AoSSaGCJ, Vol. 1, Issue 1, (2021) page 40-61
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
ISSN: xxxx-xxxx (Print) xxxx-xxxx (Online)
Journal Homepage: https://jurnal.ucy.ac.id/index.php/AoSSaGCJ/index
40
10.47200/AoSSaGCJ. v1i1.1624 aossagcj@gmail.com
Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas
Pembelajaran di Sekolah menurut konsep Ki Hadjar
Dewantara dan Romo Mangun
La Alidono A.,
a,1*
, Intan Kusumawati
b,2
a,b
Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Gambiran, Umbulhrajo, Kota Yogyakarta, Kode Pos 55161
Email: alidonoanantola@gmail.com
*
Corresponding Author
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 24 Januari 2021
Direvisi: 20 Maret 2021
Disetujui: 18 Mei 2021
Tersedia Daring: 1 Juni 2021
Adapun latar belekang penelitian ini adalah sebuah penelitian yang
mencoba menggali peran keluarga dalam mendorong kualitas
pembelajaran di sekolah menurut konsep Ki Hadjar Deawantara dan
Romo Mangun. Dua gagasan tokoh pendidikan yang cobah
diketengahkan dalam karya sederhana ini diakui mampu menjawab
tantangan pelaksanaan pendidikan kekinian yang dinilai masih jauh
dari harapan masyarakat. Dimana pelaksanaan pendidikan masih
dijalankan secara mekanik yang terbukti menjauhkan siswa dari
kebudayaanya dan pengelolaan pendidikan yang dijalankan dengan
prinsip profit oriented (mencari keuntungan). Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kepustakaan
(library research). Adapun tekhnik pengumpulan data dalam penelitian
ini yakni perpustakaan melalui sumber-sumber tertulis seperti buku,
jurnal, laporan penelitian, dan sumber dari internet. Sedangkan tehnik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, yakni analisis
deskriptif. Hasil penelitian ini antara lain sebagai berikut : Pertama, Ki
Hadjar Dewantara, gagasan pemikiran pendidikanya berorientasi pada
asas kemandirian manusia, peserta didik diberi kebebasan dalam
mengenali kebudayaanya, dan prinsip kebersamaan. Kedua, Romo
Mangun, menekankan pentingnya pendidikan berorientasi pada
menghumaniskan pelaksanaan pendidikan dengan konsep Dinamika
Edukasi Dasarnya (DED) dan membekali masyarakat kecil dan
kelompok lemah untuk mengenali haknya dalam pendidikan. Ketiga,
Relevansi gagasan pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Romo Mangun
terhadap pelaksanaan pendidikan saat ini, yakni bahwa pengelolaan
pendidikan saat ini berjalan tanpa orientasi yang jelas dan cenderung
bersifat profit oriented tanpa memperhatikan out put yang jelas.
Akibatnya, out put pendidikan tidak bisa menjawab kebutuhan peserta
didik dan relatif menjauhkan siswa dengan kebudayaanya serta
pendidikan dapat mengeksploitasi peserta didiknya. Karena itu,
penting konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Romo Mangun
untuk diterapkan kembali guna mengatasi problem pendidikan saat ini.
Adapun saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Desain
kebijakan pendidikan sebelum diberlakukan harus melewati tahap
sosialisasi dengan orang tua peserta didik atau masyarakat sehingga
masyarakat lebih-lebih orang tua peserta didik bisa memahami maksud
dan tujuan kebijakan tersebut, (2) Pengelolaan pembelajaran
semaksimal mungkin harus melibatkan orang tua peserta didik seperti
penentuan keputusan strategis yang berkaitan dengan masa depan
peserta didik, (3) Pelaksanaan pembelajaran di sekolah hendaknya
bebas dari praktik diskriminatif dan bentuk-bentuk ketidak adilan,
menjauhkan siswa dengan lingkunganya, (4) Kerja sama antara
manajemen sekolah dengan orang tua peserta didik harus terus
ditingkatkan agar terjadi sinergi antara sekolah dengan orang tua
Kata Kunci:
Keluarga
Ki Hadjar Dewantara
Pembelajaran
Romo Mangun
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
41
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
peserta didik dalam meningkatkan tumbuh kembang peserta didik baik
dilingkungan sekolah maupun diluar sekolah.
ABSTRACT
Keywords:
Family
Ki Hadjar Dewantara
Learning
Romo Mangun
The background of this research is a study that tries to explore the role
of the family in encouraging the quality of learning in schools according
to the concept of Ki Hadjar Deawantara and Romo Mangun. The two
ideas of educational figures that are presented in this simple work are
recognized as being able to answer the challenges of implementing
contemporary education which is considered to be far from the
expectations of the community. Where the implementation of
education is still carried out mechanically which is proven to distance
students from their culture and the management of education is carried
out with the principle of profit oriented (seeking profit). The type of
research used in this study uses a library research approach . The data
collection technique in this study is a library through written sources
such as books, journals, research reports, and sources from the
internet. Meanwhile, the data analysis technique used in this study is
descriptive analysis. The results of this study include the following:
First, Ki Hadjar Dewantara, the idea of educational thinking is oriented
towards the principle of human independence, students Given freedom
in recognizing its culture, and the principle of togetherness. Second,
Romo Mangun, emphasized the importance of education oriented
towards humanizing the implementation of education with the concept
of Basic Education Dynamics (BED) and equipping small communities
and groups weak to recognize his right in education. Third, the
relevance of the educational ideas of Ki Hadjar Dewantara and Romo
Mangun to the current implementation of education, namely that the
current management of education runs without clear orientation and
tends to be profit oriented without regard to clear out puts. As a result,
out put education cannot answer the needs of learners and relatively
distances students from their culture and education can exploit its
learners. Therefore , it is important that the educational concept of Ki
Hadjar Dewantara and Romo Mangun be reapplied to overcome
current educational problems. The suggestions in this study are as
follows : (1) The design of education policies before they are
implemented must pass the socialization stage with the parents of
students or the community so that the community moreover, parents of
students can understand the purpose and objectives of the policy, (2)
The management of learning as much as possible must involve the
parents of students such as determining the determination of strategic
decisions relating to the future of learners, (3) The implementation of
learning in schools should be free from discriminatory practices and
forms of injustice , distancing students from their environment, (4)
Cooperation between school management and parents of students
must continue to be improved so that there is synergy between schools
with parents of students in improving the growth and development of
students both in the school environment and outside the school.
© 2021, A., L. A., & Kusumawati, I.
