kemampuan penalaran ilmiah peserta didik dengan mengukur kemampuan penalaran ilmiah
tersebut. Dengan demikian guru juga bisa lebih mempersiapkan strategi agar kemampuan
penalaran ilmiah lebih optimal.