Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
121
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
Tergerusnya kearifan lokal orang Mapur di tengah
ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit PT. GPL di
Dusun Air Abik, Kabupaten Bangka
Budi Darmawan
a,1
, Putra Pratama Saputra
b,2
, Novendra Hidayat
c,3
ab
Sosiologi, Universitas Bangka Belitung, Gang IV No. 1 Balun Ijuk Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka,
Balunijuk 33126, Indonesia
c
Ilmu Politik, Universitas Bangka Belitung, Gang IV No. 1 Balun Ijuk Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka,
Balunijuk 33126, Indonesia
1
budidarmawan@ubb.ac.id;
2
3
novendrahidayat@ubb.ac.id
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 14 Maret 2023
Direvisi: 27 Juni 2023
Disetujui: 15 Oktober 2023
Tersedia Daring: 1 Januari 2024
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menjelaskan tergerusnya kearifan
lokal Orang Mapur dalam pengelolaan hutan di tengah ekspansi perkebunan
kelapa sawit PT. GPL di Dusun Air Abik, Kabupaten Bangka. Penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Proses pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara, observasi, dokumentasi serta berbagai data
sekunder meliputi dokumen resmi, laporan media massa, artikel ilmiah,
buku, makalah, serta laporan penelitian sebelumnya yang membahas
tentang komunitas Orang Mapur. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa semenjak berkembangnya era otonomi daerah, kearifan lokal yang
dimiliki Orang Mapur mengalami gangguan karena adanya perusahaan
perkebunan kelapa sawit yang didominasi oleh PT. GPL melakukan
perluasan lahan terutama di hutan adat Orang Mapur. Perluasan ini, baik
disadari maupun tidak, telah mengambil sebagian besar lahan hutan adat
yang selama ini dijaga dan dilestarikan untuk keberlanjutan hidup mereka.
Selain itu, pengetahuan yang dimiliki oleh komunitas ini tentang pelestarian
lingkungan, termasuk penggunaan obat-obatan alami, code of conduct,
tradisi beume, nujuh jerami, serta kearifan lokal dalam pengelolaan hutan
juga kian tergerus bersama dengan eksistensi mereka. Hilangnya tradisi dan
kearifan lokal tersebut berarti juga hilangnya identitas Orang Mapur yang
menjadi suku melayu tertua di Pulau Bangka yang hidup selaras dan arif
terhadap alam.
Kata Kunci:
Kearifan lokal
Orang Mapur
Ekspansi perkebunan kelapa
sawit
ABSTRACT
Keywords:
Lokal wisdom
Orang Mapur
Ekspansion of oil palm
plantations
This research was conducted with the aim of explaining the erosion of local
wisdom among the Mapur people in the utilization of forests amidst the
expansion of oil palm plantations by PT. GPL in the Air Abik Hamlet, Bangka
Regency. The research used a qualitative descriptive approach. The data
collection process was carried out through interviews, observations,
documentation, and various secondary data sources, including official
documents, mass media reports, scientific articles, books, papers, and previous
research reports discussing the Mapur community. The results of this research
indicate that since the era of regional autonomy, the local wisdom possessed
by the Mapur people has been disrupted due to the presence of oil palm
plantation companies, predominantly PT. GPL, expanding land, especially in
the Mapur people's customary forests. This expansion, whether realized or not,
has taken over most of the customary forest land that has been guarded and
preserved for their livelihoods. In addition, the knowledge held by this
community about environmental conservation, including the use of natural
medicines, codes of conduct, traditional rituals (beume), nujuh jerami, as well
as local wisdom about forest utilization, is also gradually eroded along with
their existence. The loss of these traditions and local wisdom also means the
loss of the identity of the Mapur people, who are the oldest Malay tribe on
Bangka Island, living in harmony and wisdom with nature
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
122
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
©2024, Budi Darmawan, Putra Pratama Saputra, Novendra Hidayat
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Mayoritas penduduk Pulau Bangka terdiri dari etnis Melayu dan Tionghoa, yang hidup
berdampingan dengan harmonis. Orang Lom, juga dikenal sebagai Orang Mapur, merupakan
salah satu kelompok etnis Melayu tertua di pulau ini. Orang Mapur adalah sebuah komunitas
tradisional yang menetap di dua kecamatan, yaitu Belinyu dan Riau Silip. Di kecamatan
Belinyu, mereka bermukim di Desa Gunung Pelawan, khususnya di Dusun Pejem. Sementara
itu, di Kecamatan Riau Silip, mereka tinggal di Dusun Air Abik di Desa Gunung Muda dan
Dusun Tuing di Desa Mapur.
Dalam aspek sosial budaya, (Aimie Sulaiman, 2014) menerangkan bahwa Orang Mapur
tetap mempertahankan warisan adat yang mengatur kehidupan sehari-hari mereka. Tradisi
Orang Mapur berasal dari keyakinan bahwa kelahiran mereka terkait erat dengan kekuatan
alam semesta. Keyakinan ini menjadi dasar hubungan Orang Mapur dengan segala unsur alam
semesta seperti hutan, gunung, sungai, tanah, dan hewan, yang dianggap sebagai bagian
integral dari alam dan bersatu dengan leluhur mereka. Oleh karena itu, mereka merasa perlu
untuk menghormati dan menjaga semua elemen alam ini.
Dari segi ekonomi, Orang Mapur umumnya mengandalkan mata pencaharian sebagai
petani ladang, dengan mayoritas menanam padi, lada, palawija, dan karet. Sebagian dari
mereka juga terlibat dalam beragam jenis mata pencaharian, termasuk bekerja sebagai buruh
sawit dan penambang timah (Zulkarnain, 2018). Kemudian, j
ika dilihat dari struktur
masyarakatnya, s
ebagian besar Orang Mapur hidup dengan cara bertani dan berkebun.
Mereka sangat menggantungkan hidupnya di hutan yang telah mereka diami sejak nenek
moyang mereka. Hal ini menunjukkan bahwa hutan memegang peran yang signifikan dan
esensial dalam menjaga kelangsungan hidup Orang Mapur. Kehidupan yang baik dan sejahtera
bagi mereka tidak dapat dipastikan tanpa keberadaan hutan, sehingga nilai-nilai luhur dalam
pemanfaatan hutan menjadi kearifan lokal yang dijaga sampai sekarang.
Kearifan lokal diartikan sebagai suatu konsep yang mencangkup pandangan hidup,
pengetahuan, dan beragam strategi kehidupan yang tercermin dalam aktivitas yang dijalankan
oleh masyarakat setempat sebagai respons terhadap berbagai masalah dalam pemenuhan
kebutuhan mereka (Tumanggor, 2017). Dalam istilah lain, kearifan lokal seringkali
disandingkan dengan konsep kebijakan setempat (local wisdom) atau pengetahuan lokal (local
knowledge). Seperti yang terdapat dalam komunitas Orang Mapur. Sebagai masyarakat adat
(Cholillah, 2015) menjelaskan bahwa mereka secara khusus memiliki kearifan lokal dalam
pemanfaatan hutan, terutama dalam praktik bertanam padi ladang (beume), pemeliharaan
hutan adat dan sungai, pengetahuan tradisional tentang tumbuhan obat, serta sedekah kampung
pasca panen (nujuh jerami).
