Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 373-383
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
373
La Ode Awal Sakti et.al (Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku ....)
Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku main
hakim sendiri (Eigenrichting) putusan nomor:
194/Pid.B/2022/PN Unaha
La Ode Awal Sakti
a,1
, Yeni Haerani
b,2
, Yahyanto
c,3
, Ade Caesar Premadani Adam
d,4
abcd
Fakultas Hukum, Universitas Sembilanbelas November Kaloka, Sulawesi Tenggara, Indonesia
1
awalsakti122@gmail.com;
2
3
4
adecaesarpre[email protected]
*
Email: awalsakti122@gmail.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 17 Maret 2023
Direvisi: 7 Juli 2023
Disetujui: 23 Oktober 2023
Tersedia Daring: 1 Januari
Main hakim sendiri (eigenrichting) adalah tindakan untuk menghukum
orang lain tanpa melalui proses hukum yang berlaku. Tindakan ini dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana, karena bertentangan dengan
ketentuan Pasal 1 KUHP yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang
melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui konsep tindak pidana main hakim sendiri
(eigenrichting) menurut hukum pidana positif di Indonesia juga untuk
mengetahui dan memahami bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku main hakim sendiri (eigenrichting). Penelitian ini menggunakan
metode penelitian hukum normatif-empiris. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa konsep tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting) menurut
hukum pidana positif di Indonesia yang telah diterapkan oleh Jaksa
Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Konawe adalah Pasal 170 KUHP
Tentang Pengeroyokan, Pasal 338 KUHP Tentang Pembunuhan, dan Pasal
351 KUHP Tentang Penganiayaan. Pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku main hakim sendiri (eigenrichting) dalam Putusan Nomor:
194/Pid.B/2022/PN, para pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya
berdasarkan kedudukannya dan bentuk perbuatannya. Majelis Hakim
menerapkan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP yang mengatur kedudukan pelaku
dalam penyertaan tindak pidana yang dinyatakan sebagai pleger (pelaku)
oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Unaha.
Kata Kunci:
Pertanggung jawaban
Pidana
Main Hakim Sendiri
Keywords:
Liability
Criminal
Eigenrichting
Vigilantism (eigenrichting) is the act of punishing another person without
going through the applicable legal process. This action can be categorised as a
criminal offence, because it is contrary to the provisions of Article 1 of the
Criminal Code which states that every person is prohibited from committing
acts prohibited by law. The purpose of this study is to determine the concept of
the criminal offence of vigilantism (eigenrichting) according to positive
criminal law in Indonesia as well as to know and understand the form of
criminal liability for the perpetrators of vigilantism (eigenrichting). This
research uses normative-empirical legal research methods. The results showed
that the concept of vigilantism (eigenrichting) according to positive criminal
law in Indonesia that has been applied by the Public Prosecutor at the Konawe
District Prosecutor's Office is Article 170 of the Criminal Code on Robbery,
Article 338 of the Criminal Code on Murder, and Article 351 of the Criminal
Code on Maltreatment. Criminal responsibility for the perpetrators of
vigilantism (eigenrichting) in Decision Number: 194/Pid.B/2022/PN, the
perpetrators are responsible for their actions based on their position and the
form of their actions. The Panel of Judges applied Article 55 Paragraph (1) to 1
of the Criminal Code which regulates the position of the perpetrator in the
participation of a criminal offence declared as a pleger (perpetrator) by the
Panel of Judges of the Unaha District Court.
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 373-383
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
374
La Ode Awal Sakti et.al (Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku ....)
©2024, La Ode Awal Sakti, Yeni Haerani, Yahyanto, Ade Caesar Premadani Adam
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Asas legalitas yang tercantum didalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, dalam bahasa Belanda
disalin dalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka berbunyi : Tiada suatu perbuatan (feit)
yang dapat di pidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
mendahuluinya. Menurut Hazewinkle-Suringa, jika suatu perbuatan (feit) yang mencocoki
rumusan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan
saja hal itu tidak dapat dituntut tetapi untuk orang yang bersangkutan tidak dapat dipidana
(Hamzah, 2008).
Dalam suatu perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian
dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam perbuatan itu orang tersebut memiliki
kesalahan (Hamzah, 2008). Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk
memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Makanya
tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf
zonder schuld). Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana,
demikian fundamentalnya asas tersebut, sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua
ajaran penting dalam hukum pidana Asas praduga tak bersalah memiliki arti bahwa seseorang
yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan
bukti-bukti yang meyakinkan dan tidak ada unsur keraguan sedikitpun menyatakan dengan tegas
kesalahannya itu (Moeljatno, 2008).
