partisipasi warga sekolah dalam pengambilan keputusan,makin besar rasa memeliki
terhadap sekolah, dan makin besar pula rasa tanggub jawabnya.yang demikian ini berarti
bahwa perubahan lebih di sebabkan oleh dorongan internal sekolah dari pada tekanan
dari luar sekolah.
d. Telah lama pengaturan yang bersifat birokratik lebih dominan dari pada tanggub jawab
professional, sehingga kreativitas sekolah pada umummya dan guru pada khususnya
terpasung dan bahkan terbunuh. Tidak jarang pula di jumpai bahwa formalitas sering
jauh melampaui hakiki. Yang lebih parah lagi guru-guru kehilangan jiwa
kependidikanya. Mendidik tidak lebih dari sekedar pengenalan nilai nilai,yang hasilnya
hanya berupa pengatahuan nilai (logos) dan belom sampai pada penghayatan nilai (etos),
apa lagi sampai pengamalanya. Akibatnya, menurut Abrijal (1999:57) proses belajar
mengajar di sekolah lebih memengtinkan jawaban baku yang di anggap benar oleh guru,
disbanding dengan kreasi,nalar,dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan
kemungkinan kemungkinan baru. Tidak ada keterbukaan dan demokrasi. Tida da
toleransi pada kekeliruan akibat kreatufitas berpikir, karena yang benar adalah apa yang
di persepsikan benar oleh guru, sehingga yang terjadi hanyalah memorisasi dan recal dan
tidak dihargainya kreatifitas dan kemampuan peserta didik. Pada hal pembelajaran yang
sebenarnya semestinya lebih mementingkan pada proses pencarian jawaban di banding
memiliki jawaban.
e. Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) beasal dari tiga kata yaitu manajemen,
berbasi, dan sekola. Manajemen adalah pengkordinasian dan pengerasian sumber daya
melalui sujumlah imput manajemen untuk mencapi tujuan atau untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan. Imput manajemen terdiri dari tugas rencana, program, limitasi yng
terwujud dalam bentuk ketentuan-ketentuan. Pengertian manajemen tersebut, menurut
Poernomosidi Haji Sarosa (1997:36) dapat dilukiskan seperti gambar 1 berikut dengan
keterangan : SDM/ M (sumber daya mnusia manajer) mengatur sumber daya manusia
pelaksana (SDM/P) melalui imput manajemen yang terdiri dari (T = tugas, R = rencana,
P = program, T3 = tindakan turun tangan, K = kesan) agar SDM – P menggunakan jasa
manusianya (JM) untuk bercampur tangan terhadap sumber daya selebihnya (SD-
SLBH), sehingga proses dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output.
f. Dari uraian tersebut dapat dirangkum bahwa manajemen berbasis sekolah adalah,
pengkordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otonomis
(mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah imput manajemen untuk mencapai sekolah
dalam kerangka pendidilan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan
yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan
(partisipati). Kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah meliputi : kepala
sekola dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga adiminstratif, orang tua siswa,
masyarakat, para professional, wakil pemerintah, wakil organisasi pendidikan.
Kembali lagi bahwa, prinsip pengelolaan pendidikan di Era Otonomi Daearh bernapaskan
pada kewenangan/ kemandirian, yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya
sendiri, dan mereka/tidak tergantung pada pusat (Undang-Undang NO. 22 Tahun 1999 tentang
pemerintah daerah) istilah otonomi juga sama dengan istilah swasembada, swakelola,
swakarya, swalaya, dan swa-swa lainya. Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat disimpulkan
bahwa otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan warga sekola menerut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekola sesuai
dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja
kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan
mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan
pendapat, kemampuan memoblisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang