karakter dalam lingkup komunitas sekolah yang mencakup nilai-nilai pengetahuan, kesadaran
atau kemauan dan tindakan untuk mengimplementasikan nilai-nilai tersebut. Berbeda dengan
Yuami (2014), yang mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang sengaja
dilakukan oleh pihak sekolah untuk menumbuhkan karakter optimal dengan menggunakan
seluruh potensi dan dimensi kehidupan sekolah. Berdasarkan dua definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan penanaman nilai-nilai baik terhadap setiap
diri seorang individu untuk dapat diimplementasikan di dalam kehidupan sehari hari.
Menurut Aqib dan Sujak (2011), individu yang berkarakter merupakan individu yang
melakukan hal-hal terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa, dan
negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi
(pengetahuan) dirinya dan disertai kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya). Karakter
memang sesutau hal yang sudah melekat pada diri seseorang sejak lahir, tapi karakter dapat
dikembangkan melalui pembiasaan-pembiasaan sejak dini dalam lingkungan.
Pembentukan karakter di dalam lingkungan pendidikan menerapkan proses sosial yang
mengarahkan generasi bangsa. Dijelaskan oleh Ahmad Husen (dalam Tiara: 2016) bahwa
sekolah atau perguruan tinggi memiliki pengaruh dan dampak terhadap karakter siswa, baik
sengaja maupun tidak. Ini menjadi titik poin bahwa tugas, tanggungjawab dan tantangan bagi
lembaga pendidikan untuk melakukan pendidikan moral dan pembentukan karakter.
Salah satu karakter untuk menjawab tantangan jaman di era globalisasi ini adalah karakter
nasionalisme. Nasionalisme dalam diri bangsa ini cukup tertanam kuat di era kolonialisme dan
imperialisme dulu. Perasaan senasib sepenanggungan akibat penjajahan pemerintah Hindia
Belanda membuat masyarakat Indonesia bersatu, puncaknya ketika para cendekiawan muda
berkumpul dalam sebuah Kongres Pemuda II tahun 1928 di Jakarta. Kongres Pemuda II ini
menghasilkan sebuah keputusan yang dikenal dengan Sumpah Pemuda, isinya tentang
pernyataan memiliki tanah air dan bangsa yang satu yaitu Indonesia serta menjunjung tinggi
bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Nasionalisme saat itu kemudian dilanjutkan dan
dipertahankan hingga terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
(Argenti: 2017).
Memupuk sikap nasionalisme bangsa ini bukanlah hal yang mudah di era digital saat ini.
Kemajuan teknologi sebenarnya juga tidak membawa dampak langsung bagi lunturnya
nasionalisme. Kekhawatirannya sebatas apabila generasi saat ini tidak lagi menjadikan sikap
ini sebagai landasan dasar dalam kehidupan berbangsa. Hal ini disebabkan globalisasi telah
menghapus batasan-batasan antar negara. Indikator penting lainnya adalah bagaimana tetap
memupuk integrasi nasional di tengah tantangan zaman yang semakin maju.
Pentingnya langkah-langkah strategis untuk memupuk kesadaran tentang pentingnya
karakter nasionalis bagi seluruh bangsa ini. Komitmen menjaga keutuhan bangsa dan
meneguhkan persatuan dan kesatuan perlu untuk terus di revitalisasi. Hal ini dikarenakan
ancaman internal maupun eksternal terus menghantui kedaulatan negara. Menyadarkan setiap
generasi akan tujuan dan cita-cita pendiri bangsa dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
serta membagun visi besar untuk menjadi bangsa yang berdaulat serta menjunjung hak setiap
warga yang terikat dengan janji luruh untuk bersama-sama menuju dan mewujudkan keadilan
dan kemakmuran masyarakat (Saputra: 2007) menjadi pekerjaan bersama saat ini.
Tersaji dalam majalah Kompas membuktikan bahwa terjadi aspek penurunan
nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nasionalisme bukan hanya sekedar
menghargai jasa pahlawan tapi lebih dari itu. Nasionalisme saat ini adalah tentang bagaimana
masyarakat Indonesia dapat mengintegrasikan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang
kenyataannya disetiap sudut Indonesia berbeda ini ke dalam setiap kehidupan. Intinya
menanamkan nasionalisme di tengah heterogenitas budaya Indonesia untuk integrasi nasional
atau dapat dikatakan yang dapat terbingkai dalam Bhinneka Tunggal Ika.