Hukuman hanya dapat diberlakukan bagi orang yang telah terbukti bersalah dan
keputusan tersebut ditetapkan oleh hakim melalui proses pembuktian terlebih dahulu. Sebelum
proses pembuktian memberikan kejelasan status orang yang dituduh melakukan pelanggaran,
maka tetap berlaku prinsip praduga tak bersalah. Hal ini juga tetap berlaku pada pelaku yang
telah terbukti tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana (Hamzah, 2008). Masalah
perbuatan main hakim sendiri (Eigenrichting) membuat keliru satu bentuk pandangan
masyarakat lantaran adanya kesalahan norma berlaku di masyarakat. Menurut Sudikno
Mertokusumo, tindakan main hakim sendiri adalah tindakan untuk melaksanakan hak menurut
kehendaknya sendiri yang yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan dari pihak lain
yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian(Mertokusumo, 2010). Main hakim
sendiri dalam kamus bahasa Indonesia adalah menghakimi orang lain tanpa memperdulikan
hukum yang ada (biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan, pembakaran, dan lain
sebagaimana). Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Terminologi hukum pidana, menyatakan
bahwa main hakim sendiri (eigenrichting) adalah perbuatan melakukan sewenang-wenang
terhadap seseorang (pelaku delik) tanpa melalui prosedur hukum, misalnya, penganiayaan
pelaku pencurian yang tertangkap tangan oleh warga (massa), pembakaran rumah-rumah
penganut Ahmidiyah dan sebagainya.
Kemudian dalam bahasa internasional istilah dari tindakan main hakim sendiri ini disebut
dengan Street Justice yang bermakna “keadilan jalanan”. Keadilan jalanan dimaknai sebagai
tindakan kekerasan yang cenderung berupa pelaku kolektif (massa) yang melakukan praktek
main hakim sendiri kepada pelaku kejahatan yang tertangkap tangan (Welly, 2015). Menurut
kajian hukum pidana internasional street justice dilakukan oleh sekelompok masyarakat tertentu
dengan beralasan bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan tindakan untuk membuat
para kriminal menjadi jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Di dalam KUHP secara
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 373-383
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
375
La Ode Awal Sakti et.al (Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku ....)
formal tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan perbuatan main hakim sendiri dan tidak
dikhususkan perbuatanya sehingga perbuatan main hakim sendiri dapat disesuaikan dengan
aturan-aturan yang delik dan akibatnya sesuai dengan perbuatan main hakim sendiri. Adapun
perbuatan main hakim sendiri dapat kita lihat dalam hukum materil atau KUHP sebagai berikut:
a. Pasal 170 KUHP yang berbunyi: (1) Barangsiapa dengan terang-terangan dan dengan
tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(1) Yang bersalah diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan
barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;
2. Dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka
berat:
3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan
kematian.
b. Pasal 351 KUHP yang berbunyi: (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun penjara delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan kematian, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan dimaksud sengaja merusak
kesehatan”.
c) Pasal 354 KUHP yang berbunyi: (1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain,
diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan
tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun.”
d) Pasal 338 KUHP yang berbunyi : Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa oranglain,
diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
e) Pasal 55 KUHP ayat (1) yang berbunyi: Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat
untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan
itu bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”.
Menurut Andi Hamzah kekerasan yang dilakukan dimuka umum (kejahatan terhadap
ketertiban umum) yaitu ditempat orang banyak dapat melihat kekerasan tersebut. Dalam hal ini
pelaku yang melakukan tindakan kekerasan dapat dilihat oleh orang lain dan tidak tertutup
(Hamzah, 2009). Pasal 351 KUHP merupakan tindakan pidana terhadap tubuh yang dilakukan
dengan sengaja dan berdasarkan rumusan pasalnya terlihat bahwa rumusan tidak memberikan
kejelasan tentang perbuatan seperti apa yang dimaksudkannya. Unsur yang terdapat di dalam
Pasal 351 KUHP sebagai berikut:
a. Adanya kesenjangan.
b. Adanya perbuatan.
c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh atau luka pada tubuh
d. Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya.