Kearifan lokal dalam pengelolaan hutan pada komunitas Orang Mapur sudah berlangsung
lama sejak leleuhur mereka mendiami hutan di wilayah tersebut. Akan tetapi, Pada tahun
2003, aktivitas penambangan timah mulai muncul di wilayah Air Abik. Hanya dalam waktu
satu tahun, Bupati Bangka mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 188.45/118/I-TNH/2004
yang memberikan izin usaha perkebunan untuk PT. Gunung Pelawan Lestari (PT. GPL).
Perusahaan swasta asing ini berbasis di Inggris dan terafiliasi dengan Evans Group. Kebijakan
Bupati Bangka, Eko Maulana Ali, dalam menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Kab. Bangka
No. 6 tahun 2006 mengenai pemberian izin lokasi, secara efektif membuka pintu bagi PT.
GPL untuk merancang perkebunan kelapa sawit di empat desa, yakni Desa Gunung Muda,
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
123
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
Gunung Pelawan, Riau Silip, dan Mapur, (dalam Zulkarnain, 2018). Dengan kehadiran PT.
GPL sampai saat ini, dapat diamati bahwa sumber penghidupan sekaligus tradisi dan kearifan
lokal yang dimiliki Orang Mapur mengalami gangguan akibat perluasan areal perkebunan
kelapa sawit. Kegiatan perluasan tersebut, baik disadari maupun tidak, telah merambah ke area
lahan hutan adat yang selama ini dijaga dan dilestarikan Orang Mapur untuk keberlangsungan
hidup, mempertahankan tradisi, serta menjaga keseimbangan ekosistem.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh situs berita lingkungan Mongabay, saat ini tidak
ada pengakuan dari pemerintah terhadap hutan adat milik Orang Mapur. Karang Lintang telah
mengalami transformasi menjadi Hutan Produksi (HP), Area Penggunaan Lain (APL), dan
Hutan Lindung (HL) di wilayah pesisir atau hutan mangrove. Berikutnya, daerah yang
ditetapkan sebagai Area Penggunaan Lain (APL) dan Hutan Produksi (HP) telah diberikan
Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa sawit seluas 8.000 hektar, Izin Usaha
Pertambangan (IUP) seluas 19 ribu hektar, dan Hutan Tanaman Industri (HTI) sekitar 11 ribu
hektar. Selain itu, terdapat kegiatan penambangan timah ilegal dan pembuatan tambak udang,
yang mungkin memanfaatkan lahan dalam jumlah ribuan hektar (Mongabay, 2022).
Berdasarkan data perluasan area alih fungsi lahan tersebut, terutama oleh PT. GPL. Maka hal
ini menunjukkan bahwa semakin berkurangnya areal hutan Orang Mapur tidak hanya
mengancam ekosistem, akan tetapi juga mengancam sumber penghidupan, nilai-nilai budaya,
tradisi, maupun kearifan lokal dalam pemanfaatan hutan yang telah ada sejak ratusan tahun
yang lalu.
Dalam pandangan Teori Fungsional Struktural, Talcott Parsons melihat masyarakat
sebagai suatu sistem yang terpadu secara fungsional menuju suatu keseimbangan tertentu.
Asumsi mendasarnya adalah bahwa setiap elemen struktural dalam sistem sosial memiliki
fungsi yang saling terkait, dan jika tidak berfungsi dengan baik, struktur tersebut kemungkinan
tidak akan ada atau akan hilang secara alami. (George Ritzer, 2012). Begitupun hal nya
dengan Orang Mapur, kehidupan mereka tidak lepas dari sejarah budaya yang ditandai oleh
tradisi dan keyakinan khas masyarakat dalam pemanfaatan hutan yang sudah berlangsung
sejak lama. Dengan demikian, berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui nilai-nilai kearifan lokal Orang Mapur dalam pemanfaatan hutan,
serta menganalisis perubahan sosial budaya akibat semakin menyempitnya hutan sebagai
ekosistem yang tidak bisa dipisahkan dari Orang Mapur, sehingga menyebabkan semakin
tergerusnya nilai-nilai kearifan lokal sebagai identitas Orang Mapur yang hidup selaras dengan
alam.
2. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, di mana metodenya digunakan untuk
menggambarkan keadaan dengan cara yang realistis dalam memahami makna, khususnya
dalam konteks mempelajari kasus terkait tergerusnya nilai-nilai kearifan lokal Orang Mapur
dalam pemanfaatan hutan. Selanjutnya, desain penelitian ini mengambil pendekatan etnografi,
sebuah metode penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis
kelompok budaya tertentu, dalam hal ini fokus pada pemahaman nilai-nilai kearifan lokal dan
perubahan sosial budaya yang terjadi di kalangan komunitas Orang Mapur.
Penelitian ini dilakukan di Dusun Air Abik, Desa Gunung Muda, Kecamatan Belinyu,
Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Secara administratif, Dusun Air
Abik terbagi menjadi dua rukun tetangga (RT), yakni RT 19 dan RT 20. Kegiatan penelitian
lapangan dilaksanakan pada bulan September 2023. Lokasi penelitian dapat dilihat pada
gambar 1.
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
124
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, teknik pengambilan informan untuk subjek penelitian menggunakan
metode nonprobability sampling, khususnya teknik purposive sampling. Dalam purposive
sampling, pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan pertimbangan tertentu yang
relevan dengan tujuan penelitian. Pemilihan ini dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan
informan yang memiliki pemahaman dan pengalaman yang sesuai dengan fokus penelitian.
Informan dipilih secara sengaja, yakni Ketua Adat Mapur dan Ketua Lembaga Adat Mapur.
Pemilihan informan ini dikarenakan mereka memiliki pemahaman dan pengalaman yang
relevan terkait tradisi, budaya, dan kearifan lokal dalam komunitas Orang Mapur.
Dalam penelitian ini, terdapat dua teknik pengumpulan data, yaitu pengumpulan data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan dan
wawancara dengan informan yang telah ditentukan. Sementara itu, data sekunder dikumpulkan
dari berbagai sumber, termasuk dokumen resmi, laporan media massa, jurnal ilmiah, buku,
makalah, serta laporan penelitian sebelumnya yang membahas tentang komunitas Suku
Lom/Orang Mapur.
3. Hasil dan Pembahasan
1. Gambaran Komunitas Orang Mapur
Komunitas Orang Mapur mendiami wilayah yang terbagi di tiga dusun, yakni Air
Abik, Pejem, dan Tuing. Menurut data yang didapat dari penelitian (Cholillah, 2015) saat
ini jumlah penduduk di Air Abik lebih besar dibandingkan dengan dua dusun lainnya.
Kemudian, berdasarkan data demografi pendudukan Orang Mapur yang diperoleh dari
survei lapangan (Zulkarnain dan Franto, 2014) pada tahun 2014, jumlah penduduk Dusun
Air Abik mencapai 630 jiwa. Komposisi agama penduduknya terdiri dari penganut agama
adat Lom sebanyak 280 jiwa, Islam 248 jiwa, Kristen 87 jiwa, Konghuchu 11 jiwa, dan
Budha 4 jiwa. Terlihat bahwa agama adat Lom memiliki dominasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan penganut agama lainnya.
Sejarah Dusun Air Abik dimulai pada tahun 1974 ketika pemerintah menginisiasi
program relokasi untuk suku terasing, yakni Orang Lom/Orang Mapur. Tujuan dari
program ini adalah untuk memindahkan mereka dari daerah pedalaman ke pemukiman
permanen. Sebanyak 75 kepala keluarga (KK) terlibat dalam proses relokasi ini, dan
mereka menjadi penduduk Dusun Air Abik. Pada awalnya, sebagian Orang Mapur memilih
untuk tetap tinggal di hutan, tetapi baru pada tahun 1977 sebagian dari mereka mulai
menempati perumahan yang telah dibangun oleh pemerintah. Orang Mapur yang setuju
untuk direlokasi diberikan dukungan berupa rumah semi-permanen seluas 20 m²,
perlengkapan bangunan dan pertanian, serta bantuan sembako untuk kebutuhan hidup
selama satu bulan. Mereka terus menerima bantuan tersebut selama sekitar tiga tahun
setelah proses relokasi. (Zulkarnain, 2018).
