1. Pendahuluan
Asas legalitas yang tercantum didalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, dalam bahasa Belanda
disalin dalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka berbunyi : “Tiada suatu perbuatan (feit)
yang dapat di pidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
mendahuluinya. Menurut Hazewinkle-Suringa, jika suatu perbuatan (feit) yang mencocoki
rumusan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan
saja hal itu tidak dapat dituntut tetapi untuk orang yang bersangkutan tidak dapat dipidana
(Hamzah, 2008).
Dalam suatu perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian
dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam perbuatan itu orang tersebut memiliki
kesalahan (Hamzah, 2008). Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk
memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Makanya
tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf
zonder schuld). Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana,
demikian fundamentalnya asas tersebut, sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua
ajaran penting dalam hukum pidana Asas praduga tak bersalah memiliki arti bahwa seseorang
yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan
bukti-bukti yang meyakinkan dan tidak ada unsur keraguan sedikitpun menyatakan dengan tegas
kesalahannya itu (Moeljatno, 2008).
Hukuman hanya dapat diberlakukan bagi orang yang telah terbukti bersalah dan
keputusan tersebut ditetapkan oleh hakim melalui proses pembuktian terlebih dahulu. Sebelum
proses pembuktian memberikan kejelasan status orang yang dituduh melakukan pelanggaran,
maka tetap berlaku prinsip praduga tak bersalah. Hal ini juga tetap berlaku pada pelaku yang
telah terbukti tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana (Hamzah, 2008). Masalah
perbuatan main hakim sendiri (Eigenrichting) membuat keliru satu bentuk pandangan
masyarakat lantaran adanya kesalahan norma berlaku di masyarakat. Menurut Sudikno
Mertokusumo, tindakan main hakim sendiri adalah tindakan untuk melaksanakan hak menurut
kehendaknya sendiri yang yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan dari pihak lain
yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian(Mertokusumo, 2010). Main hakim
sendiri dalam kamus bahasa Indonesia adalah menghakimi orang lain tanpa memperdulikan
hukum yang ada (biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan, pembakaran, dan lain
sebagaimana). Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Terminologi hukum pidana, menyatakan
bahwa main hakim sendiri (eigenrichting) adalah perbuatan melakukan sewenang-wenang
terhadap seseorang (pelaku delik) tanpa melalui prosedur hukum, misalnya, penganiayaan
pelaku pencurian yang tertangkap tangan oleh warga (massa), pembakaran rumah-rumah
penganut Ahmidiyah dan sebagainya.
Kemudian dalam bahasa internasional istilah dari tindakan main hakim sendiri ini disebut
dengan Street Justice yang bermakna “keadilan jalanan”. Keadilan jalanan dimaknai sebagai
tindakan kekerasan yang cenderung berupa pelaku kolektif (massa) yang melakukan praktek
main hakim sendiri kepada pelaku kejahatan yang tertangkap tangan (Welly, 2015). Menurut
kajian hukum pidana internasional street justice dilakukan oleh sekelompok masyarakat tertentu
dengan beralasan bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan tindakan untuk membuat
para kriminal menjadi jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Di dalam KUHP secara