Kesenjangan dalam hal tindakan main hakim sendiri berupa kehendak masa untuk
melumpuhkan pelaku tindak pidana serta diikuti dengan perbuatan yang akan mereka lakukan
seperti, pemukulan, tampar dan sebagainya untuk menghentikan perbuatan/tindakan lain yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Dalam hal ini menimbulkan akibat berupa luka pada
pelaku tindak baik itu luka ringan maupun luka berat hingga menyebabkan kematian. Dan satu-
satunya alasan masa melakukan hal tersebut (menyerang atau melumpuhkan dengan kekerasan)
agar pelaku tidak melarikan diri atau masa tidak dapat mengontrol emosi tersebab perbuatan
tersebut sehingga terjadi main hakim sendiri.
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 373-383
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
376
La Ode Awal Sakti et.al (Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku ....)
Meskipun perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) jelas tidak dibenarkan di
Indonesia karena bertentang dengan Undang-Undang dan norma yang berlaku, peristiwa ini
kerap terjadi di lingkungan masyarakat. Salah satu peristiwa main hakim sendiri
(eigenrichting) yang terjadi di Kota Unaaha, Kab. Konawe, Sulawesi Tenggara sudah terjadi
bahkan hingga tiga kali, dua diantaranya menyebabkan kematian. Baru-baru ini tepatnya pada
bulan agustus 2022, kejadian berawal ketika Taswin dan kawan-kawannya sedang menjaga
sapi milik mereka di area perkebunan kelapa sawit yang mereka duga telah di ikat dan hendak
dicuri. Kemudian pada pukul 21.00 WITA datanglah seunit mobil pick up masuk ke area
perkebunan, kemudian Taswin dan kawan-kawan bersembunyi di semak-semak yang jaraknya
kurang-lebih 50 M sambil mengawasi pergerakan orang yang mengendarai pick up tersebut.
Beberapa saat kemudian tiga orang turun dari pick up, dua diantaranya mengambil sapi
sedangkan Taswin berteriak bahwa yang mereka lihat itu adalah pencurinya. Ketiga orang ini
kemudian melarikan diri kecuali Randi Kristian yang tertangkap. Saat korban tertangkap
Taswin dan kawan-kawannya pun memukuli korban dan menanyakan siapa kawan korban
dalam melakukan aksi tersebut. Setelah dipukuli, Taswin kemudian mengikat korban dengan
berjalan kaki mereka keluar dari perkebunan lalu naik ke mobil APV menuju perkampungan
warga, namun dalam perjalanan korban kemudian diturunkan paksa oleh warga dan mendapat
pukulan lagi.
Akibat perbuatan pelaku, korban yakni Randi Kristian akhirnya meninggal dunia di ruang
ICU. Berdasarkan surat keterangan sebab kematian Nomor RM : 05/67/00 tanggal 20 agustus
2022 yang dikeluarkan oleh Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Konawe
yang ditanda tangani oleh dr. Roni Akbar, Sp,An. Penyebab kematian dikarenakan gagal nafas,
cedera kepala berat dengan adanya indikasi ada pendarahan di otak karena didapatkan jejas,
bengkak akibat hantaman benda tumpul dan adanya trauma thoraks serta keterangan kematian
Nomor : 475/77/2022 tanggal 16 september 2022, yang dikeluarkan oleh Kelurahan Sendang
Mulya Sari dan ditandatangani oleh Sulpian Susanti, S. Sos. Berdasarkan penyelidikan dan
penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Resor Konawe, telah ditetapkan 12 orang
sebagai tersangka pelaku perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) yang mengakibatkan
matinya seseorang.
Dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa tindakan masyarakat yang melakukan tindakan
main hakim sendiri (eigenrichting) sampai menghilangkang nyawa orang lain tentu sudah
diluar batas sewajarnya. Tindakan tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 28 A Undang-
Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya” (Undang-Undang Dasar, 1945). Kemudian juga
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 4 yang berbunyi:
“Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-
hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Pasal 33
Undang-Undang tersebut yang berbunyi, ayat (1) “Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan dan penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaannya”. Ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bebas dari
penghilangan paksa dan penghilangan nyawa”(Pemerintah Republik Indonesia, 1999).
Pelaku main hakim sendiri (eigenrichting) dapat dikenakan hukuman yang terdapat
dalam KUHP Pasal 170 KUHP Tentan Kekerasan terhadap orang atau barang, Pasal 351
KUHP Tentang Penganiayaan, Pasal 338 KUHP Tentang Pembunuhan dan Pasal 55 KUHP
Tentang Keikutsertaan (Delik Penyertaan). Perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting)
meskipun belum diatur secara ekspresif didalam KUHP Indonesia, namun untuk menjerat
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 373-383
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
377
La Ode Awal Sakti et.al (Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku ....)
pelaku perbuatan tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting), maka dapat menggunakan
Pasal-Pasal tersebut dengan menilai rumusan delik yang menjadi akibat perbuatan tersebut.