This is an open access article under CC BY-SA license
AoSSaGCJ, Vol. 1, Issue 1, (2021) page 40-61
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
ISSN: xxxx-xxxx (Print) xxxx-xxxx (Online)
Journal Homepage: https://jurnal.ucy.ac.id/index.php/AoSSaGCJ/index
42
10.47200/AoSSaGCJ. v1i1.1624 aossagcj@gmail.com
1. Pendahuluan
Pada era milenial pendidikan menjadi wacana yang menarik bagi masyarakat, terutama
ketika isu pendidikan diangkat sebagai wacana publik.Berbeda dengan masyarakat tradisional,
pendidikan informal dan nonformal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan. Pendidikan didalam bentuknya yang sederhana, merupakan bagian dari struktur
kehidupan masyarakat. Bentuk sederhana kecendrungan masyarakat yang menempatkan
pendidikan sebagai unsur vital dalam aktivitas keseharianya, yakni apa yang berhasil di
populerkan oleh Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu. Melalui aktivitas akademiknya, berhasil
menemukan thesa bahwa pendidikan sebagai unsur vital dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa haruslah mampu menjadi kekuatan perubah atau alat transformasi sosial serta
transmisi kebudayaan (H.A. R. Tilaar & Riant Nugroho 2012:2).
Cikal bakal pelaksanaan pendidikan sebagai transmisi kebudayaan ini dalam konteks
Indonesia telah dijalankan diseluruh pelosok Nusantara terutama pada masa pra
kemerdekaan seperti gerakan yang dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara dan Romo Mangun
serta tokoh-tokoh lain. Upaya sederhana yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara (2004:12)
ketika itu, yakni mengembalikan fungsi kemerdekaan individu dan keluarga dalam mengikuti
pendidikan. Sebab pola pelaksanaan pendidikan dimasa kolonial terbukti menghilangkan
hak masyarakat atas pendidikan, yang akibatnya menjadikan generasi Indonesia ketika itu
menjadi generasi yang terbelakang, bodoh, rendah hati, dan menjadi Bangsa kuli (H.A. R.
Tilaar & Riant Nugroho 2012:48). Sebagai bentuk perlawanan atas tatanan sistem yang
memperdaya yang ditanamkan kekuasaan Kolonial dalam bentuk pembatasan masyarakat
untuk mengikuti pendidikan, maka Ki Hadjar Dewantara tampil sebagai antagonis atas sistem
picik yang memperdaya tersebut (H.A. R. Tilaar & Riant Nugroho 2012:49).
Sebagai politikus sekaligus Nasionalis Ki Hadjar Dewantara dengan gigih
mempropagandakan perjuangan kemerdekaan yang tidak hanya mengarah pada jalur politik
atau aspek fisik (peperangan) tetapi juga melalui perubahan tingkah laku dan watak
manusia Indonesia untuk berdiri sendiri. Yang kemudia isi propaganda ini menjadi semacam
roh Taman Siswa sebagai salah satu lembaga pendidikan formal inklusif yang mempasilitasi
peserta didik asal pribumi untuk mengikuti pendidikan. Asas-asas Taman Siswa tersebut
tidak terlepas dari lingkungan pada waktu itu, yaitu lingkungan kekuasaan Kolonial yang
begitu kuat selama lebih dari 350 tahun yang telah membuat generasi bangsa menjadi generasi
yang kerdil, takut, tidak percaya diri, dan bodo (H.A. R. Tilaar & Riant Nugroho 2012:49).
Kepiawaian Ki Hadjar Dewantara dalam propagandanya ini, dapat dilihat dari kemampuanya
mengawinkan dua disiplin ilmu antara ilmu politik (political science) dengan ilmu pendidikan
(pedagogik). Suatu gagasan inovatif yang sangat jenius yang hanya dapat kita lihat dalam
perkembangan pedagogik modern abad XXI. Diketahui pada abad ini, terjadi
perkembangan ilmu pendidikan modern yang melihat bahwa ilmu pendidikan tidak terlepas
dari ilmu politik serta ilmu-ilmu sosial yang lain, bahkan dengan ilmu-ilmu manusia (human
sciences) seperti ilmu biologi dalam hal ini neuroscience. Paling tidak terdapat tiga asas yang
merupakan roh dari Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan pembebasan masyarakat dari
kungkungan sistem kolonial, yakni : pertama, asas kemandirian manusia, Kedua, asas
sistem among yang merupakan habitus dari perkembangan prinsip kemandirian tersebut,
Ketiga, habitus budaya termasuk lingkungan alamiah dimana terjadi perwujudan kemandirian
dan sistem among tersebut (Sajoga 1922:65).
Asas kemandirian, merupakan doktrin bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
berdiri sendiri dan mampu melindungi eksistensinya. Yang hal ini dalam bahasa belanda
dikenal dengan istilah sereh but the seking rehet, yang artinya asas untuk mengatur diri sendiri,
bertanggung jawab atas keberdayaan diri sendiri tanpa tergantung kepada orang lain. Hal ini
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
43
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
juga mengimplikasikan bahwa seseorang tidak mempunyai hak untuk merampas kemandirian
orang lain (H.A. R. Tilaar & Riant Nugroho 2012:50). Artinya, bahwa hak untuk menjadi diri
sendiri inilah merupakan perwujudan identitas seseorang. Sedangkan sistem among
merupakan prinsip yang mengajarkan bahwa kemandirian didalam proses pendidikan
dikembangkan dengan sistem among. Among dapat diartikan sebagai proses pelaksanaan
pendidikan yang berkaitan dengan hakikat manusia yang tidak berdaya ketika dilahirkan.
Namun demikian ketidak berdayaan manusia merupaka suatu proses yang tertuju pada
kemandiria. Dengan demikian sistem among dapat difahami sebagai suatu sistem yang
meniscayakan pentingnya relasi antara pendidik dengan peserta didik bukanlah merupakan
relasi ketergantungan, tetapi suatu relasi yang semakin lama semakin memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk berdiri sendiri. Artinya, doktrin sistem among ini mengandung
implikasi bahwa pelaksanaan proses pendidikan bukanlah suatu proses totaliter ataupun
kemerdekaan tanpa batas, melainkan suatu proses pemandirian yang bertahap sesuai dengan
perkembanagan pribadi peserta didik (H.A. R. Tilaar & Riant Nugroho 2012:52).
Dengan kata lain, pendidikan dalam perspektif sistem among, yaitu proses
pendidikan yang diarahkan pada upaya memanusiakan manusia. Pendidikam bukanlah proses
yang melegitimasi unsur diktator atau yang haus akan kekuasaan atau kehormatan pribadi,
tetapi dengan suatu visi yang secara sukarela serta penuh dedikasi dalam membantu
peserta didik untuk menemukan jati dirinya atau untuk dapat berdiri sendiri atas
kemampuan dirinya sendiri. Yang mana sistem among ini sudah menjadi barang langka pada
konteks pelaksanaan pendidikan kekinian. Dimana para pendidik untuk konteks kekinian,
dalam menjalankan fungsi dan peranya sebagai pendidik tidak lagi berorientasi pada prinsip
pengabdian melainkan berorientasi pada tuntutan material. Kecendrungan itu, sangat jauh dari
prinsip among yang menempatkan pemerdekaan manusia dalam menikmati hak-haknya.
Kemampuan pendidik (guru) dalam mengamalkan prinsip among pada kerja-kerja
keprofesiaanya akan mengantarkan dirinya sebagai pendidik sejati, yaitu pribadi yang Tut
Wuri handayani, yang membantu perkembangan peserta didik dari belakang sambil
mengemongnya tanpa menguasai pribadi yang diemongnya (Azyumardi Azra 2002:48).
Selanjutnya, prinsip kebudayaan ini mengajarkan bagaimana sistem pendidikan didesain
sesuai dengan karakter budaya atau eksistensi budaya masyarakat setempat (indigenous).
Sistem pendidikan yang dijalankan sesuai dengan nilai- nilia budaya lokal akan menghasilkan
kemanfaatan besar bagi masyarakat setempat. Dan strategi pendidikan yang menghargai
eksistensi budaya lokal ini telah berhasil mengikis dominasi sistem pendidikan kolonial yang
terbukti memenjara masyarakat pribumi ketika itu (Dewantara 2009:24).
Pelopor gerakan pendidikan yang membebaskan ditanah air selain Ki Hadjar Dewantara
juga ada Romo Mangun. Lewat gagasan-gagsannya yang berorientasi pada pembebasan kaum
lemah terhadap praktik diskriminasi dan bentuk-bentuk kejahatan kemanusia lain. Sedikit
banyak terdapat kesamaan atau kelindan gerekan antara kedua tokoh ini, dimana Romo
Mangun dalam upaya pembebasan kaum lemah dari ketertindasan juga dimulai dari
pendidikan. Dalam pandanganya sebagaimana dikutif Rahmanto (2001:86) mengatakan bahwa
“Rakyat yang lemah perlu diberdayakan karena mereka tertindas oleh berbagai kekuasaan
didalam masyarakat”. Untuk membebaskan praktik ketertindasan absolut yang dialami kaum
lemah, dalam pandangan Romo Mangun harus dimulai dari pendidikan yang baik dan
membebaskan. Untuk sarana pembumian gagasanya yang brilian tersebut, Romo Mangun
mendirikan lembaga pendidikan yang dikenal dengan Dinamika Edukasi Dasar (DED).
Lembaga ini merupakan sarana pendidikan dasar bagi anak Bangsa terutama bagi masyarakat
miskin. Satu thesa yang memotivasi kesadaran kritisnya, yakni ketidak sefahamanya atas
padang tradisional Jawa yang tidak mengakui potensi kreativitas yang ada pada manusia.
Wus dhasar pinasthi karsaning dewa yang artinya kehidupan manusia telah ditentukan oleh
para Dewa, yang hal ini menurut orang Jawa tradisional, kehidupan manusia telah
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
44
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
dipedestinasikan dalam nasibnya. Prinsip hidup di atas, menurut Romo Mangun tidak sesuai
dengan harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna. Manusia adalah
mahluk kreatif yang dianugerahi oleh sang pencipta dengan kebebasan berpikir untuk
menentukan tempatnya sendiri di dunia ini. Romo Mangun melihat datangnya sekolah-sekolah
modern yang dibawah oleh Kaum Kolonial mempunyai “blessing in disguise”, yaitu rontoknya
sistem pendidikan feodal oleh kemajuan akal yang lahir pada masa aufklarung dalam
kebudayaan barat (H.A. R. Tilaar & Riant Nugroho 2012:62).
Dengan demikian, pandangan manusia Jawa tradisional yang cukup manusiawi dengan
masuknya pendidikan Barat mendapatkan corak yang lebih manusiawi lagi. Dalam doktrin
pemikiran pendidikan ala Romo Mangun, bahwa proses pendidikan haruslah berorientasi
pada peserta didik atau suasana alamiah. Suasana alamiah yang dimaksud adalah suasana
dimana anak dapat berkembang sewajarnya yang bersifat kemanusiaan serta kekeluargaan.
Sehingga apa yang dihasilkan oleh Romo Mangun melalui eksperimenya mengenai
perkembangan kognisi anak yang tidak boleh dirasuki oleh dominasi orang dewasa merupakan
hal yang urgen untuk dicermati. Artinya, mengadopsi hasil eksperimen pendidikan orang Barat
terutama di Eropa tentunya terkait erat dengan budaya mereka yang cendrung pada
materialisme dan ateisme. Sehingga yang bisa diambil dari hasil eksperimen pendidikan Barat
tentunya prinsip yang baik yang membebaskan peserta didik dari kungkungan atau hegemoni
kuasa (YB Mangun Wijaya 1998:63).
Berikut beberapa prinsip dasar proses pendidikan menurut Romo Mangun sebagaimana
dikuti (H. A. R. Tilaar & Riant Nugroho. 2012:63): pertama, peserta didik mempunyai
keinginan untuk mengeksplorasi dirinya dan alam sekitarnya. Peserta didik ingin
mengembangkan dirinya sendiri. Dalam kaitan ini, Romo Mangun tidak sependapat dengan
teori Tabularasa ala John Locke yang mengatakan bahwa tugas pendidik seperti menuangkan
air didalam cawan yang kosong. Yang akibatnya proses pendidikan mengabaikan aspek dialog
antara pendidik dengan peserta didik. Yang semestinya pendidik hanya menjadi pasilitator
atas kehendak alami peserta didik yang mau menjadi dirinya sendiri untuk mandiri. Kedua,
peserta didik dilahirkan dengan berbagai kemampuan seperti ingin berdiri sendiri, ingin
berkomunikasi dan mengembangkan bakat kebersamaanya dengan sesama temanya. Oleh
sebab itu, kelas yang terlalu besar tidak memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan
kepribadianya secara penuh. Oleh sebab itu, keterkaitan antara pendidikan dengan kebudayaan
lokal mempunyai arti yang sangat penting dalam perkembangan kepribadian anak atau peserta
didik. Ketiga, kondisi tempat berlangsungnya proses pendidikan haruslah dalam suasana
kekeluargaan. Sekolah bukanlah suatu arena persaingan hidup tetapi suatu Confivum
(kehidupan bersama) meminjam tesis Illich, yang mengatakan bahwa dewasa ini sekolah
telah diubah menjadi arena persaingan. Persaingan yang diembus-embuskan dalam era
globalisasi dewasa ini telah dijadikan dewa baru untuk mengadakan perubahan dalam
kehidupan mansuia. Namun demikian persaingan bukanlah inspirasi yang memacu kepada
kebersamaan dalam kehidupan manusia. Keempat, penataan diri sendiri (self goverment), salah
satu fitrah manusia adalah keinginan untuk berdiri sendiri atau menata diri sendiri. Oleh
karena manusia dilahirkan dengan berbagai bakat dan kemampuan, maka didalam penataan
diri tersebut tergantung kepada bakat dan kemampuanya itu. Hal ini berarti proses pendidikan
adalah proses yang menyeluruh yang memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk
mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan bakatnya.
Padangan tersebut memperhatikan kebhinekaan bakat-bakat peserta didik, maka perlu
dikembangkan prinsip atau jiwa eksplorasi dari peserta didik. Sehingga pelaksanaan
pendidikan tidak seharusnya menjauhkan peserta didik dari lingkungan sosialnya serta budaya
lokal mereka. Bakat eksplorasi pada peserta didik akan membuahkan kreasi-kreasi baru dalam
suasana kebebasan. Tanpa kebebasan tidak mungkin berkembang kemampuan kreatif dan
keinginan untuk eksplorasi (Mushthafa 2013:57). Kedua gagasan tokoh tersebut, baik Ki
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
45
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
Hadjar Dewantara maupun Romo Mangun merupakan anti thesa atas pelaksanaan pendidikan
yang cedrung eksploitatif, yang menjauhkan peserta didik dengan lingkunganya sebagaimana
saat ini terjadi. Di dalam kaitanya dengan ini, proses pendidikan yang bertujuan hanya untuk
menelorkan pekerja-pekerja yang handal tetapi tanpa etika karena hanya untuk mengejar
keuntungan semata-mata bukanlah proses pendidikan yang sebenarnya. Proses pendidikan
sebagai proses interaksi antara manusia mengasumsikan bahwa manusia adalah mahluk
sosial. Sehingga seorang anak manusia tidak dapat mewujudkan kemanusiaanya apabila dia
dalam keadaan soluter atau terlepas dari masyarakatnya. Dalam hal ini, karena tidak ada
masyarakat tanpa budaya, maka proses pendidikan yang tidak didasarkan kepada budaya
tempat peserta didik itu hidup sama seperti suatu proses didalam ruangan kosong.
Artinya, bahwa pendidikan tidak terjadi didalam ruangan maya tetapi didalam dialog antara
manusia (Mushthafa 2013:58).
Karena proses pendidikan terjadi dalam kehidupan masyarakat yang berbudaya. Maka
menjadi kaharusan, pelaksanaan pendidikan harus diarahkan pada pembumian budaya lokal
sebagai aset vital bagi masyarakat setempat. Hal-hal yang sudah dipaparkan secara singkat
dalam uraian di atas bertolak dari asumsi bahwa saat ini kita sudah memiliki seperangkat
aturan, lembaga, maupun juga keleluasaan yang dapat mengakomodasi kekayaan khazanah
lokal, terutama dalam bidang pendidikan. Tak ada salahnya bila kemudian perangkat-
perangkat tersebut lebih dimaksimalkan fungsi dan kegunaanya, dan dijadikan momentum
untuk memperluas medan partisipasi dan jangkauan sudut pandang tentang pembangunan
(pendidikandan kebudayaan) di daerah. Khazanah yang terpendam sebaiknya terus gigih
digalih, dan apa yang sudah dimiliki terus dimanfaatkan dan ditindak lanjuti untuk dijelajahi
nilai-nilai kegunaanya dimasa kini. Pada saat kecangihan tekhnologi informasi dan globalisasi
yang telah menyedot masa kedalam arus global, maka amatlah penting untuk lebih
menancapkan akar kedirian kita keranah tradisi yang lebih kukuh. Dalam persoalan ini, kita
tidak bisa berharap bahwa tugas semacam ini akan dilakukan oleh orang lain.
2. Metode
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Menurut
Herdiyansyah menjelaskan bahwa jenis penelitian kepustakaan adalah jenis penelitian yang
mencoba menggali isu tertentu yang diteliti berdasarkan kekuatan informasi dari berbagai
referensi atau buku-buku. Penelitian ini juga bertujuan untuk menyediakan penjelasan tersirat
mengenai struktur, tatanan, dan pola yang luas terhadap suatu konsepsi. Penelitian ini akan
menampilkan argumentasi penalaran keilmuan dari hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir
penelitian mengenai suatu masalah atau topik kajian. Jenis penelitian ini didukung oleh data
yang diperoleh dari sumber pustaka yang berupa jurnal penelitian, skripsi, buku teks, laporan
penelitian, makalah, laporan seminar, hasil diskusi ilmiah, dan lain. Selanjutnya sifat
penelitian atau riset dengan pendekatan studi pustaka ini ialah bersifat siap pakai (ready
made), yang artinya suatu model penelitian yang tidak pergi kemana-mana, kecuali hanya
berhadapan langsung dengan bahan atau sumber yang sudah tersedia di perpustakaan.
3. Hasil dan Pembahasan
A. Peran Keluarga Dalam Pembelajaran di Sekolah Menurut Konsep Ki Hajar
Dewantara
Sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan pendidikan di Indonesia sejak masa
Penjajahan hingga saat ini cenderung berorientasi pada profit. Sebuah proses pelaksanaan
pendidikan yang dijalankan bersandar pada keuntungan material, dan mengabaikan aspek
pembelajaran yang berorientasi pada pencerdasan peserta didik. Sehingga proses pengelolaan
pendidikan dengan pendekatan seperti ini tidak mampu menjadi media pencerdasan dan tidak
mampu mewujudkan kemandirian peserta didik. Pengelolaan pendidikan dengan pendekatan
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
46
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
profit dan tidak memberikan kebebasan bagi anak-anak atau peserta didik. Dikatehui bahwa
saat itu yang menjadi pengelola pendidikan adalah penjajah yang sama sekali tidak punya
itikad baik untuk mencerdaskan anak-anak pribumi. Pada kondisi seperti ini sudah bisa ditebak
bahwa pelaksanaan pendidikan sudah pasti tidak akan mampu membentuk identitas lokal
peserta didik.
Suatu hal yang mustahil, jika pendidikan yang dikelola tidak didasari oleh rasa saling
cinta (trust) didalam interaksi antar pengelola pendidikan dengan orang tua peserta didik akan
terbentuk identitas anak-anak atau peserta didik. Pengelolaan pendidikan yang dijalankan di
atas prinsip damai atau itikad yang baik, maka akan tercipta semangat sikap saling
menghargai, saling membantu, saling pengertian, saling mengisi, dan saling bertanggung
jawab untuk perkembangan pribadi dan perkembangan masyarakat pada umumnya.
Pelaksanaan pembelajaran disekolah yang dijalankan dengan semangat saling mencurigai
bahkan saling bermusuhan, maka tidak akan mungkin terjadi pembentukan dan perkembangan
identitas seseorang. Dalam relasi inilah terdapat tiga unsur utama di dalam kehidupan bersama
manusia menurut Ki Hadjar Dewantara, yaitu:
1. Lembaga yang mengatur hubungan interpersonal dari pribadi-pribadi yang sedang
mengembangkan identitasnya.