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
125
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
Dalam konteks sosial budaya, (Aimie Sulaiman, 2014) menerangkan bahwa Orang
Mapur tetap memelihara tradisi yang mengatur kehidupan sehari-hari mereka. Tradisi ini
didasarkan pada keyakinan bahwa mereka berasal dari kekuatan alam semesta. Keyakinan
ini membentuk hubungan Orang Mapur dengan segala sesuatu di alam semesta, termasuk
hutan, gunung, sungai, tanah, dan hewan, yang dianggap sebagai bagian integral dari alam
yang bersatu dengan leluhur mereka. Oleh karena itu, segala elemen alam ini dihormati dan
dijaga. Mereka meyakini bahwa setiap entitas dalam alam memiliki kekuatan atau roh yang
senantiasa melindungi dan mengawasi kehidupan manusia. Menurut keyakinan ini,
mengabaikan atau mengingkari keterhubungan dengan alam semesta dapat membawa
konsekuensi berupa keberuntungan atau bahkan kutukan dalam kehidupan mereka.
Dari penjelasan di atas, hal ini menunjukkan bahwa hutan merupakan bagian yang
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Orang Mapur. Hutan memiliki makna yang sangat
signifikan dan mendasar bagi kelangsungan hidup mereka. Dalam penelitiannya, (Cholillah,
2017)
menjelaskan bahwa
kehidupan mereka tidak dapat terjamin dengan baik dan
sejahtera tanpa keberadaan hutan. Sejahtera di sini mencakup dua dimensi penting, yaitu
dimensi fisik, di mana mereka berinteraksi dan hidup bersama hutan sebagai bagian integral
dari kehidupan mereka. Aktivitas seperti bercocok tanam, berkebun, dan berladang
(beumeh) dilakukan secara bersinergi dengan hutan. Di dalam hutan, mereka juga terlibat
dalam kegiatan berburu untuk memperoleh daging hewan, mengumpulkan rotan untuk
membuat peralatan beraktivitas dan wadah makanan, serta alat-alat rumah tangga. Selain
itu, mereka mengambil madu dan tanaman obat-obatan untuk penggunaan pribadi, serta
sebagian kecilnya dijual untuk memperoleh pendapatan. Dengan demikian, hubungan erat
Orang Mapur dengan hutan tidak hanya mencakup aspek keberlangsungan fisik, tetapi juga
berperan dalam penghidupan ekonomi dan kesejahteraan mereka.
Berdasarkan informasi yang diperoleh langsung dari Ketua Lembaga Adat Mapur,
yakni Asi Harmoko menjelaskan bahwa hutan dianggap sebagai tempat tinggal kehidupan
yang melibatkan aspek spiritual dan sakral bagi Orang Mapur. Selain berfungsi sebagai
lingkungan alami yang memberikan sumber kehidupan, hutan juga dianggap sebagai tempat
peribadatan yang bebas dan khusus.
Asi Harmoko juga menyatakan bahwa Orang Mapur memiliki tugas menjaga hutan,
gunung, sumber air, kebun, pohon, laut, sungai, batu, rumah, angin, serta kuburan. Hutan
tidak hanya dianggap sebagai sumber kehidupan fisik, tetapi juga sebagai sumber
kesejahteraan spiritual yang menghubungkan mereka dengan Tuhan. Dengan alasan
tersebut, Orang Mapur tidak melakukan penebangan hutan secara sembarangan dan
mengatur segala aktivitas mereka di dalam hutan sesuai dengan kode etik yang dikenal
sebagai pantang larang Orang Mapur. Begitupun dalam pengelolaan hutan dan lahan,
Orang Mapur mempunyai pemahaman dan menerapkan berbagai cara memanfaatkan lahan
dan hutan, termasuk beragam jenis tanamannya. Pengetahuan ini didapatkan dan diwariskan
melalui generasi turun-temurun dari leluhur mereka.
Gambar 2. Wawancara bersama Lembaga Adat Mapur di Kampug Adat Gebong Marong
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
126
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
2. Kearifan Lokal Orang Mapur
2.1 Pengetahuan (Code of Conduct Mapur) dalam pengelolaan hutan
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Adat Mapur, yakni Abok Geboi
menuturkan bahwa Orang Mapur mempunyai kearifan lokal tersendiri, terutama terkait
pengelolaan lahan dan hutan. Dapat disimpulkan bahwa komunitas Orang Mapur memiliki
kepercayaan, pengetahuan, dan warisan dari leluhur terhadap alam yang dianggap perlu
dipertahankan dan dilestarikan. Nilai-nilai ini tercermin dalam bentuk peraturan pantangan
dan larangan yang telah menjadi kesepakatan bersama (Code of Conduct) yang harus diikuti
oleh semua anggota masyarakat. Code of Conduct mengatur tiga aspek terkait pengelolaan
hutan untuk berladang, yaitu: pembukaan ladang, pemeliharaan ladang beserta tanamannya,
dan pemanfaatan tumbuh-tumbuhan. Melalui pemahaman yang cermat terhadap isi kode
etik yang diatur oleh hukum adat dalam budaya Orang Mapur, dapat disimpulkan bahwa
norma-norma tradisional ini memiliki pengaruh yang besar dalam cara masyarakat
mengelola hutan dengan mempertimbangkan dampak ekologisnya terhadap manusia,
hewan, dan tumbuhan di sekitarnya.
Berikut code of conduct Orang Mapur:
1. Code of conduct dalam pembukaan ladang
Dalam Code of Conduct pembukaan ladang, terdapat enam aturan yang harus
dipegang teguh oleh setiap anggota masyarakat Orang Mapur, yakni pertama ditegaskan
bahwa dilarang adanya aliran air yang mengumpul di satu titik di sudut ladang. Hal ini
merupakan bagian dari aturan membuka ladang untuk mencegah terjadinya genangan air
yang dapat merugikan tanaman atau mengganggu proses pertanian. Larangan ini dapat
diartikan sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan optimalisasi
penggunaan lahan pertanian. Sanksi apabila melanggar aturan ini, yakni dipercaya akan
mendatangkan penyakit.
Kedua, aturan ini melarang adanya pusek atau gundukan tanah berbukit di sudut
ladang. Larangan ini dimaksudkan untuk mencegah pembentukan struktur tanah yang
dapat mengganggu sistem irigasi atau pertanian. Pusek yang terlalu tinggi atau terletak di
sudut ladang bisa mempengaruhi pola aliran air, menyebabkan erosi tanah, atau
menghambat pertumbuhan tanaman. Larangan ini bertujuan untuk memastikan
penggunaan lahan yang efisien dan berkelanjutan dalam praktik pertanian masyarakat
Orang Mapur. Sanksi apabila melanggranya dipercaya akan mendatangkan kemarahan
makhluk halus.