Apabila beberapa orang bersama-sama melakukan tindak pidana maka perbuatannya
disebut keikutsertaan dalam tindak pidana atau delik penyertaan (Deelneming). Turut seta
melakukan tindak pidana dengan nyata lebih dari 1 orang. Dalam kasus ini, pelaku melakukan
tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting) pada 3 tempat kejadian perkara (TKP) yang
berbeda. Dengan perkiraan massa sekitar 50 orang, namun kemudian hanya ada 12 orang yang
dijadikan tersangka oleh pihak penyidik Kepolisian Resor Konawe yang diproses hingga ke
Pengadilan Negeri Unaha, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Upaya penanggulangan tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting) harus
diupayakan dengan sungguh-sungguh, mengingat kejadian ini merupakan pengulangan untuk
ketiga kalinya hingga mengakibatkan 2 orang meninggal dunia. Tindakan main hakim sendiri
(eigenrichting) juga dianggap sebagai kecerobohan masyarakat dalam menghadapi suatu tindak
pidana yang terjadi. Apabila hanya sekedar memberikan efek jera kepada pelaku, sedangkan
sudah ada aparat penegak hukum yang bertugas menindaklanjuti hal tersebut dan bertugas
menegakkan keadilan. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
di Pengadilan Negeri Unaaha tentang “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku
Eigenrichting” Putusan Nomor : 194/Pid.B/2022/PN Unh.
2. Metode
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah dengan cara
penelitian hukum normatif-empiris yakni implementasi ketentuan hukum normatif (undang-
undang) dan aksinya disetiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.
Teknik memperoleh data melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara
mengumpulkan data dan bahan dari buku-buku, jurnal, artikel ilmiah dan berbagai literatur
yang berhubungan dengan penelitian (Marzuki, 2019) Sedangkan studi lapangan adalah
mengumpulkan data dengan mengadakan penelitian langsung pada tempat atau objek
penelitian melalui wawancara dan pengamatan langsung observasi.
3. Hasil dan Pembahasan
Konsep Tindak Pidana Main Hakim Sendiri (Eigenrich ting) Menurut Hukum Pidana
Positif Di Indonesia
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 4 yang
berbunyi :(Pemerintah Republik Indonesia, 1999) hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak-hak manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun”. Kemudian dalam Pasal 33 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi :
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam,
tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”. Apabila Pasal 4 dan
Pasal 33 ayat (1) kita maknai bahwa perbuatan main hakim sendiri merupakan suatu tindakan
yang bersifat melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia.
Perbuatan main hakim sendiri belum diatur secara khusus dalam KUHP di Indonesia,
namun perbuatan main hakim sendiri tidak dibenarkan di negara Indonesia. Berdasarkan hal
tersebut, maka untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pelaku dapat digunakan beberapa
Pasal dalam KUHP sesuai dengan rumusan delik yang menjadi akibat dari bentuk perbuatan
pelaku, adalah sebagai berikut :
Pasal 351 KUHP Tentang Penganiayaan, yang berbunyi:
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 373-383
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
378
La Ode Awal Sakti et.al (Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku ....)
1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan penjara paling lama tujuh tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5. Percobaan untuk melaksanakan kejahatan senagja merusak kesehatan.
Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan “penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan
perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea (4) empat Pasal ini,
masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang” (Zilvia
& Haryadi, 2020) Menurut R. Soesilo, tindakan-tindakan di atas, harus dilakukan dengan
sengaja dan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan (Zilvia &
Haryadi, 2020) Berdasarkan uraian diatas, maka unsur-unsur dari Pasal 351 KUHP adalah
sebagai berikut :
1. Objek pelaku adalah manusia;
2. Adanya rasa sakit yang diakibatkan.
3. Adanya luka yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut, kemudian diklasifikasikan menjadi
luka ringan dan luka berat.