2. Adanya kesadaran diri dari masing-masing pribadi untuk bekerja sama dan menciptakan
suasana yang kondusif untuk semua anggota yang tergabung dalam kerja sama itu untuk
menjamin terlaksananya dialog dan hubungan interpersonal. Inilah yang dimaksud oleh Ki
Hadjar Dewantara dengan disiplin yang tumbuh dari dalam atau tumbuh karena kesadaran
yang tinggi dari anggota masing-masing (tucht).
3. Dari kesadaran untuk perkembangan pribadi dan perkembangan kehidupan bersama
terciptalah ketertiban (orde). Disini kita lihat ketertiban sangat erat kaitanya dengan
kesadaran pribadi dalam dialog interpersonal dalam suatu sistem kehidupan bersama yang
tumbuh dari bawah karena kebutuhan bersama. Inilah tanggung jawab seseorang dalam
kehidupan bersama dalam suatu masyarakat yang menghargai hak serta kewajiban masing-
masing. Inilah prinsip demokratis sejati yang tumbuh dari bawah.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan telah menjadi citra tersendiri bagi
sejarah pendidikan Indonesia, ia adalah embrio model. Pendidikan klasik Indonesia yang dulu
dipandang cocok dan ideal untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi-potensi
generasi muda indonesia (kognitif, apektif, psikomotorik, dan konatif). Sedangkan aspek-
aspek personal lainnya seperti dimensi sosialita dan spiritualitasnya juga menyatu dalam
konsep tersebut. Refleksi dan evaluasi atas perkembangan pendidikan Indonesia, dengan
segudang persoalannya dewasa ini, mestinya berangkat dari sana. Upaya demikian memang
tidak mudah, sebab munculnya persoalan-persoalan pendidikan dewasa ini tidak terlepas dari
kerangka upaya menaggapi tantangan zaman seperti yang dilakukan oleh Ki Hadjar dewantara
tempo dulu. Tuntutan dunia pendidikan di Indonesia zaman sekarang juga lebih bervariasi dari
pada masa dimana Ki Hadjar Dewantara menggagas konsep pendidikannya yang boleh jadi
memang sangat dibutuhkan pada zamannya kala itu. Ki Hadjar Dewantara membedakan antara
pendidikan (opvoeding) dengan pengajaran (onderwijs).Pengajara adalah pendidikan dengan
memberikan ilmu pengetahuan dengan memberikan keterampilan yang mempengaruhi
kecerdasan pada anak-anak, yang bermanfaat untuk hidup lahir batin anak-anak (Moh.
Tauchid. 1968:67).
Sementara yang dinamakan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah upaya
kebudayaan yang berasaskan keadaban untuk memberikan dan memajukan tumbuhannya budi
pekerti (Kekuatan Batin, karakter,) pikiran (Intelektual) dan tubuh anak yang selaras dengan
dunianya. Oleh sebab itu segala alat, usaha, dan cara pendidikan harus sesuai dengan
kodratnya keadaan yang tersimpan dalam adat-istiadat setiap rakyat (Moh. Yamin. 2009:68).
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
47
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
Berikut lanskap pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang saat itu menjadi
embrio model sebagai berikut:
1) Sistem Among
Prinsip kemandirian di dalam proses pendidikan dikembangkan dalam sistem among.
Among atau ngemong mempunyai arti yangsangat dalam pada proses pendidikan yang
berkaitan dengan hakikat manusia yang tidak berdaya ketika dilahirkan. Namun
demikian, ketidak berdayaan manusia merupakan suatu proses yang tertuju kepada
kemandirian. Hal ini menunjukan bahwa dalam sistem among relasi antara pendidik dan
peserta didik bukanlah merupakan relasi ketergantungan, tetapi suatu relasi yang
semakin lama semakin memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berdiri
sendiri. Lahirnya sistem among sangat berkaitan dengan keadaan pendidikan yang
dipengaruhi oleh sistem barat.Dimana dalam sistem barat, dasar- dasarnya adalah
regering, tucht dan orde (perintah, hukuman dan ketertiban).Ki Hadjar dewantara
menilai pendidikan seperti itu dapat menyebabkan rusaknya buddi pekerti anak, sebab
anak mengalami pemerkosaan terhadap kehidupan batinnya.Sistem tersebut juga
menyebabkan anak selalu hidup berada dibawah paksaan dan hukuman yang tidak
setimpal dengan kesalahannya. Ki Hadjar dewantara menilai bahwa jika meniru cara
yang demikian maka tidak akan dapat membentuk seseorang yang memiliki kepribadian,
oleh sebab itu sistem pendidikan yang dikedepankan adalah pendidikan yang tidak
memakai cara pemaksaan tetapi dengan cara opweding atau pedagogik (Momong,
among, dan ngemong). Cara yang dipakainya adalah “orde and frede” (tertib dan damai,
tata-tentram,) tetapi tidak melakukan pembiaran (Moh. Yamin 2009:47). Ki Hadjar
Dewantara tidak setuju dengan sistem pendidikan yang membangun watak anak dengan
sengaja, atau dengan cara perintah, paksaan terhadap batin anak, paksaan untuk tertib,
dan paksaan untuk sopan. Dalam pandangannya, pendidikan harus menjujung tinggi
suka cita dan membuka kekuatan pikiran dan watak anak, itu sebabnya ia
mengedepankan pendidikan denga sistem among (Bambang Sokawati Dewantara.
1993:53). Denga demikian sistem among bukan pula berarti suatu sistem perintah dari
atas atau membiarkan atau membiarkan peserta didik mencari jalanya sendiri. Proses
pendidikan dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara bukan pula suatu proses totaliter atau
pun kemerdekaan tanpa batas, tetapi suatu proses pemandirian yang bertahap sesuai
dengan perkembangan pribadi peserta didik. Terdapat prinsip yang melekat pada sistem
among, dimana sistem among mempunyai implikasi didalam relasi antara pendidik dan
peserta didik. Pendidik menurut sistem among bukanlah seorang diktator atau yang haus
akan kekuasaan atau kehormatan pribadi, tetapi dengan suatu visi yan secara sukarela
dan penuh dedikasi dalam membantu peserta didik untuk menemui dirinya sendiri atau
untuk dapat berdiri sendiri atas kemampuanya sendiri (Budiawan. 2006:37). Inilah
prinsip among yang menuju kemandirian yang memerlukan dedikasi dari seorang
pendidik. Dari sini akan nampak bahwa nilai intrinsik dari profesi pendidik yaitu
memerlukan dedikasi tanpa pamrih karena tujuanya untuk membantu peserta didik yang
kemudian akan berkembang setara dengan pribadi pendidik itu sendiri. Profesi pendidik
merupakan suatu profesi etis karena profesi tersebut tidak mementingkan kekuasaan
dirinya tetapi untuk kebahagiaan bersama.Pengelolaan pendidikan yang didasarkan pada
sistem among, yakni pengelolaan pendidikan yang dijalankan pada pelembagaan nilai-
nilai etis yang sangat luhur dan bermartabat (Ki Hadjar Dewantara. 2004:231). Jika
pelaksanaan pendidikan yang konsisten dengan sistem among, maka proses pendidikan
tersebut akan melahirkan pribadi-pribadi peserta didik yang Tut Wuri Handayani.