Ketiga, larangan ini menyatakan bahwa tidak boleh ada dua aliran air di tengah
ladang. Aturan ini dirancang untuk menjaga tata air dan menghindari konflik dalam
pengelolaan sumber daya air di ladang. Memiliki dua aliran air di tengah ladang dapat
menciptakan masalah seperti persaingan air antara tanaman, distribusi air yang tidak
merata, atau bahkan potensi kerusakan ekosistem lokal. Dengan menghindari dua aliran air
di tengah ladang, bertujuan untuk memastikan efisiensi dalam penggunaan air dan
keseimbangan ekologis yang baik. Sanksi apabila melanggarnya dipercaya akan
mendatangkan penyakit pada tanaman.
Keempat, larangan ini menyatakan bahwa tidak boleh ada pusek yang diambil
setengah untuk ladang. Aturan ini dimaksudkan untuk melarang pengambilan atau
pemotongan setengah pusek tanah dari ladang. Kemungkinan ada pertimbangan ekologis
atau pertanian di balik larangan ini. Mengambil setengah pusek tanah dari ladang bisa
mengakibatkan perubahan struktur tanah, erosi, atau bahkan mengganggu pertumbuhan
tanaman. Larangan semacam ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan
keberlanjutan pertanian di komunitas Orang Mapur. Dengan mematuhi aturan ini,
diharapkan masyarakat dapat menjalankan praktik pertanian yang berkelanjutan dan
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
127
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
menghormati keseimbangan alam di sekitar ladang mereka. Sanksi apabila melanggarnya
dipercaya akan mendatangkan rasa takut dan gelisah dalam diri (penyakit bathin).
Kelima, Larangan ini mengindikasikan bahwa tidak boleh ada kayu tumbang yang
mengarah ke sudut ladang. Aturan ini dirancang untuk melarang atau mencegah
penempatan kayu yang tumbang atau roboh sehingga mengarah langsung ke sudut ladang.
Larangan semacam ini didasarkan pada pertimbangan keamanan, mengingat bahwa kayu
tumbang dapat menjadi potensi bahaya, terutama jika ditempatkan dekat dengan ladang
atau area pertanian. Larangan ini juga bisa berkaitan dengan upaya untuk menjaga
keberlanjutan pertanian dan mencegah kerusakan lahan pertanian akibat tumbangnya kayu.
Dengan mematuhi aturan ini, masyarakat Orang Mapur dapat menjaga lingkungan ladang
agar tetap aman dan mendukung kelangsungan usaha pertanian mereka. Sanksi apabila
melanggarnya dipercaya akan mengakibatkan tanaman akan rusak dan padi tidak bernas
(berkualitas).
Keenam, aturan ini menyatakan bahwa aliran air harus ada di tengah ladang dan
membentuk huruf T terbalik. Aturan ini dirancang untuk mengatur sistem irigasi atau
distribusi air yang optimal di ladang. Bentuk huruf T terbalik dapat memberikan distribusi
air yang merata ke seluruh area ladang, memastikan bahwa setiap bagian menerima
pasokan air yang cukup untuk pertumbuhan tanaman. Dengan mengikuti aturan ini,
masyarakat Orang Mapur dapat menciptakan sistem irigasi yang efisien dan mendukung
hasil pertanian yang baik. Ini mencerminkan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber
daya air dan praktik pertanian yang berkelanjutan. Sanksi apabila melanggarnya dipercaya
akan mengganggu jiwa peladang menjadi tidak stabil dan nasib tanaman akan suram.
Selain itu, dalam praktek pemeliharaan tanaman ladang, Orang Mapur tetap
mematuhi dan menghormati aturan yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Pantangan dan larangan diikuti dengan serangkaian sanksi, yang tidak hanya bersifat
sosial, tetapi juga mencakup sanksi dari kekuatan alam dan lingkungan sekitar yang
berpotensi menyebabkan kerugian pada hasil tanaman mereka. Berikut adalah penjelasan
mengenai aturan-aturan untuk merawat ladang dan tanaman yang tercantum dalam Code of
conduct Orang Mapur:
2. Code of conduct pemeliharaan ladang beserta tanamannya
Pertama, larangan ini menunjukkan bahwa tidak boleh bersiul pada malam hari di
tengah ladang. Larangan semacam ini didasarkan pada kepercayaan atau norma budaya
dalam masyarakat Orang Mapur. Aturan ini bisa berkaitan dengan keyakinan bahwa
bersiul di tengah ladang pada malam hari dapat mengundang atau mengganggu keberadaan
makhluk atau energi tertentu yang dianggap memiliki makna spiritual atau mistis. Selain
itu, larangan ini juga bertujuan untuk menjaga ketenangan malam dan menghormati waktu
istirahat masyarakat serta keberlanjutan aktivitas pertanian. Dengan mematuhi larangan
ini, masyarakat dapat menjaga kedamaian lingkungan dan menghormati nilai-nilai
tradisional yang diyakini oleh komunitas tersebut. Sanksi apabila melanggarnya dipercaya
mengakibatkan tanaman akan dirusak angin ribut.
Kedua, aturan ini menetapkan bahwa jika sedang menanam tebu, seseorang tidak
boleh makan sambil berjalan. Selain itu, larangan ini juga mencakup instruksi untuk tidak
membuang sisa tebu yang dimakan di sepanjang jalan. Aturan ini kemungkinan memiliki
tujuan tertentu yang dapat berkaitan dengan nilai-nilai budaya, etika makan, atau praktik
pertanian masyarakat Orang Mapur. Larangan untuk tidak makan sambil berjalan berasal
dari keyakinan bahwa tindakan tersebut dapat mengganggu keseimbangan alam atau
memiliki makna spiritual tertentu. Larangan membuang sisa tebu di sepanjang jalan
ditujukan untuk menjaga kebersihan lingkungan dan menghormati hasil pertanian dengan
cara yang pantas. Keseluruhan, aturan ini mencerminkan hubungan erat antara kehidupan
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
128
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
sehari-hari, nilai-nilai budaya, dan praktik pertanian di dalam komunitas tersebut. Sanksi
apabila melanggarnya dipercaya akan merusak tanaman yang ditanam.
Ketiga, larangan ini menegaskan bahwa tanaman seperti betik atau mentimun tidak
boleh dimakan sambil berjalan, dan kulitnya tidak boleh dibuang di jalan. Aturan ini
memiliki dasar etika makan, norma kebersihan, atau nilai-nilai budaya dalam masyarakat
Orang Mapur. Larangan untuk tidak makan sambil berjalan berasal dari keyakinan bahwa
tindakan tersebut tidak hanya tidak sopan, tetapi juga dapat melanggar prinsip-prinsip
tertentu yang dihormati dalam budaya mereka. Larangan membuang kulit tanaman di jalan
dapat mencerminkan kepedulian terhadap kebersihan lingkungan dan menghormati hasil
pertanian dengan cara yang sesuai. Sanksi apabila melanggarnya juga dipercaya akan
merusak tanaman yang ditanam.
Keempat, larangan ini menegaskan bahwa tidak boleh melakukan "Ani-ani"
(berdongeng) di tengah ladang, khususnya dengan menceritakan tentang perahu dan
layang-layang, atau cerita-cerita terkait pelayaran. Larangan semacam ini mencerminkan
nilai-nilai atau keyakinan budaya masyarakat Orang Mapur. Larangan ini memiliki
beberapa interpretasi. Salah satunya bisa berkaitan dengan keyakinan bahwa menceritakan
cerita-cerita tertentu di ladang dapat mengganggu keberadaan makhluk atau energi
spiritual tertentu yang dianggap memiliki kaitan dengan perahu, layang-layang, atau
pelayaran. Atau mungkin ada pertimbangan lain yang berkaitan dengan aktivitas pertanian
dan upaya untuk menjaga konsentrasi atau ketenangan di ladang. Secara keseluruhan,
larangan ini mencerminkan kekayaan budaya dan keyakinan masyarakat Orang Mapur
terhadap hubungan antara lingkungan pertanian dan aspek spiritual atau mistis dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Sanksi apabila melanggarnya dipercaya akan menyebabkan
padi yang ditanam ataupun tanaman lainnya akan bernasib seperti perahu dan layang-
layang, yakni hilang dan kandas.