4. Perbuatan tersebut dapat mengakibatkan kematian bagi korban, diluar kehendak pelaku.
Pasal 170 KUHP mengatur tentang sanksi hukum bagi para pelaku kekerasan terhadap
orang atau barang di muka umum. Kalau boleh dikatakan pasal ini adalah gabungan Pasal 351
KUHP tentang penganiayaan dan Pasal 55 KUHP tentang turut serta melakukan suatu
perbuatan. Pasal 170 KUHP berbunyi :
1. Barangsiapa yang dimuka umum besama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau
barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.
2. Tersalah dihukum:
a. Dengan penjara selamalamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan
barang atau jika kekerasan yang dilakukan itu menyebabkan sesuatu luka;
b. Dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan
luka berat pada tubuh;
c. Dengan penjara selamalamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan
matinya orang.
3. Pasal 89 tidak berlaku.
Perlu diuraikan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal ini sebagai berikut:(Kristanto, 2017)
a. Yang dilarang dalam pasal ini ialah: “melakukan kekerasan”. Penjelasan tentang
“kekerasan” terdapat pada Pasal 89. Kekerasan yang dilakukan ini biasanya terdiri dari
“merusak barang” atau “penganiayaan”, akan tetapi dapat pula kurang dari pada itu;
b. Kekerasan itu harus dilakukan “bersama-sama” artinya oleh sedikit-dikitnya “dua orang”
atau “lebih”. Orang yang hanya mengikuti dan tidak benar-benar turut melakukan
kekerasan, tidak dapat turut dikenakan pasal ini;
c. Kekerasan itu harus ditujukan kepada “orang” atau “barang”. Hewan atau binatang
masuk pula dalam pengertian barang. Pasal ini tidak membatasi, bahwa orang (badan)
atau barang itu harus, kepunyaan “orang lain”, sehingga milik sendiri masuk pula dalam
pasal ini. Meskipun tidak akan terjadi orang melakukan kekerasan terhadap diri atau
barangnya sendiri sebagai tujuan, kalau sebagai alat atau daya upaya untuk mencapai
suatu hal, mungkin bisa juga terjadi.
d. Kekerasan itu harus dilakukan “dimuka umum”, karena kejahatan ini memang
dimasukkan kedalam golongan kejahatan ketertiban umum. “Dimuka umum” artinya
ditempat publik dapat melihatnya.
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 373-383
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
379
La Ode Awal Sakti et.al (Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku ....)
Penggunaan pasal ini tidaklah sama dengan penggunaan Pasal 351 KUHP,
dikarenakan dalam pasal ini pelaku adalah lebih dari satu, sedangkan dalam Pasal 351
KUHP, pelaku adalah satu orang, ataupun dapat lebih dari satu orang dengan catatan
dilakukan tidak dalam waktu yang bersamaan. Seseorang dapat saja mendapat perlakuan
kekerasan dari dua orang atau lebih tetapi para pelaku tidak melakukannya bersama-sama
atau tidak sepakat dan sepaham untuk melakukan kekerasan itu, maka hal ini sudah
memasuki ranah Pasal 351 KUHP. Kekerasan yang dilakukan sesuai Pasal 170 KUHP
sudahlah tentu dilakukan oleh para pelaku dalam waktu yang bersamaan ataupun dalam
waktu yang berdekatan dengan syarat ada kesepakatan dan kesepahaman untuk berbuat
tindakan kekerasan tersebut terhadap orang atau barang.
Perbedaan yang paling mendasar Pasal 170 KUHP dengan Pasal 351 KUHP adalah
dilakukannya tindakan itu di hadapan orang banyak atau di ruang publik terbuka,
sedangkan pada Pasal 351 hal ini tidak dibedakan, apakah dilakukan di ruang tertutup
untuk umum ataupun di ruang publik terbuka (Kristanto, 2017). Berbicara mengenai luka
berat, Pasal 90 KUHP memberikan defenisi luka berat sebagai berikut :
Yang dikatakan luka berat pada tubuh yaitu : penyakit atau luka, yang tak boleh
diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya
maut; terus-menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan; tidak lagi
memakai salah satu panca indera; kudung (kerompong); lumpuh; berubah pikiran (akal)
lebih dari empat minggu lamanya; menggugurkan atau membunuh anak dari kandungan
ibu. Dari defenisi yang diberikan Pasal 90 KUHP di atas (Kristanto, 2017). dapat
diterangkan bahwa :
a. Luka yang dapat sembuh kembali dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya
maut (tentunya dengan referensi pihak yang profesional dan diakui, seperti dokter
misalnya) itu bukanlah luka berat.
b. Luka berat bukan harus selalu berarti luka yang besar. Keadaan yang ditimbulkan,
walau sebesar apapun itu, selama sudah membuat proses suatu kegiatan/pekerjaan yang
seharusnya dilakukan dengan baik, terhambat secara terus-menerus atau dengan kata
lain tidak cakap melakukan pekerjaannya, itu juga termasuk luka berat.
c. Luka berat juga dapat berupa tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu panca indera.
