1. Pendahuluan
Kelompok merupakan dua orang atau lebih yang berinteraksi satu sama lain dengan cara
sedemikian rupa sehingga masing-masing orang akan saling mempengaruhi dan dipengaruhi
satu sama lainnya di dalam kelompok (Griffin et al., 2020). Menjadi bagian dari suatu
kelompok akan mempengaruhi cara seseorang berperilaku dan hal itu dapat memiliki efek
positif, negatif ataupun keduanya (Robbins & Judge, 2022). Saling mengakui dan
menunjukkan rasa hormat terhadap peran dari setiap anggota kelompok akan sangat membantu
untuk mempertahankan kohesi kelompok, sedangkan salah satu efek negatifnya yaitu
terjadinya disfungsi dari kelompok itu sendiri. Beberapa disfungsi ini yaitu kepentingan
khusus dalam kelompok, pelanggaran norma, ambiguitas / konflik peran, dan social loafing
(Luthans et al., 2021; Robbins & Judge, 2022).
Social loafing terjadi ketika seorang individu mengurangi jumlah upaya yang mereka
lakukan dalam suatu tugas ketika tugas tersebut dikerjakan secara bersama-sama dengan orang
lain (Stroh et al., 2002). Perilaku social loafing ini merupakan sebuah konsep kebiasaan, di
mana jika dalam suatu kelompok terdapat satu orang yang berkontribusi rendah atau yang
disebut sebagai free rider maka akan memberikan dampak kepada anggota lainnya untuk
mengikuti perilaku tersebut (Albanese & Fleet, 1985; Ying et al., 2014). Seseorang dalam
kelompok yang membiarkan anggota kelompoknya melakukan free riding, maka seseorang
tersebut dapat dikatakan memainkan peran sebagai sucker (Pabico et al., 2008). Peran sucker
ini merupakan sebuah tindakan untuk menahan usaha yang mereka lakukan dalam kelompok
dikarenakan terdapat seorang free rider dalam kelompok tersebut (Liden et al., 2004; Schnake,
1991).
Perilaku social loafing dapat dicegah dengan motivasi yang tinggi dari setiap anggota
kelompok (Robbins & Judge, 2022). Tingginya motivasi dari seluruh anggota dalam kerja
kelompok akan memiliki efek terhadap kohesivitas kelompok, di mana setiap anggota
kelompok akan mengusahakan hasil yang baik untuk kelompoknya dan berusaha saling untuk
mengerti antar anggota dalam kelompok sehingga perilaku social loafing tidak akan muncul
(Pratama & Aulia, 2020). Salah satu teori motivasi yaitu Equity Theory yang dikemukakan
oleh J. Stacy Adams berisi mengenai kesetaraan yang dapat meningkatkan motivasi seseorang
dalam sebuah kelompok (Luthans et al., 2021). Kesetaraan yang dimaksud dalam hal ini yaitu
keinginan seseorang untuk diperlakukan setara atau adil dalam sebuah kelompok yang ditinjau
dari input yang dilakukan oleh seseorang tersebut dan outcome yang dihasilkan (Robbins &
Judge, 2022). Ketika terjadi ketidaksetaraan yang dirasakan oleh seseorang dalam sebuah
kelompok maka terdapat beberapa pilihan tindakan bagi seseorang yang tidak merasakan
kesetaraan tersebut, salah satunya yaitu dia akan mendistorsi persepsi dirinya sendiri (Griffin
et al., 2020). Sebagai contoh yaitu ketika seseorang dalam kelompok merasa bahwa anggota
kelompok lainnya itu berkontribusi lebih rendah daripada dirinya, maka kemungkinan
seseorang itu akan mendistorsi dirinya sendiri dengan cara menurunkan kontribusinya juga
agar setara dengan kontribusi yang dilakukan oleh anggota kelompok lainnya.
Fenomena perilaku social loafing ini terjadi di berbagai lingkungan, salah satunya di
lingkungan pendidikan perguruan tinggi. Banyak mahasiswa di perguruan tinggi saat ini
sangat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai media serta cara mereka
belajar. Peran teknologi informasi dan komunikasi ini digunakan mahasiswa dalam tugas
kelompok yang mereka terima dari perkuliahan. Teknologi informasi seperti search engine
sangat memudahkan mahasiswa untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dengan cepat
mengenai tugas kelompok yang sedang mereka kerjakan. Disamping itu, teknologi komunikasi
juga memudahkan mahasiswa dalam mengerjakan tugas kelompok karena mereka dapat
melakukan kerja kelompok secara jarak jauh dengan aplikasi pengiriman pesan teks, suara,
dan video. Namun komunikasi jarak jauh melalui aplikasi ini memberikan peluang perilaku