Kelima, menyanyikan lagu ruh padi di tengah ladang (Sempayo, Serimbang,
Sengkate, Timang Malang, Timang Mengkadung, Timang Bulan,). Menyanyikan lagu
tersebut mencerminkan bahwa ladang bukan hanya tempat untuk bekerja, tetapi juga
dianggap sebagai ruang yang dihuni oleh berbagai energi dan makhluk. Oleh karena itu,
kegiatan seperti menyanyikan lagu tersebut di ladang dapat mencerminkan penghargaan
dan keterhubungan antara manusia, alam, dan tradisi budaya.
Pengetahuan, keyakinan, dan teknik pengelolaan lahan dan hutan yang telah
disebutkan di atas sebenarnya telah menjadi pedoman dan panduan bagi masyarakat Orang
Mapur. Mereka memahami bahwa dalam berinteraksi dengan alam dan lingkungan,
penting untuk selalu menjaga keseimbangan ekosistem sekitarnya. Pengetahuan dan
keyakinan ini tidak hanya berdampak positif dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
secara subsisten dan ekonomis, tetapi juga memungkinkan mereka untuk mengolah
berbagai jenis tanaman yang berasal dari hutan. Hutan dianggap sebagai rumah alami yang
menyediakan berbagai sumber bahan baku yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Sebagai contoh, di hutan Benak, terdapat banyak sumber daya bahan
baku seperti rotan, kulit kayu, pucot, purun, madu pelawan, kayu junjung, tumbuhan
kantung semar, kulat dan jamur, dan daun-daunan yang digunakan untuk membuat atap,
seperti daun mengkuang. Hal ini menjadi aspek penting dalam mendukung kehidupan
sehari-hari Orang Mapur dan memberikan kontribusi pada perekonomian mereka.
2.2 Tradisi beume
Kebiasaan yang masih dilestarikan oleh Orang Mapur hingga saat ini adalah praktik
budaya subsisten dengan menggunakan pola pertanian ladang berpindah. Dalam
penelitiannya (Jamilah Cholillah, 2015) menerangkan bahwa pola ladang berpindah ini
melibatkan penanaman komoditas seperti padi (beras merah) dan lada, yang dikenal
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
129
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
sebagai beume. Dengan pola pertanian ini, Orang Mapur memiliki kebebasan untuk
memanfaatkan sumber daya hutan. Pertanian padi dengan pola ladang berpindah tidak
hanya merupakan warisan budaya dari nenek moyang, tetapi juga mencerminkan filosofi
mereka dalam melestarikan dan menjaga lingkungan. Tradisi beume yang menghasilkan
beras merah, umumnya diwariskan dan dijalankan oleh berbagai komunitas adat. Ladang-
ladang padi (huma) dengan pola ladang berpindah dapat dengan mudah ditemukan
sepanjang kawasan hutan adat sekunder.
Orang Mapur memiliki kebiasaan tertentu selama periode antara penaburan benih
dan panen padi, di mana mereka menerapkan cara "nugel". Proses ini melibatkan lobang
tanah untuk menanam benih menggunakan kayu. Ketika padi sudah siap panen, mereka
melakukan kegiatan panen (ngetem) yang dikenal sebagai periode menunggu padi. Selama
waktu ini di Air Abik, Orang Mapur terlibat dalam berbagai aktivitas produktif, termasuk
mencari daun nipah dan rotan sebagai bahan anyaman, serta memancing dan berburu di
dalam hutan. Ketika masa panen padi tiba, seluruh keluarga dan tetangga turut serta dalam
kegiatan memanen padi. Hasil panen tersebut biasanya digunakan untuk konsumsi sehari-
hari dan jarang dijual. Puncak kegiatan selama masa panen padi beras merah adalah
penyelenggaraan sedekah kampung, yang dikenal sebagai nuju jerami.
2.3. Nujuh Jerami
Meskipun terdapat ancaman terhadap eksistensi Orang Mapur dari pengaruh
modernisasi yang tidak dapat dihindari, upaya mereka untuk bertahan dalam kondisi
tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai adat dan sistem keyakinan telah terinternalisasi
dalam kehidupan mereka. Berdasarkan hasil penelitian (Aimie Sulaiman, 2014), hingga saat
ini masih terdapat ritual-ritual yang mereka pertahankan, menandakan bahwa komunitas
Orang Mapur mampu merepresentasikan diri mereka sebagai warga negara yang harus
mendapatkan perhatian dan diakui sejajar dengan masyarakat tradisional lainnya. Salah satu
ritual yang dikenal luas dalam budaya Orang Mapur adalah Nujuh Jerami.
Secara terminologi, "nujuh" berarti ketujuh atau hari ketujuh, yang biasanya
digunakan untuk merujuk pada keadaan setelah seseorang meninggal dunia di hari ketujuh,
di mana dilakukan doa selamat. Sedangkan "jerami" merujuk pada batang padi. Dengan
demikian, ritual Nujuh Jerami dapat diartikan sebagai kegiatan doa selamat yang dilakukan
oleh Orang Mapur ketika panen padi tiba. Ritual ini merupakan ungkapan rasa syukur,
karena ladang (huma) mereka memperoleh hasil yang baik. Dengan kata lain, mereka
mengharapkan supaya leluhur mereka dapat melindungi ladang (huma) pada musim
berikutnya.
Menurut penuturan dari Orang Mapur (dalam Aimie Sulaiman, 2014) , tradisi dan
ritual Nujuh Jerami berawal dari leluhur mereka yang tinggal di hutan, yang pada awalnya
hanya beberapa kepala keluarga. Mereka meminta kepada roh gaib yang mereka yakini,
bahwa jika hasil panen padi melimpah dan berlanjut setiap tanggal dan bulan yang sama
hingga ke generasi berikutnya, maka mereka akan mengadakan syukuran nujuh jerami.
Tradisi ini masih dipegang teguh oleh Orang Mapur di dusun Pejem dan disebut juga
sebagai sedekah gebong atau sedekah kampung. Makna dari sedekah ini yakni berkumpul
bersama keluarga dan berbagi makanan dengan masyarakat sekitar. Tradisi nujuh jerami
diselenggarakan pada tanggal 13 bulan 3 menurut penanggalan Cina, yang kira-kira
bertepatan dengan bulan Februari untuk warga Dusun Air Abik. Sementara itu, untuk
penduduk Dusun Pejem, pelaksanaannya berlangsung pada tanggal 17 bulan 3.
Menurut Asi Harmoko, hari nujuh jerami juga dianggap sebagai perayaan penting
bagi warga Orang Mapur, selain menjadi waktu silaturahmi. Beberapa undangan hadir dari
Pejem, Mapur, Pugul, dan daerah sekitar Dusun Air Abik. Seluruhnya merupakan daerah
yang dihuni oleh Orang Mapur di Kabupaten Bangka. Ketika berkunjung, masyarakat akan
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
130
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
menikmati berbagai jenis kue kering dan minuman, serupa dengan suasana lebaran Idul
Fitri. Meskipun ada banyak hidangan yang tersedia, masyarakat diharuskan untuk
menikmati beras merah yang berasal dari ladang. Menjadi suatu keharusan untuk tidak
melewatkan makan beras merah ketika berkunjung, hal ini dilakukan agar hasil panen padi
yang ditanam dapat lebih diberkahi.