Panca indera itu berupa penglihatan, penciuman, pendengaran, rasa lidah dan rasa kulit.
d. Lumpuh (verlamming) artinya tidak dapat menggerakkan anggota badannya
dikategorikan juga sebagai luka berat.
e. Luka berat tidak harus selalu terlihat dari luar saja. Berobah pikiran dapat juga
dikategorikan luka berat ketika hal itu lebih dari 4 (empat minggu). Pikiran terganggu,
kacau, tidak dapat memikir lagi dengan normal, semua itu lamanya harus lebih dari
empat minggu, jika kurang, tidak termasuk pengertian luka berat.
f. Tindakan menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu akan
mengakibatkan suatu keadaan yang dapat dikategorikan luka berat pada ibu yang
mengandung tersebut.
g. Pengertian mengenai luka berat yang tidak disebutkan dalam Pasal 90 dapat diterima
sebagai suatu keadaan yang disebut luka berat sesuai pertimbangan hakim dengan
terlebih dahulu mendengarkan keterangan saksi atau dokter yang biasa kita sebut visum
et repertum.
Pasal 338 KUHP Tentang Kejahatan Terhadap Nyawa yang berbunyi “Barangsiapa
dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun”(Presiden Republik Indonesia, 2023).
Berdasarkan uraian Pasal 338 KUHP diatas, unsur-unsur dalam Pasal tersebut adalah
sebagai berikut:
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 373-383
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
380
La Ode Awal Sakti et.al (Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku ....)
1. Adanya kesengajaan untuk melakukan perbuatan. Seorang pelaku harus benar-benar
dengan sengaja (dolus) hendak menghilangkan nyawa orang lain, dan bukan suatu
kelalaian (culpa).
2. Objek perbuatan pelaku adalah manusia.
3. Perbuatan tersebut harus menyebabkan mati atau hilangnya nyawa seseorang, agar
memenuhi Pasal 338 KUHP tersebut. Karena jika tidak, maka perbuatan tersebut tidak
sesuai dengan kandungan unsur Pasal 338 KUHP dan dikenakan Pasal 340 KUHP
Tentang Pembunuhan Berencana jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP Tentang Percobaan.
Demikian sanksi yang dapat dibebankan kepada pelaku perbuatan main hakim sendiri.
Perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) yang terjadi di Kel. Andabia, Kec.
Anggaberi, Kab. Konawe, tepatnya di Kota Unaaha yang mengakibatkan seseorang
meninggal dunia, penerapan hukum yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam
tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting) bagi para pelaku agar
mempertanggungjawabkan perbuatannya didakwakan dengan beberapa Pasal dalam
KUHP menggunakan dakwaan alternatif, dakwaan pertama yakni Pasal 338 KUHP Jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dakwaan kedua Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP, dakwaan
ketiga Pasal 351 ayat (3) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dakwaan keempat Pasal 170
ayat (2) ke-2 KUHP, dakwaan kelima Pasal Pasal 170 ayat (1) KUHP, dakwaan keenam
Pasal 351 ayat (2) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dakwaan ketujuh Pasal 351
ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Berdasarkan proses persidangan yang berlangsung dengan memperhatikan fakta-
fakta hukum, ketujuh dakwaan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap
keenam pelaku khususnya dalam Putusan Nomor 194/Pid.B/2022/PN Unh, yang terbukti
secara sah dan meyakinkan Majelis hakim adalah dakwaan ketiga Jaksa Penuntut Umum
yakni pelaku dijerat dengan Pasal 351 ayat (3) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Unsur-
Unsur Pasal sebagai berikut :
1. Unsur Barang siapa, yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah siapa saja selaku
subyek hukum baik perseorangan maumpun badan hukum dengan alat bukti permulaan
yang cukup patut diduga melakukan suatu tindak pidana yang dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya menurut hukum. Majelis Hakim berkesimpulan
bahwa bahwa pada diri terdakwa tidak ada kelainan psikis, selanjutnya para
terdakwatermasuk orang yang sehat akalnya. Untu itu Majelis Hakim menilai bahwa
para terdakwa termasuk yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya dan
tidaklah terjadi error in persona dalam perkara ini (Direktori Putusan Mahkamah
Agung, 2022).
