Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 373-383
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
373
La Ode Awal Sakti et.al (Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku ....)
Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku main
hakim sendiri (Eigenrichting) putusan nomor:
194/Pid.B/2022/PN Unaha
La Ode Awal Sakti
a,1
, Yeni Haerani
b,2
, Yahyanto
c,3
, Ade Caesar Premadani Adam
d,4
abcd
Fakultas Hukum, Universitas Sembilanbelas November Kaloka, Sulawesi Tenggara, Indonesia
1
awalsakti122@gmail.com;
2
3
4
adecaesarpre[email protected]
*
Email: awalsakti122@gmail.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 17 Maret 2023
Direvisi: 7 Juli 2023
Disetujui: 23 Oktober 2023
Tersedia Daring: 1 Januari
Main hakim sendiri (eigenrichting) adalah tindakan untuk menghukum
orang lain tanpa melalui proses hukum yang berlaku. Tindakan ini dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana, karena bertentangan dengan
ketentuan Pasal 1 KUHP yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang
melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui konsep tindak pidana main hakim sendiri
(eigenrichting) menurut hukum pidana positif di Indonesia juga untuk
mengetahui dan memahami bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku main hakim sendiri (eigenrichting). Penelitian ini menggunakan
metode penelitian hukum normatif-empiris. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa konsep tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting) menurut
hukum pidana positif di Indonesia yang telah diterapkan oleh Jaksa
Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Konawe adalah Pasal 170 KUHP
Tentang Pengeroyokan, Pasal 338 KUHP Tentang Pembunuhan, dan Pasal
351 KUHP Tentang Penganiayaan. Pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku main hakim sendiri (eigenrichting) dalam Putusan Nomor:
194/Pid.B/2022/PN, para pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya
berdasarkan kedudukannya dan bentuk perbuatannya. Majelis Hakim
menerapkan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP yang mengatur kedudukan pelaku
dalam penyertaan tindak pidana yang dinyatakan sebagai pleger (pelaku)
oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Unaha.
Kata Kunci:
Pertanggung jawaban
Pidana
Main Hakim Sendiri
Keywords:
Liability
Criminal
Eigenrichting
Vigilantism (eigenrichting) is the act of punishing another person without
going through the applicable legal process. This action can be categorised as a
criminal offence, because it is contrary to the provisions of Article 1 of the
Criminal Code which states that every person is prohibited from committing
acts prohibited by law. The purpose of this study is to determine the concept of
the criminal offence of vigilantism (eigenrichting) according to positive
criminal law in Indonesia as well as to know and understand the form of
criminal liability for the perpetrators of vigilantism (eigenrichting). This
research uses normative-empirical legal research methods. The results showed
that the concept of vigilantism (eigenrichting) according to positive criminal
law in Indonesia that has been applied by the Public Prosecutor at the Konawe
District Prosecutor's Office is Article 170 of the Criminal Code on Robbery,
Article 338 of the Criminal Code on Murder, and Article 351 of the Criminal
Code on Maltreatment. Criminal responsibility for the perpetrators of
vigilantism (eigenrichting) in Decision Number: 194/Pid.B/2022/PN, the
perpetrators are responsible for their actions based on their position and the
form of their actions. The Panel of Judges applied Article 55 Paragraph (1) to 1
of the Criminal Code which regulates the position of the perpetrator in the
participation of a criminal offence declared as a pleger (perpetrator) by the
Panel of Judges of the Unaha District Court.
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 373-383
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
374
La Ode Awal Sakti et.al (Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku ....)
©2024, La Ode Awal Sakti, Yeni Haerani, Yahyanto, Ade Caesar Premadani Adam
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Asas legalitas yang tercantum didalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, dalam bahasa Belanda
disalin dalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka berbunyi : Tiada suatu perbuatan (feit)
yang dapat di pidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
mendahuluinya. Menurut Hazewinkle-Suringa, jika suatu perbuatan (feit) yang mencocoki
rumusan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan
saja hal itu tidak dapat dituntut tetapi untuk orang yang bersangkutan tidak dapat dipidana
(Hamzah, 2008).
Dalam suatu perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian
dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam perbuatan itu orang tersebut memiliki
kesalahan (Hamzah, 2008). Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk
memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Makanya
tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf
zonder schuld). Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana,
demikian fundamentalnya asas tersebut, sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua
ajaran penting dalam hukum pidana Asas praduga tak bersalah memiliki arti bahwa seseorang
yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan
bukti-bukti yang meyakinkan dan tidak ada unsur keraguan sedikitpun menyatakan dengan tegas
kesalahannya itu (Moeljatno, 2008).
Hukuman hanya dapat diberlakukan bagi orang yang telah terbukti bersalah dan
keputusan tersebut ditetapkan oleh hakim melalui proses pembuktian terlebih dahulu. Sebelum
proses pembuktian memberikan kejelasan status orang yang dituduh melakukan pelanggaran,
maka tetap berlaku prinsip praduga tak bersalah. Hal ini juga tetap berlaku pada pelaku yang
telah terbukti tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana (Hamzah, 2008). Masalah
perbuatan main hakim sendiri (Eigenrichting) membuat keliru satu bentuk pandangan
masyarakat lantaran adanya kesalahan norma berlaku di masyarakat. Menurut Sudikno
Mertokusumo, tindakan main hakim sendiri adalah tindakan untuk melaksanakan hak menurut
kehendaknya sendiri yang yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan dari pihak lain
yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian(Mertokusumo, 2010). Main hakim
sendiri dalam kamus bahasa Indonesia adalah menghakimi orang lain tanpa memperdulikan
hukum yang ada (biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan, pembakaran, dan lain
sebagaimana). Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Terminologi hukum pidana, menyatakan
bahwa main hakim sendiri (eigenrichting) adalah perbuatan melakukan sewenang-wenang
terhadap seseorang (pelaku delik) tanpa melalui prosedur hukum, misalnya, penganiayaan
pelaku pencurian yang tertangkap tangan oleh warga (massa), pembakaran rumah-rumah
penganut Ahmidiyah dan sebagainya.
Kemudian dalam bahasa internasional istilah dari tindakan main hakim sendiri ini disebut
dengan Street Justice yang bermakna “keadilan jalanan”. Keadilan jalanan dimaknai sebagai
tindakan kekerasan yang cenderung berupa pelaku kolektif (massa) yang melakukan praktek
main hakim sendiri kepada pelaku kejahatan yang tertangkap tangan (Welly, 2015). Menurut
kajian hukum pidana internasional street justice dilakukan oleh sekelompok masyarakat tertentu
dengan beralasan bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan tindakan untuk membuat
para kriminal menjadi jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Di dalam KUHP secara
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 373-383
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
375
La Ode Awal Sakti et.al (Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku ....)
formal tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan perbuatan main