2.4. Pengetahuan tradisional tentang tumbuhan obat
Penggunaan tanaman obat di Dusun Air Abik sebagai obat herbal telah berlangsung
dalam kurun waktu yang cukup lama. Tanaman obat yang khas bagi Orang Mapur telah
menjadi pengetahuan umum dan dipercaya memiliki keampuhan dalam menyembuhkan
berbagai macam penyakit. Maka dari itu, penting untuk terus menjaga keberlanjutan
tanaman obat tersebut.
Berdasarkan sumber yang didapat dari penelitian (Budi Afriyansyah, 2022)
menerangkan bahwa sejak dulu masyarakat Orang Mapur mengandalkan berbagai jenis
tumbuhan sebagai solusi untuk mengatasi demam. Beberapa di antaranya penggunaan
daun karajunte sebagai lalapan, sedangkan tuba dan akar pisang rejang direbus dalam 4
gelas air sampai tersisa 2 gelas, lalu diminum. Kelapa muda, akar ilalang, dan kulit batang
juluk antu direbus dengan 2 gelas air sampai tersisa 1 gelas, dan air rebusan dapat direbus
beberapa kali hingga kehilangan rasa pahit.
Selain itu, hewan seperti ikan tanah/kaben dimanfaatkan dengan menumbuk bagian
kepala dan menempelkannya pada bagian kepala yang sakit. Cacing/geleng dapat
dikonsumsi secara langsung, begitu pula telur katak/mengkatek yang bisa dikonsumsi
untuk mengatasi demam. Pendekatan ini mencerminkan pemanfaatan sumber daya alam
lokal dalam upaya pengobatan tradisional.
Sedangkan untuk mengatasi penyakit batuk, Orang Mapur umumnya mengandalkan
berbagai tumbuhan sebagai pengobatan. Mereka menggunakan akar lunding dengan cara
memotongnya dan menampung airnya. Buah anggur hutan/gegareng dibakar dan
dikonsumsi saat masih panas, sementara lender lelambek dioleskan pada leher. Selain itu,
Orang Mapur memanfaatkan jahe merah dan jeruk nipis dalam kombinasi dengan madu
pahit. Mereka juga biasa menggunakan madu yang dikonsumsi sebelum tidur sambil
membacakan mantra, atau mengombinasikannya dengan jahe merah yang dibakar,
ditumbuk, direbus, disaring, dan dicampur dengan madu. Jeruk nipis diperas, dicampur
dengan madu, dan diminum sebagai upaya pengobatan yang diterapkan secara tradisional.
Sementara untuk mengatasi sakit kepala, mereka mengandalkan berbagai tumbuhan,
termasuk akar medangsang, akar puleh, akar kedamang, akar mensenong, akar mer, akar
kelingka, akar mencenak, akar mensepit, akar tulang dayang say. Cara penggunaannya
adalah dengan merebus semua akar tersebut dalam 4 gelas air hingga tersisa 2 gelas,
kemudian menambahkan setengah sendok teh garam jampi. Air rebusan akar tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam wadah, sementara semua akar yang telah direbus dapat
dikeringkan untuk digunakan kembali. Pendekatan ini mencerminkan penggunaan sumber
daya alam dan hewan lokal sebagai bagian dari praktik pengobatan tradisional.
Merujuk pada buku "Tumbuhan Obat Suku Lom" yang ditulis oleh (Budi
Afriyansyah dkk, 2013), terdapat setidaknya 50 jenis tanaman yang digunakan sebagai
bahan obat oleh Orang Mapur di Dusun Aik Abik dan Pejem. Namun, setelah banyak
hutan dikuasai oleh perusahaan kelapa sawit, sejumlah tanaman tersebut mulai sulit
ditemukan di dusun ini.Oleh sebab itu, Kekayaan Sumber Daya Alam yang melimpah di
Dusun Air Abik, khususnya tanaman obat, merupakan anugerah yang penting untuk dijaga
dan dilestarikan.
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
131
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
2.5. Pengetahuan tradisional tentang hutan
Orang Mapur yang tinggal di pedalaman, meskipun hidup dalam kondisi yang sangat
tertutup dan sulit dijangkau, memiliki kepercayaan yang sangat sakral terhadap hutan.
Pernyataan dari Hamid (dalam Cholillah, 2015), seorang penduduk Desa Gunung Muda
yang pernah berinteraksi dengan Orang Mapur di pedalaman, semakin menguatkan
keyakinan ini. Orang Mapur yang menetap di dalam hutan Benak hidup tersebar, dan
hanya sedikit yang hidup berdekatan atau berkelompok. Bagi mereka, hutan dan tanah
memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Hutan dianggap sebagai
sumber nafas kehidupan, dan lingkungan alam ini dianggap sebagai kawasan yang paling
utama dan perlu dilindungi dengan sungguh-sungguh.
Pandangan ini diperkuat oleh Nova Adelia sebagaimana dikutip oleh (Cholillah,
2015), melalui klasifikasi hutan Orang Mapur yang dibagi menjadi dua kategori, yakni
hutan adat dan hutan larangan. Kedua jenis hutan tersebut dilarang untuk dieksploitasi atau
dirusak, bahkan dalam rangka pembangunan. Menurut informasi dari Hamid, hutan adat di
Dusun Air Abik memiliki potensi besar dalam sumber daya alam dan kearifan lokal yang
eksotik. Hutan adat ini masih sangat alami dan jarang diakses oleh orang luar maupun
penduduk dari dalam Dusun Air Abik. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sarana jalan
yang memadai menuju hutan adat pedalaman. Akses ke kawasan hutan adat pedalaman di
Benak dilakukan dengan menyusuri batang kayu yang sengaja diletakkan di atas aliran
sungai, membuatnya sulit dijangkau oleh pengendara sepeda motor dan tidak dapat dilalui
oleh kendaraan roda empat.
Hutan adat pedalaman di Dusun Air Abik merupakan cadangan beragam sumber
daya alam, termasuk tumbuhan obat-obatan, rotan, akar kayu, serta berbagai jenis satwa
langka seperti tarsius, pelanduk, dan berbagai jenis burung lainnya. Beberapa jenis kayu
yang masih dapat ditemui meliputi kayu meranti, nyatoh, dan gaharu. Selain hutan adat,
hutan sekunder juga sering dimanfaatkan Orang Mapur sebagai lahan untuk bercocok
tanam padi lading, karet, dan lada. Hutan ini masih menyimpan berbagai jenis kayu,
seperti kayu dan madu pelawan, rotan yang digunakan untuk alat sunatan dan sebagai
bahan baku keruntong, serta daun bengkuang yang digunakan untuk bahan anyaman
kiding dan tikar. Semua ini mencerminkan betapa pentingnya upaya keberlanjutan dan
pelestarian sumber daya alam lokal di Dusun Air Abik.
Dalam tulisannya (Zulkarnain, 2018), menjelaskan bahwa Orang Mapur memiliki
cara pandang yang unik terkait pengelolaan lahan dan hutan. Pengelolaan hutan didasarkan
pada nilai-nilai spiritual (adat) dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan
ekonomi, serta bergotong royong dalam menjaga dan melestarikan hutan sebagai nilai-nilai
kearifan lokal yang arif terhadap alam. Dalam pengelolaan lahan dan hutan, mereka
membukanya dengan cara menebang dan membakar. Setelah itu, lahan yang telah dibakar
lalu dibersihkan dan ditanami bibit padi ladang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain
tanaman padi ladang, mereka juga menanam tanaman lain seperti lada, cabai, umbi-
umbian, serta membentuk perkebunan wanatani lokal. Selain itu, Orang Mapur
membangun rumah pondok di sekitar kebun atau ladang dan tinggal di sana sampai
tanaman siap panen dan dikonsumsi. Pada periode ini, aktivitas sehari-hari mereka
melibatkan berburu, mencari rotan, madu, dan menangkap ikan di sungai. Pendekatan ini
mencerminkan integrasi harmonis antara kebutuhan ekonomi, praktik pertanian tradisional,
dan pemahaman mendalam terhadap hutan yang melingkupi kehidupan sehari-hari mereka.
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
132
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
Tidak hanya itu, terdapat juga beberapa wilayah lain yang wajib untuk dijaga, yakni
Benak. Hal ini dilakukan untuk menjalankan ajaran dan tradisi leluhur di area hutan.
Benak yaitu wilayah hutan yang memiliki potensi besar yang menjamin kelangsungan
hidup Orang Mapur. Hutan yang masih tersisa ini menjadi tempat bagi mereka untuk
berteduh dan menaruh harapan, baik untuk diri mereka sendiri maupun untuk generasi
berikutnya, agar dapat terus hidup dengan cara yang layak dan alami. Melalui pengolahan
hutan yang dilakukan oleh Orang Mapur, wilayah Benak sebenarnya dianggap sebagai
Hutan Primer menurut pandangan kepercayaan mereka. Hutan di daerah tersebut dianggap
sebagai tempat yang sakral, yang diberikan penghormatan khusus dan harus dilindungi
sesuai dengan tradisi adat.
3. Tergerusnya ruang hidup dan kearifan lokal Orang Mapur
Pada tahun 2004 PT. GPL telah memperoleh izin perluasan perkebunan kelapa sawit
dari Pemerintah Kabupaten Bangka dengan luas sekitar 13.565 hektar. Perkebunan ini terletak
di Desa Gunung Muda, Desa Gunung Pelawan, Desa Mapur, dan Desa Silip yang berada di
Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Riau Silip. Semenjak hadirnya perusahaan PT. GPL
membuat perubahan yang sangat signifikan terhadap sosial, ekonomi, dan budaya Orang
Mapur.
Pembukaan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang didominasi oleh
perusahaan PT. GPL menyebabkan kesulitan bagi komunitas Orang Mapur dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh kian menyempitnya kawasan hutan
sebagai tempat tinggal dan sumber pendapatan utama mereka. Sebab, hutan merupakan
tempat mereka dapat bertahan hidup, bertani, mencari obat-obatan, madu, jamur, dan lainnya.
Dampak dari ekspansi perkebunan kelapa sawit ini secara pasti mempengaruhi aspek sosial
budaya, dengan semakin menjauhnya Orang Mapur dari akar sejarah mereka yang bergantung
pada alam serta kearifan lokal yang lahir sejak lama. Selain itu, terlihat bahwa tradisi
masyarakat mereka mengalami erosi dari budaya bertanam padi ladang
(
beume
)
ke aktivitas
pertambangan timah, buruh sawit, dan pekerjaan informal lainnya.
Asi Harmoko mengatakan bahwa Orang Mapur di Dusun Air Abik telah mewarisi
tradisi bertani di sekitar lereng Gunung Cundong dan Gunung Pelawan secara turun-temurun.
Namun, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, terjadi penurunan hasil panen padi
ladang. Pada bulan Januari 2023, satu hektar lahan hanya menghasilkan 300 kilogram padi,
sementara sebelumnya dapat mencapai 3-4 ton. Awalnya, dari total 150 kepala keluarga (KK)
di Dusun Air Abik, semuanya aktif berladang. Namun, saat ini, hanya beberapa belas orang
yang masih terlibat dalam pertanian di lahan seluas 10 hektar. Apalagi semenjak hadirnya
perkebunan kelapa sawit PT. GPL, membuat masyarakat benyak yang beralih untuk ikut
menanam sawit sekala kecil, menambang timah, dan pekerjaan informal lainnya. Apabila
hutan beralih fungsi ke penambangan timah dan perkebunan sawit, maka khawatir
masyarakat akan menjauhkan diri untuk bertani padi. Maka, dipastikan ritual nujuh jerami
sebagai budaya dan kearifan lokal juga ikut hilang secara perlahan.
Sebagai tambahan informasi, sebagaimana data yang dihimpun oleh Mongabay, yakni
berdasarkan peta indikatif wilayah adat Orang Mapur yang disusun oleh Walhi Prov. Kep.
Bangka Belitung, wilayah adat Orang Mapur (Karang Lintang) memiliki luasan mencapai
kurang lebih 37.000 hektar. Namun, sebagian besar dari wilayah tersebut saat ini telah
mengalami perubahan menjadi kawasan Alih Fungsi Lahan (APL) dan Hutan Produksi (HP),
yang diperuntukkan bagi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit seluas 8.000
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
133
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
hektar, Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 19 ribu hektar, dan Hutan Tanaman Industri
(HTI) sekitar 11 ribu hektar (Mongabay, 2023).
Menurut pernyataan Abok Geboi disela wawancara, beliau meyakinkan bahwa
masyarakat Orang Mapur sangat membutuhkan hutan untuk kelangsungan hidup. Tanpa
hutan, maka budaya, tradisi, dan kearifan lokal mereka tidak akan bisa dipertahankan oleh
generasi mendatang. Oleh karena itu, mereka sangat mengharapkan pemerintah supaya
mengembalikan hutan adat Orang Mapur untuk kelangsungan hidup serta mempertahankan
tradisi, adat, dan kearifan lokal sebagai identitas Orang Mapur secara khusus, dan identitas
Bangka Belitung secara umum yang hidup selaras dengan alam.
Hal senada juga disampaikan oleh Asi Harmoko, bahwa ratusan jiwa Orang Mapur,
baik yang menetap di Dusun Air Abik (280 jiwa), Dusun Pejem (143 jiwa), serta Dusun
Mapur, maupun di dusun lainnya yang belum terdata sangat mengharapkan hutan adatnya
dikembalikan dan diakui oleh negara. Sebelum kedatangan PT. GPL, masyarakat Orang
Mapur biasanya bergoyong royong menanam padi atau nugel. Mereka menaburkan benih ke
dalam lubang yang dibuat sebelumnya dengan cara menombakkan sebuah batang kayu ke
dalam tanah. Selain itu mereka menanam umbi-umbian, sayuran, tanaman rempah seperti
jahe, kunyit, dan kencur. Selain itu mereka juga berkebun sahang, karet, serta buah-buahan.
Masyarakat Orang Mapur juga mempunyai kebiasaan, yakni selesai mengurus ladang dan
kebun mereka biasanya mencari tanaman di dalam hutan seperti daun rumbia dan rotan
sebagai bahan anyaman. Mereka juga biasanya mencari tanaman obat, jamur, madu, dan ikan
di sungai ataupun rawa. Akan tetapi, mereka sekarang sudah jarang masuk ke dalam hutan,
dikarenakan hutan mereka sudah di klaim oleh perusahaan sawit. Sehingga mereka tidak bisa
lagi masuk dan memanfaatkan hutan yang menjadi kebutuhan hidup mereka.