1. Unsur Melakukan Penganiayaan, untuk menyebut seseorang telah melakukan
penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus mempunyai kesengajaan
untuk menimbulkan rasa sakit pada orang lain, menimbulkan luka pada tubuh orang
lain, dan merugikan orang lain. Berdasarkan fakta-fakta hukum, Majelis Hakim
berpendapat bahwa para terdakwa menyadari atau sepatutnya menyadari serta
mengetahui akibat dari perbuatannya dalam melakukan penganiayaan yang dilakukan
para terdakwa adalah untuk menimbulkan rasa sakit pada orang lain dan merugikan
kesehatan orang lain (Direktori Putusan Mahkamah Agung, 2022).
2. Unsur Mengakibatkan Mati, berdasrakan Surat Keterangan Sebab Kematian tanggal 20
Agustus 2022 yang ditandatangani oleh dr. Romi Akbar, Sp. An, KIC, yang
menyatakan keadaan yang langsung menyebabkan kematian adalah gagal nafas, dan
penyakit yang menjadi timbulnya kematian yaitu cedera kepala berat, pendarahan di
otak akibat hantaman benda tumpul, dan penyebab lainnya yaitu trauma thoraks. Para
terdakwa telah melakukan penganiayaan dan menghendaki tujuan dari penganiayaan
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 373-383
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
381
La Ode Awal Sakti et.al (Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku ....)
yang dilakuka terhadap korban adalah untuk menimbulkanrasa sakit pada orang lain
dan merugikan kesehatan orang lain, namun dengan melihat oerbuatan para terdakwa
dihubungkan dengan Surat Keterangan Sebab Kematian tanggal 20 Agustus 2022 yang
ditandatangani oleh dr. Romi Akbar, Sp. An, KIC, dan hasil p[emeriksaan fisik luar
sebagaimanayang telah dituangkan dalam Visum Et Repertum (VER) Nomor :
104/BLUD RS/VISUM/VIII/2022, tertanggal 20 Agustus 20222 maka Majelis Hakim
berpendapat akibat dari penganiayaan tersebut langsung dan mengakibatkan kematian
pada korban (Direktori Putusan Mahkamah Agung, 2022).
3. Unsur Sebagai Orang Yang Melakukan, Yang Menyuruh Melakukan, Dan Turut Serta
Melakukan, Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP merumuskan mengenai pengertian pelaku,
yaitu :
a. Mereka yang melakukan sendiri suatu tindakan pidana (Plegen);
b. Mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan sutu tindakan pidana (Doen
Plegen);
c. Mereka yang turut serta melakukan tindakan pidana (Mede Plegen).
Kerjasama secara sadar, berarti bahwa setiap pelaku peserta saling mengetahui dan
menyadari tindakan dari para pelaku peserta lainnya. Tidak dipersyaratkan apakah telah
ada kesepakatan jauh sebelumnya, walaupun kesepakatan itu baru terjadi dekat sebelum
atau bahkan pada saat perbuatan itu dilakukan namun sudah termasuk kerjasama secara
sadar.
Berdasarkan fakta persidangan dan dibuktikan, perbuatan para terdakwa dilakukan
dengan cara menganiaya korban secara bersama-sama hingga menyebabkan korban
meninggal dunia. Majelis Hakim berpendapat dalam hal ini kedudukan para terdakwa
adalah sebagai orang yang melakukan (pleger) penganiayaan terhadap korban
berdasarkan kesadaran dan inisiatifnya masing-masing.(Direktori Putusan Mahkamah
Agung, 2022)
Menurut penulis, para terdakwa memang tidak berencana terlebih dahulu untuk
bersama-sama menganiaya korban, namun karena perbuatan para terdakwa dilakukan
dengan inisiatif sendiri dan dilakukan secara bersama-sama terhadap korban, tempat dan
waktu yang sama sehingga telah terjalin kerjasama secara sadar. Tidak adanya perintah
atau bujukan oleh orang lain untuk menganiaya korban, sehingga para terdakwa sama
berperan sebagai pleger atau orang yang melakukan tindak pidana penganiayaan pada
korban.
