buku, website, jurnal dan dokumen terkait lainnya yang dapat mendukung semua data yang
diperlukan untuk penelitian ini.
3. Hasil dan Pembahasan
Untuk Masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang hidup dalam lingkup
budayanya masing-masing. Budaya yang beraneka ragam ini menunjukkan bahwa masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Setiap masyarakat pasti menciptakan kebudayaan
mereka yang khas. Berdasarkan pada proses kemunculan tradisi Grebeg Apem menunjukkan
bahwa sebenarnya Grebeg Apem adalah ritual yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan
suci Ramadhan. Masyarakat Kabupaten Jombang sangat menjunjung tinggi tradisi ini,
terbukti setiap tahun tradisi ini tak pernah absen dari perayaan masyarakat (Abidin, 2009).
Clifford Geertz menegaskan bahwa kegiatan budaya manusia merupakan hal yang luar
biasa dan sangat khas. Grebeg Apem berupa arak-arakan gunungan kue apem ini memiliki
makna filosofis. Kue apem mempunyai filosofi yang harus selalu menjadi pegangan warga
kota santri. Apem diambil dari bahasa arab, “afwan”, artinya meminta pengampunan dari
Allah SWT. Selain itu, tradisi ini juga sebagai peringatan untuk saling memaafkan antar
sesama manusia untuk menyambut bulan suci Ramadhan, bulan penuh rahmat dan ampunan.
Tradisi Grebeg Apem ini menunjukkan adanya akulturasi dalam tradisi keagamaan, di
mana elemen-elemen budaya dari berbagai sumber atau agama yang berbeda berinteraksi dan
berdampingan dalam praktik keagamaan. Hal ini terjadi ketika agama-agama yang berbeda
atau keyakinan spiritual bertemu dan saling berpengaruh dalam konteks tradisi keagamaan
tertentu. Dalam konteks tradisi Grebeg Apem ini terjadi percampuran antara budaya Jawa
dengan agama Islam. Masyarakat mengadopsi nilai dari keduanya untuk menciptakan suatu
tradisi yang mereka hidupi di ruang sosial.
Akulturasi budaya lokal merujuk pada proses di mana unsur-unsur budaya lokal suatu
masyarakat berinteraksi dengan pengaruh budaya luar yang datang dari luar wilayah tersebut.
Hal ini dapat terjadi ketika budaya luar masuk ke dalam suatu komunitas lokal melalui
berbagai jalur seperti perdagangan, migrasi, kolonialisasi, atau perkawinan antarbudaya.
Proses akulturasi budaya lokal melibatkan adopsi, adaptasi, dan penggabungan unsur-unsur
budaya baru ke dalam budaya lokal yang telah ada. Unsur-unsur budaya baru tersebut dapat
berupa bahasa, makanan, pakaian, musik, seni, agama, sistem nilai, teknologi, dan tradisi
sosial lainnya. Proses ini berdampak pada perubahan dan evolusi budaya lokal, menghasilkan
budaya yang lebih kompleks dan multidimensi. Proses akulturasi budaya lokal juga dapat
terlihat dalam interaksi antara budaya asli dengan budaya global yang lebih luas (Roszi, 2018).
Dalam proses akulturasi dalam tradisi keagamaan, unsur-unsur agama seperti ritual, doa,
ibadah, praktik spiritual, dan doktrin keagamaan dapat dipengaruhi oleh budaya lokal atau
agama-agama lain yang ada dalam suatu komunitas. Interaksi ini dapat menghasilkan bentuk
baru dari tradisi keagamaan yang menggabungkan unsur-unsur dari berbagai sumber. Proses
akulturasi dalam tradisi keagamaan dapat memberikan kekayaan dan variasi dalam praktik
keagamaan. Namun, proses ini juga dapat menimbulkan tantangan dan konflik dalam hal
penafsiran dan penyesuaian keyakinan keagamaan. Pertentangan nilai-nilai atau konflik
interpretasi sering kali muncul ketika unsur-unsur budaya atau agama baru bertentangan
dengan praktik yang sudah mapan atau keyakinan yang sudah ada dalam tradisi keagamaan
lokal (Muhammad, 2020).
Perlu dicatat bahwa akulturasi agama dan budaya dalam budaya lokal tidak selalu berarti
penggantian budaya asli dengan budaya agama baru. Dalam beberapa kasus, budaya lokal
mampu menyerap dan mengintegrasikan elemen-elemen agama baru ke dalam praktik dan
tradisi mereka, sambil mempertahankan identitas budaya yang unik. Penting untuk melihat
akulturasi agama dan budaya dalam budaya lokal sebagai sebuah proses dinamis yang
melibatkan dialog, negosiasi, dan transformasi. Proses ini membutuhkan penghormatan