1. Pendahuluan
Pada era milenial pendidikan menjadi wacana yang menarik bagi masyarakat, terutama
ketika isu pendidikan diangkat sebagai wacana publik.Berbeda dengan masyarakat tradisional,
pendidikan informal dan nonformal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan. Pendidikan didalam bentuknya yang sederhana, merupakan bagian dari struktur
kehidupan masyarakat. Bentuk sederhana kecendrungan masyarakat yang menempatkan
pendidikan sebagai unsur vital dalam aktivitas keseharianya, yakni apa yang berhasil di
populerkan oleh Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu. Melalui aktivitas akademiknya, berhasil
menemukan thesa bahwa pendidikan sebagai unsur vital dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa haruslah mampu menjadi kekuatan perubah atau alat transformasi sosial serta
transmisi kebudayaan (H.A. R. Tilaar & Riant Nugroho 2012:2).
Cikal bakal pelaksanaan pendidikan sebagai transmisi kebudayaan ini dalam konteks
Indonesia telah dijalankan diseluruh pelosok Nusantara terutama pada masa pra
kemerdekaan seperti gerakan yang dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara dan Romo Mangun
serta tokoh-tokoh lain. Upaya sederhana yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara (2004:12)
ketika itu, yakni mengembalikan fungsi kemerdekaan individu dan keluarga dalam mengikuti
pendidikan. Sebab pola pelaksanaan pendidikan dimasa kolonial terbukti menghilangkan
hak masyarakat atas pendidikan, yang akibatnya menjadikan generasi Indonesia ketika itu
menjadi generasi yang terbelakang, bodoh, rendah hati, dan menjadi Bangsa kuli (H.A. R.
Tilaar & Riant Nugroho 2012:48). Sebagai bentuk perlawanan atas tatanan sistem yang
memperdaya yang ditanamkan kekuasaan Kolonial dalam bentuk pembatasan masyarakat
untuk mengikuti pendidikan, maka Ki Hadjar Dewantara tampil sebagai antagonis atas sistem
picik yang memperdaya tersebut (H.A. R. Tilaar & Riant Nugroho 2012:49).
Sebagai politikus sekaligus Nasionalis Ki Hadjar Dewantara dengan gigih
mempropagandakan perjuangan kemerdekaan yang tidak hanya mengarah pada jalur politik
atau aspek fisik (peperangan) tetapi juga melalui perubahan tingkah laku dan watak
manusia Indonesia untuk berdiri sendiri. Yang kemudia isi propaganda ini menjadi semacam
roh Taman Siswa sebagai salah satu lembaga pendidikan formal inklusif yang mempasilitasi
peserta didik asal pribumi untuk mengikuti pendidikan. Asas-asas Taman Siswa tersebut
tidak terlepas dari lingkungan pada waktu itu, yaitu lingkungan kekuasaan Kolonial yang
begitu kuat selama lebih dari 350 tahun yang telah membuat generasi bangsa menjadi generasi
yang kerdil, takut, tidak percaya diri, dan bodo (H.A. R. Tilaar & Riant Nugroho 2012:49).
Kepiawaian Ki Hadjar Dewantara dalam propagandanya ini, dapat dilihat dari kemampuanya
mengawinkan dua disiplin ilmu antara ilmu politik (political science) dengan ilmu pendidikan
(pedagogik). Suatu gagasan inovatif yang sangat jenius yang hanya dapat kita lihat dalam
perkembangan pedagogik modern abad XXI. Diketahui pada abad ini, terjadi
perkembangan ilmu pendidikan modern yang melihat bahwa ilmu pendidikan tidak terlepas
dari ilmu politik serta ilmu-ilmu sosial yang lain, bahkan dengan ilmu-ilmu manusia (human
sciences) seperti ilmu biologi dalam hal ini neuroscience. Paling tidak terdapat tiga asas yang
merupakan roh dari Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan pembebasan masyarakat dari
kungkungan sistem kolonial, yakni : pertama, asas kemandirian manusia, Kedua, asas
sistem among yang merupakan habitus dari perkembangan prinsip kemandirian tersebut,
Ketiga, habitus budaya termasuk lingkungan alamiah dimana terjadi perwujudan kemandirian
dan sistem among tersebut (Sajoga 1922:65).
Asas kemandirian, merupakan doktrin bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
berdiri sendiri dan mampu melindungi eksistensinya. Yang hal ini dalam bahasa belanda
dikenal dengan istilah sereh but the seking rehet, yang artinya asas untuk mengatur diri sendiri,
bertanggung jawab atas keberdayaan diri sendiri tanpa tergantung kepada orang lain. Hal ini