Berikut data perkara tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting) dengan kedua
belas orang pelaku yang dibagi dalam tiga berkas perkara:
Tabel 1 data perkara tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting)
No
Terdakwa
Dakwaan
Putusan
1.
a. Awaludin Alias
Awal Bin
ALM. Asaba;
b. Tute Alias
Bapaknya
Sandi Bin
Tunduone;
c. Adi Isman
Alias Adi Bin
Sire;
Pasal 351
ayat (3)
KUHP Jo.
Pasal 55
ayat (1)
Ke-1
KUHP.
Putusan Nomor
200/Pid.B/2022/PN.Unh
dengan pidana penjara 2
(dua) tahun 6 (enam)
bulan.
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 373-383
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
382
La Ode Awal Sakti et.al (Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku ....)
d. Mildan Bin
Kmaruddin.
2.
a. Salim, S.E
Alias
Bapaknya Ari
Bin Imran
Thalib;
b. Firmanto Alias
Dodo Bin
Guramin.
Pasal 351
ayat (1)
KUHP Jo.
Pasal 55
ayat (1)
KUHP.
Putusan Nomor
199/Pid.B/2022/PN.Unh
dengan pidana penjara 1
(satu) tahun.
3.
a. Taswin Alias
Tari Bin
Taswin
Mobina;
a. Johan Alias
Bapaknya Rian
Bin Siybu;
b. Jandriansyah
Alias Jan Bin
Gamudin;
c. Lisman Bin
Bio;
d. Asmurin Alias
Murik Bin
Banani;
e. Kasim Alias
Ege Bin
Taswin
Mobina.
Pasal 351
ayat (3)
KUHP Jo.
Pasal 55
ayat (1)
Ke-1
KUHP.
Putusan Nomor
194/Pid.B/2022/PN.Unh
Dengan Pidana 2 (dua)
tahun 6 (enam) bulan.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dalam uraian diatas, maka diambil kesimpulan mengenai
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku main hakim sendiri (eigenrichting) dalam
putusan perkara Nomor: 194/Pid.B/2022/PN Unh, sebagai berikut :
a. Konsep tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting) menurut hukum positif di
Indonesia diatur dalam Pasal 170 KUHP Tentang Kekerasan Terhadap Orang atau
Barang, Pasal 351 KUHP Tentang Penganiayaan dan Pasal 338 KUHP Tentang
Pembunuhan disesuaikan dengan bentuk delik dan akibat dari perbuatan tersebut.
b. Pelaku tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya berdasarkan bentuk perbuatan dan kedudukannya masing-masing dalam
melakukan tindak pidana, dalam Putusan Nomor: 194/Pid.B/2022/PN Unh para
terdakwa mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan berkedudukan sebagai
pelaku (pleger).
5. Daftar Pustaka
Direktori Putusan Mahkamah Agung. (2022). Putusan PN UNAAHA Tahun 2022.
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/beranda.html
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 373-383
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
383
La Ode Awal Sakti et.al (Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku ....)
Hamzah, A. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Perpustakaan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/slims/pn-
jakartaselatan/index.php?p=show_detail&id=1023
Hamzah, A. (2009). Delik-delik tertentu (speciale delicten) di dalam KUHP. Open Library.
https://openlibrary.org/books/OL24004513M/Delik-
delik_tertentu_(speciale_delicten)_di_dalam_KUHP
Kristanto, K. (2017). Perbuatan Eigen Righting (Main Hakim Sendiri) dalam Perspektif
Hukum Pidana. Morality: Jurnal Ilmu Hukum, 2(2), 207222.
Marzuki, P. M. (2019). Penelitian Hukum Edisi Revisi. Prenamedia Group.
Mertokusumo, S. (2010). Hukum Acara Pidana Indonesia,.
Moeljatno. (2008). Asas- asas Hukum Pidana. ANZDOC. https://adoc.pub/asas-asas-hukum-
pidana.html
Pemerintah Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara 1999/ No. 165, TLN NO. 3886, LL
SETNEG: Hlm 29, 39, 2.
Presiden Republik Indonesia. (2023). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Direktorat Utama Pembinaan dan
Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara Badan Pemeriksa Keuangan,
16100, 1345.
Undang-Undang Dasar, 1945. (1945). Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Warga dan
Negara, 1166.
WELLY, S. K. (2015). Street justice masyarakat terhadap pelaku tindak pidana pencurian di
KOTA pontianak. Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura, 3(2).
Zilvia, R., & Haryadi, H. (2020). Disparitas Pidana Terhadap Pelaku Kasus Tindak Pidana
Penganiayaan. PAMPAS: Journal of Criminal Law, 1(1), 96109.