Berdasarkan pernyataan dari Asi Harmoko, bahwa hutan yang masih tersisa saat ini
ialah hutan Benak. Masyarakat Orang Mapur merasakan pentingnya keberadaan hutan adat
Benak sangat mendalam, bahkan mereka meyakini bahwa kehilangan hutan tersebut akan
berakhirnya kehidupan dan tradisi mereka. Hutan adat ini dianggap sebagai tempat yang
sangat penting yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup dengan menyediakan
sumber daya seperti lahan pertanian, obat-obatan, madu, jamur, dan berbagai kebutuhan
lainnya. Keselarasan dengan alam dan ketergantungan pada hutan mencirikan hubungan yang
erat antara Orang Mapur dan lingkungan tempat mereka tinggal. Kehilangan hutan adat
Benak akan berimplikasi besar pada keberlanjutan kehidupan dan budaya mereka.
4. Kesimpulan
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyimpan potensi luar biasa dari segi sumber daya
alam dan kearifan lokal yang mampu memperkaya warisan budaya yang patut dibanggakan.
Salah satu potensi kearifan lokal yang tengah berkembang adalah milik masyarakat adat Orang
Mapur di Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka. Orang Mapur memiliki kearifan lokal yang
belum sepenuhnya diketahui oleh masyarakat umum. Potensi tersebut mencakup tradisi beume
(menanam padi ladang) yang masih dijaga, pengetahuan tradisional mengenai tumbuhan obat,
pemahaman tradisional tentang hutan, Nujuh Jerami, warisan bersejarah Orang Mapur, dan
lembaga adat yang masih teguh. Masyarakat adat Orang Mapur meyakini bahwa hutan, gunung,
sungai, tanah, dan hewan, yang merupakan elemen-elemen alam semesta, bersatu dengan roh
leluhur mereka. Oleh karena itu, mereka memandang perlu untuk memberikan penghargaan dan
hormat terhadap keseluruhan keberadaan tersebut.
Akan tetapi dengan berkembangnya era otonomi daerah, kearifan lokal yang dimiliki oleh
Orang Mapur mengalami gangguan karena adanya perusahaan perkebunan kelapa sawit yang
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
134
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
didominasi oleh PT. GPL yang melakukan perluasan lahan terutama di hutan adat Orang
Mapur. Perluasan ini, baik disadari maupun tidak, telah mengambil sebagian besar lahan hutan
adat yang selama ini dijaga dan dilestarikan untuk keberlanjutan hidup masyarakat dan
sekaligus menjaga ekosistem. Hilangnya eksistensi Orang Mapur tidak hanya berdampak pada
keberlangsungan hidup mereka sendiri, tetapi juga berarti kerusakan pada kawasan hutan yang
telah menjadi bagian integral dari kehidupan mereka. Hutan yang lestari bukan hanya sebagai
sumber kekayaan flora dan fauna, tetapi juga sebagai sumber napas kehidupan bagi Orang
Mapur. Selain itu, pengetahuan yang dimiliki oleh komunitas ini tentang pelestarian lingkungan,
termasuk penggunaan obat-obatan alami, code of conduct, tradisi beume, nujuh jerami, serta
kearifan lokal tentang pemanfaatan hutan juga akan hilang bersama dengan eksistensi mereka.
Hilangnya tradisi dan kearifan lokal tersebut berarti juga hilangnya identitas Orang Mapur yang
menjadi suku melayu tertua di Pulau Bangka yang hidup selaras dan arif terhadap alam.
Penting bagi pemerintah untuk menyelamatkan eksistensi Orang Mapur dengan cara
mengeluarkan peraturan daerah (perda) pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Orang
Mapur, karena mereka adalah pemelihara nilai-nilai luhur masyarakat di Pulau Bangka dan
Belitung. Masyarakat adat ini hidup secara harmonis dengan alam, dan melibatkan diri dalam
pelestarian lingkungan serta menjaga keselarasan antara manusia dan alam. Dukungan terhadap
Orang Mapur tidak hanya akan memastikan kelangsungan keberadaan mereka, tetapi juga
melestarikan kearifan lokal yang memiliki dampak positif terhadap keseimbangan ekologi dan
budaya di wilayah tersebut.
5. Ucapan Terima Kasih
Penulis ucapkan terima kasih kepada LPPM Universitas Bangka Belitung yang telah
menyediakan dana dalam program penelitian ini, sehingga penelitian ini bisa terlaksana
dengan baik. Selain itu, penulis juga berterima kasih kepada pihak Jurusan Sosiologi
Universitas Bangka Belitung yang telah membantu dalam bentuk sumbangan pemikiran
sampai penelitian ini berjalan dengan baik.
6. Daftar Pustaka
Sulaiman, A. (2014). Strategi Bertahan (Survival Strategy ); Studi Tentang Agama A Dat”
Orang Lom Di Desa Pejem, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Society, 2(1), 114.
https://doi.org/https://doi.org/10.33019/society.v2i1.45
Afriyansyah, B. (2013). Tumbuhan Obat Suku Lom. In UBB Press. Pangkal Pinang.
Afriyansyah, B. (2022). Potensi Obat Tradisonal untuk Mengatasi Gejala Awal dari Covid-19
Khas Suku Lom dan Suku Jerieng di Bangka. Jurnal Pendidikan MIPA, 12(2), 388
394. https://doi.org/https://doi.org/10.37630/jpm.v12i2.597
Ritzer, G. (2012). Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern (8th ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cholillah, J. (2015). Orang Lom: Masalah Sosial dan Ancaman Kearifan Lokal Dalam
Tinjauan Sosiologi. Society, 3, 5972.
https://doi.org/https://doi.org/10.33019/society.v3i2.49
Cholillah, J. (2017). Pengelolaan hutan berbasis budaya lokal di dusun pejam kabupaten
bangka. Society, V, 4558. https://doi.org/https://doi.org/10.33019/society.v5i1.19
Mongabay. (2022). Tergerusnya Hutan Adat Suku Melayu Tua di Pulau Bangka. Retrieved
from https://www.mongabay.co.id/2022/03/05/tergerusnya-hutan-adat-suku-melayu-
tua-di-pulau-bangka/
Academy of Education Journal
Vol. 15, No. 1, Januari 2024, Page: 121-135
ISSN: 1907-2341 (Print), ISSN: 2685-4031 (Online)
135
Budi Darmawan et.al (Tergerusnya kearifan lokal .)
Mongabay. (2023). Nujuh Jerami dan Upaya Pengakuan Wilayah Adat Suku Mapur di Air
Abik. Retrieved from https://www.mongabay.co.id/2023/05/29/nujuh-jerami-dan-
upaya-pengakuan-wilayah-adat-suku-mapur-di-air-abik/
Tumanggor, R. (2017). Pemberdayaan kearifan lokal memacu kesetaraan komunitas adat
terpencil . Sosio Konsepsia: Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan
Sosial, 12(1), 117. https://doi.org/https://doi.org/10.33007/ska.v12i1.615
Zulkarnain, I. (2014). Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pemetaan Partisipatif Untuk
Identifikasi Dan Pemetaan Wilayah Adat Suku Lom Di Kecamatan Belinyu Kabupaten
Bangka. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Bangka Belitung, 1(1), 9
17.
Zulkarnain, I. (2018). Pembungkaman Suara Politik Pengakuan Masyarakat Adat Dalam
Perspektif Ekonomi Politik (Studi Kasus di Suku Mapur Lom Bangka Belitung).
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(2), 237245.