bukan hanya sekadar kewajiban terkait hukum saja tetapi juga terkait dengan potensinya untuk
meningkatkan sikap menghargai hak dan kewajiban orang lain, karena melalui pendidikan lah
hak dan kewajiban bisa diajarkan kepada anak. Sependapat dengan Covel dan Howe, dalam
jurnal Ann dan Mikael Quennerstedt (2014) juga menyebutkan bahwa hak untuk memiliki
akses ke dan menerima pendidikan adalah aspek hak utama dari pendidikan, tetapi elemen
pendidikan yang sama pentingnya adalah hak pendidikan dan peran pendidikan untuk
menghormati dan mengembangkan lebih lanjut kemampuan anak-anak dan remaja untuk
menikmati dan memberlakukan hak. Hak atas pendidikan erat kaitannya dengan institusi
pendidikan sebagai saluran hak, sehingga hak atas pendidikan adalah hal yang paling dasar
yang harus terpenuhi agar setiap orang dapat memperjuangkan haknya (McCowan, 2014).
Di Indonesia, hal tersebut dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 31 ayat 1 mengamanatkan bahwa setiap warga
negara berhak untuk mendapatkan pendidikan. Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan
Internasional Ekonomi Sosial dan Budaya pada tahun 2005, hal tersebut mengakibatkan
Indonesia harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam kovenan tersebut.
Dalam Pasal 13 ayat 1 Kovenan Internasional Ekonomi Sosial dan Budaya disebutkan bahwa:
The states parties to the present covenant recognize the right of everyone to education.
They agree that education shall be directed to the full development of the human personality
and the sense of its dignity and shall strengthen the respect for human rights and fundamental
freedoms. They further agree that education shall enable all persons to participate effectively
in a free society, promote understanding, tolerance, and friendship among all nations and all
racial, ethnic, or religious groups, and further the activities of the United Nation for the
maintenance of peace.
Dengan demikian berdasarkan Kovenan Internasional tersebut Indonesia haruslah
mengakui hak pendidikan bagi semua warga negaranya sebagai bentuk penguatan
penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia juga menekankan pentingnya pemenuhan pendidikan. Hal itu dinyatakan pada
Pasal 12 yang isinya: “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya,
untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya
agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia,
dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.”
Komitmen pemerintah untuk melakukan pemenuhan hak pendidikan tidak hanya sebatas
tertuang didalam UUD saja, hal tersebut terealisasi melalui berbagai UU dan program –
program kerja pemerintah. Salah satu amanat dalam UUD dan UU adalah terkait pembiayaan
dan beasiswa bagi anak-anak. Untuk melaksanakan amanat tersebut pemerintah
mencanangkan beberapa program diantaranya adalah BOS dan KIP. BOS adalah Bantuan
Operasional Sekolah yang termasuk kedalam program kompensasi pengurangan subsidi bahan
bakar minyak (PKPS-BBM) dalam bidang pendidikan. KIP adalah Kartu Indonesia Pintar
yang merupakan salah satu program dari Presiden Joko Widodo yang diberikan kepada
keluarga yang tidak mampu yang masih menyekolahkan anaknya yang berusia 7 – 18 tahun.
Namun meskipun pemerintah sudah berusaha semaksimal mungkin tetapi pada
kenyataannya belum semua anak mendapatkan akses pendidikan. Sampai saat ini di Indonesia,
angka putus sekolah masih cukup tinggi. Menurut data dari Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) jumlah anak yang tidak bersekolah mencapai
4.586.332 anak. Sedangkan menurut data dari Kemendikbud hingga tahun 2018 jumlah anak
putus sekolah dari SD hingga SMA sekitar 300.000 anak. Angka dari TNP2K adalah angka
keseluruhan jumlah siswa yang tidak mengenyam bangku pendidikan, sedangkan angka dari
Kemendikbud adalah jumlah anak yang bersekolah namun putus ditengah jalan (tempo.co,
2019).