Pendidik yang memanfaatkan proses pendidkan untuk berkuasa atau mengejar target
material, bertentangan dengan sistem among dan hakikat manusia yang mempunyai
martabat yang sama dan memiliki kemampuan mengambil keputusan etis didalam
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
48
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
memanusiakan sesama manusia (Ki Hadjar Dewantara. 2009:46). Pendidik yang
konsisten dengan nilai etis yang tertuang pada sistem among akan mencapai taraf
sebagai pendidik sejati, yaitu pribadi pendidik yang Tut Wuri Handayani yang
membantu perkembangan peserta didik dari belakang sambil men mengemongnya tanpa
menguasai pribadi yang diemongnya. Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam
sistem among didasarkan pada dua azas menurut Suparto Rahardjo (2018:80-83) yaitu:
Pertama, Kodrat alam yang menjadi syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan
dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Kedua, Azas kemerdekaan yang menjadi
syarat uantuk penghidupan, menggerakan dan mengembangkan kekuatan lahir dan
bathin anak sehingga menjadi pribadi yang kuat, berpikir dan bertindak merdeka.Dalam
sistem among sangat mengedepankan azas kemanusiaan sehingga anak-anak harus
diberikan kebebasan dan kemerdekaan dengam terbatas oleh tuntutan kodrat alam dan
menuju kearah kebuadayaan. Sistem ini menjunjung tinggi pedagogik pemeliharaan,
dengan perhatian penuh, yang menjadi syarat perkembangan anak secara lahir dan
bathin (Suparlan, 2014:5). Menjelaskan bahwa sistem among mengutamankan
mendidik murid menjadi manusia yang mandiri sendiri dalam merasa, berfikir, dan
bertindak. Disamping itu,dalam sistem among,guru juga harus melatih muridnya untuk
menacari sendiri pengetahuan yang mencukupi kebutuhan kebutuhan manusia lahir dan
batin lalu memakainya dengan bermanfaat. Maka dari penjelasan di atas dapat difahami
bahwa pada hakikatnya sistem among yang dalam rumusannya yaitu Tut Wuri
Handayani adalah pemberian kemerdekaan dan kebebasan pada anak atau murid untuk
mengembangkan bakatnya sendiri dan kekuatan lahir dan batin (Tilaar H. A. R.
2002:36). Ki Hadjar Dewantara (2009:355) dalam Tilaar mengatakan bahwa tujuan yang
terakndung dalam sistem among adalah sedapat mungkin menyempurnakan hidup anak-
anak sesuai dengan kodratnya sendiri, sehingga mereka dapat menjadikan hidupnya
bermanfaat bagi masyarakat umum dan dengan sifat mereka yang luhur dapat
membangun kekuatan bangsa yang kemudian mendukung kemajuan dunia (Tilaar,
H.A.R. 1999:35). Dalam sistem among, anak-anak harus dibiasakan untuk disiplin untuk
mencari belajar sendiri.
2) Prinsip Kebudayaan
Pada masa Kolonial, sistem pendidikan Kolonial tidak mengakui keberadaan atau
eksistensi budaya lokal atau indigenous. Kebudayaan Barat (Belanda) adalah
kebudayaan yang superior, sedangkan kebudayaan asli seperti budaya suku-suku Bangsa
di Nusantara merupakan kebudayaan inperior. Padangan kebudayaan seperti itu
merupakan penghinaan terhadap hak asasi manusia (HAM) yang mempunyai hak untuk
memiliki serta hidup didalam kebudayaan sendiri seperti yang dikemukakan oleh filsuf
Charles Toylor The Right to Culture, sebagaimana dikutif Suwoto (2004:26) yang
menjelaskan bahwa pandangan budaya barat yang berorientasi pada penistaan budaya
pribumi ini kemudian memotivasi Ki Hadjar Dewantara untuk melakukan proteksi
kebudayaan pribumi dengan jalan mengali nilai- nilai kebudayaan yang luhur dari
kebudayaan lokal. Dalam hal ini kebudayaan Jawa, sebagai kebudayaan lokal (local
wisdom) di dalam proses pendidikan. Berdasakan pandangan Ki Hadjar Dewantara, di
dalam kebudayaan lokal telah berkembang dan terakumulasi kebijakan-kebijakan
pendidikan yang luhur dan oleh sebab itu dijadikan di dalam habitus pendidikan
(sekolah-sekolah) binaanya seperti salah satunya Perguruan Taman Siswa. Proses
pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara terjadi didalam habitus yang sentripetal
artinya pelaksanaan pendidikan yang berpusat dari budaya lokal dan berangsur-angsur
meningkatkan kepada lingkungan semakin luas sampai kepada budaya nasional bahkan
budaya global. Prinsip multikultural inilah yang digunakan Ki Hadjar Dewantara dalam
mengelola pelaksanaan pendidikan yang berhasil membentuk identitas manusia yang
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
49
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
berakar dari keluarga dan budaya lokal sehingga hubungan personal antara manusia yang
konkret merupakan dasar dari terbentuknya identitas seseorang (Abdurahman
Soerjomiharjo. 1986:73). Kedua prinsip proses pendidikan tersebut merupakan roh
Tamansiswa yang menghargai akan nilai-nilai luhur kemanusiaan, yaitu manusia yang
berdiri sendiri, yang didalam perkembanganya memerlukan bantuan orang lain seperti
pendidik yang bukan untuk mendominasikanya melainkan membantu agar menjadi
pribadi yang berdiri sendiri, mandiri, dan bertanggung jawab.
Seluruh proses kemandirian tersebut terjadi didalam habitus social budaya tempat proses
pendidikan berlangsung. Proses pendidikan sebagai proses menuju kepada kemandirian
seorang pribadi berarti merupakan suatu proses pembebasan dari ketidak berdayaan
manusia yang memerlukan dialog dan hubungan interpersonal yang berdasarkan keputusan-
keputusan etis didalam habitus lokal menuju kepada habitus nasional bahkan global.
Dari sinilah kemudian akan nampak terlihat pandangan-pandangan filsafat pendidikan dan
kebijakan pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang humanistik dapat disejajarkan dengan
pandangan para pemikir pendidikan kontemporer bahkan sudah lebih maju lagi dalam era
globalisasi dewasa ini (Abdurahman Soerjomiharjo. 1986:74). Apabila manusia dewasa ini
yang hidup di dalam dunia rata dalam era globalisasi G 3.0 yang mana manusia mulai
kehilangan identitasnya kemudian menuju kepada kekosongan, pandangan-pandangan
futuristik Ki Hadjar Dewantara bisa menjadi alternative jalan keluar dalam memecah
kebuntuan.
B. Peran Keluarga Dalam Pembelajaran di Sekolah Menurut Konsep Romo Mangun
Tidak ada yang meragukan keberpihakan Romo Mangun terhadap kaum marginal, hal ini
terlihat dari pandangan-pandangannya yang konsisten mengenai kaum lemah dan
miskin.Bahkan yang memotivasi kebangkitan Romo Mangun dalam melahirkan gagasan-
gagasan brilian ketika melihat ketertindasan kaum lemah.Salah satu sikap heroik dari
Romo Mangun ditunjukan dari pembelaanya pada orang miskin atau rakyat pinggiran yang
ada di Kali Code Yogyakarta (1986-1994). Hal yang sama juga beliau (Romo Mangun)
tunjukan saat membela orang miskin dan kaum lemah korban pembangunan waduk Kedung
Ombo (1986-1994) serta gempa bumi di Flores. Alasan Romo Mangun membelah orang-orang
lemah disebabkan karena posisi kelompok lemah dimasyarakat tertindas bukan karena kondisi
natural melainkan faktor kekuasaanlah yang membuat masyarakat tertindas. Sikap perlawanan
yang dibangun Romo Mangun dalam mempertahankan kelompok marginal dimulai dari
pendidikan, maka untuk mencerdaskan rakyat tertindas Romo Mangun mendirikan satu
lembaga pendidikan yang kelak dikenal dengan Dinamika Edukasi Dasar (DED) pada tahun
1997.
Dinamika Edukasi Dasar (DED) merupakan sarana pendidikan dasar untuk anak Bangsa
terutama bagi masyarakat miskin (Sutarjo 2010:67). Keberpihakan Romo Mangun kepada
kelompok lemah ini, mengantarkan dirinya sebagai sosok yang humanis.Keberadaa manusia
dalam pandangan Romo Mangun mirip dengan filsafat Plato yang menekankan bahwa
kehidupan manusia seperti bayangan atau mikro kosmos digerakan oleh Ki Dalang
sebagaimana dalam pertunjukan pewayangan. Terdapat beberapa Gagasan pemikiran yang
menjadi modal social seorang Romo Mangun dalam membela hak-hak masyarakat tertindas
menurut Tilaar dan Riant Nugroho sebagai berikut:
1. Prinsip-Prinsip Pendidikan Romo Mangun
Penjabaran prinsip-prinsip pendidikan Romo Mangun dari pandangan manusianya,
banyak dipengaruhi oleh pendapat Rousseau dan Piaget yang berusaha memposisikan orang
secara adil tanpa membeda- bedakanya. Seperti prinsip bahwa anak mempunyai hakikat
sendiri dan bukanlah orang dewasa dalam bentuknya yang kecil. Prinsip ini berorientasi pada
bagaimana pertimbanga suasana alamiah.Suasana alamiah adalah suasana dimana anak dapat
berkembang sewajarnya yang bersifat kemanusiaan serta kekeluargaan. Dari prinsip pemikiran
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
50
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
tersebut, maka Nampak bahwa pemikiran pendidikan Romo Mangun banyak dipengaruhi oleh
filsafat pendidikan Jean Piaget yang telah meneliti mengenai perkembangan kognisi anak
(Sumitri 2004:45). Namun demikian, mengingatkan kepada kita bahwa hasil-hasil penemuan
dan eksperimen dalam pendidikan di Eropa tentunya terkait erat dengan kebudayaan Eropa
Barat yang dewasa ini telah cenderung kearah materialism dan ateisme. Dengan demikian
tidak semua apa yang ada dalam sistem pendidikan Barat dianggap benar atau sebaliknya salah
semua. Prinsip-prinsip pendidikan yang baik tentu bisa diambil dan dimanfaatkan dalam
proses pendidikan anak-anak Indonesia. Namun demikian, prinsip-prinsip universal tersebut
haruslah dicocokan dengan variable-variabel sosiologis, antropologis, dan politis di Indonesia.
Berikut beberapa prinsip mendasar proses pendidikan menurut Romo Mangun sebagaimana
dikutip (Aswanto 2013:34) sebagai berikut:
a) Peserta didik mempunyai keinginan mengeksploitasi dirinya dan alam sekitarnya.
Peserta didik ingin mengembangkan dirinya sendiri. Dalam kaitan ini Romo Mangun
tidak sependapat dengan teori tabula rasa dari John Locke dimana tugas pendidik seperti
menuangkan air di dalam cawan yang kosong. Romo Mangun berpandangan bahwa
pendidikan seharusnya terjadi suasana dialog karena peserta didik ingin menjadi dirinya
sendiri melalui bantuan pendidik.
b) Peserta didik dilahirkan dengan berbagai kemampuan seperti ingin untuk berdiri sendiri,
ingin berkomunikasi dan mengembangkan bakat kebersamaanya dengan sesame
temanya. Oleh sebab itu, kelas yang terlalu besar tidak memungkinkan pada peserta
didik untuk mengembangkan kepribadianya secara penuh. Maka kemampuan-
kemampuan yang dibawa sejak lahir oleh peserta didik dapat dikembangkan dalam
ramuan kekayaan social dan budaya peserta didik dimana dia dibesarkan, yakni
keluarga. Dengan demikian, keterkaitan antara pendidikan dengan keluarga mempunyai
arti yang sangat penting dalam perkembangan kepribadian peserta didik.
c) Kondisi tempat proses pendidikan berlangsung haruslah dalam suasana kekeluargaan.
Sekolah umpamanya bukanlah merupakan suatu arena persaingan hidup tetapi suatu
confivum (kehidupan bersama). Dewasa ini kehidupan sekolah telah diubah menjadi
persaingan. Persainga yang diembus-embuskan dalam Era Globalisasi dewasa ini telah
dijadikan dewa baru untuk mengadakan perubahan dalam kehidupan manusia. Namun
demikian, persaingan bukanlah inspirasi yang memacu kepada kebersamaan dalam
kehidupan umat manusia. Kerja sama, dialog, saling membantu, berinovasi untuk
mencari yang lebih baik adalah harkat yang dibawah lahir oleh manusia. Persaingan
bukan berarti mengalahkan lawan atau memusuhi orang lain, tetapi justru dilahirkan oleh
kesetia kawanan dalam upaya untuk memecahkan masalah bersama bagi kesejahteraan
masyarakat.
d) Penataan diri sendiri (self government). Seperti yang telah dijelaskan, salah satu fitrah
manusia adalah keinginan untuk berdiri sendiri atau menata diri sendiri. Hal ini berarti
proses pendidikan merupakan proses yang menyeluruh yang memberikan kesempatan
bagi peserta didik untuk mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan bakatnya. Cara
pandang ini lebih berorientasi bagaimana proses pendidikan memprioritaskan
penghargaan atau penonjolan bakat peserta didik yang beragam di diri masing-masing
peserta didik. Sebab peserta didik dilahirkan dengan bakat-bakat bahasa, moral, estetika,
religious, social, politik dan sebagainya yang setiap mereka masing-masing tidak sama.
Ada yang menonjol bakat mate-matikanya, ada yang menonjol kemampuan olah raganya
dan lain-lain. Oleh sebab itu, pendidikan dikelola untuk mengembangkan bakat peserta
didik yang notabenenya beragam itu. Tidak dijalankan untuk satu jenis bakat peserta
didik saja. Dengan demikian, akan lahir kebhinekaan perkembangan bakat-bakat peserta
didik yang secara keseluruhan akan membentuk suatu masyarakat yang berkualitas.
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
51
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
2. Kreativitas dan Kebebasan
Bakat eksplorasi pada peserta didik akan membuahkan kreasi-kreasi baru dalam suasana
kebebasan. Tanpa kebebasan tidak mungkin berkembang kemampuan kreatif dan keinginan
untuk eksplorasi. Dengan demikian proses pendidikan yang sifatnya otoriter yang membatasi
kebebasan peserta didik tidak mungkin berkembang dengan kreativitas peserta didik.
Dalam pelaksanaan pendidikan modern, penyelenggaraan ujian Negara (UN dan UAS)
yang dipaksakan tentunya hal ini akan membatasi kreativitas dan eksplorasi peserta didik.
Hasilnya ialah suatu kebudayaan yang miskin karena proses pendidikan tidak lebih dari proses
transmisi kebudayaan yang ada.
Menurut Jean Piaget sebagaimana dikutif (Tilaar dan Riant Nugroho. 2012:72)
menjelaskan bahwa perkembangan kognisi peserta didik yang bisa dijelaskan sebagai berikut :
a) Pengembangan kognisi peserta didik diperoleh dari suatu pengalaman ke pengalaman
lainya melalui proses dialektis situasional. Artinya dengan sikap keingin tahuan peserta
didik dia akan bertanya mengenai hal-hal yang ditemukanya didalam lingkunganya.
b) Peserta didik mengalami keguncangan didalam apa yang telah diketahuinya selama ini.
Kondisi ini merupakan kondisi kritis yang berarti peserta didik merasa tidak puas dengan
pengalamanya selama ini.
c) Sesudah mengalami proses kritis, peserta didik memasuki tahap perenungan,
pertimbangan, verifikasi dan klasifikasi terhadap jawaban yang telah disusunya.
3. Pengetahuan Adalah Kekuasaan
Dengan memahami kondisi peserta didik dalam memperoleh pengetahuan, berarti kita
telah menguasai lingkungan peserta didik.Pengetahuan adalah kekuasaan, dari sinilah kita
dapat memahami bahwa peranan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia bukan saja
untuk mengetahui dan menguasasi lingkunganya tetapi juga dirinya sendiri.Bahkan dengan
ilmu, manusia dapat memperoleh kekuasaan dan melestarikan kekuasaanya. Manusia yang
dibatasi pengetahuan atau tidak memperoleh pendidikan berarti dibatasi akan kesadaran
dirinya sehingga dia dikuasai oleh orang lain.
Disinilah letak kesamaan pandangan Romo Mangun dengan Paulo Freire yang
mengajarkan tentang kodrat manusia dalam menghayati kesadarannya sebagai manusia yang
bermartabat. Penyadaran terhadap harkat manusia tersebut disebut Faulo Freire sebagai
conscientization. Pendidikan adalah keterlibatan seseorang dalam politik praktis. Inilah salah
satu tugas pendidikan yang mulia, yakni menyadarkan seseorang akan harga dirinya sebagai
manusia yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab. Manusia miskin yang dibatasi
kesempatanya untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas berarti membatasi kesadaran
akan tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat yang kreatif dan produktif. Tidak
memberikan kesempatan bagi masyarakat miskin untuk mengikuti proses pendidikan yang
berkualitas, maka itu hanya menjadikan orang miskin itu sebagai alat dari penguasa dan tetap
bodoh sepanjang masa. Pada kondisi pelaksanaan pendidikan model inilah kemudian Romo
Mangun jadi tergerak untuk memperjuangkan hak atau nasib wong cilik/kaum miskin dari
alienasi proses pendidikan.
Ketertarikan Romo Mangun dalam membela orang-orang kecil tersebut, dalam rangka
membantu kelompok tertindas yang tidak berdaya tersebut agar mereka dapat
mengembangkan bakat dan kehormatanya, dititik inilah kemudian Romo Mangun mendirikan
sekolah dasar di Desa Mangunan Sleman Yogyakarta (Sumitri. 2004:58). Hal ini karena
keprihatinanya dalam melihat ketidak berpihakan kebijakan pendidikan pada orang-orang
lemah. Sekolah dasar eksperimen Mangunan didasarkan kepada prinsip-prinsip sebagai
berikut:
a) Prinsip Cinta kasih. Proses pendidkan adalah proses dialog yang didasarkan kepada
kasih antar sesame dan bukan indoktrinasi, pemaksaan, serta penindasan terhadap harkat
manusia yang ingin kebebasan dan bertanggung jawab sendiri.
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
52
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
b) Proses pendidikan berdasarkan kepada kesamaan derajat antara pendidik dan peserta
didik. Dalam dialog tidak ada tempat pada arogansi yang berarti kedudukan yang sama
antara pendidik dan peserta didik.
c) Proses pendidikan bukanlah suatu proses yang romantic, tetapi dalam suasana kebebasan
dan jiwa terbuka antara pendidik dan peserta didik. Dalam kondisi inilah terjadi situasi
dimana peserta didik dengan bebas mengadakan eksplorasi serta tugas pendidik adalah
membantunya di dalam tugas ber-eksplorasi itu.
d) Proses pendidikan sebagai proses menggiatkan eksplorasi berarti pula membangkitkan
keberanian seseorang untuk mempertanyakan berbagai kemapanan social (civil courage).
Prinsip ini ditempuh Romo Mangun sebagai upaya membangkitkan kesadaran terhadap
keterkucilan kaum lemah dari penindasan kekuasaan dari berbagai struktur kekuasaan
dalam masyarakat.
e) Penyadaran terhadap harkat manusia telah tertindas oleh sistem pendidikan formal oleh
Negara. Oleh sebab itu, sebagaimana yang diajarkan Ivan Illich Descholling Society,
yaitu menghindarkan peserta didik dari jenis-jenis sekolah dewasa ini yang pada
hakikatnya telah merampas kesadaran dan tanggung jawab seseorang. Seperti diketahui,
Ivan Illich bukanya menghilangkan semua jenis pendidikan. Menurut dia, sekolah
dewasa ini telah merampas hak asasi manusia dan oleh sebab itu peserta didik perlu
disingkirkan dari sekolah-sekolah semacam itu. Romo Mangun melalui Dinamika
Edukasi Dasar (DED) membangun sekolahnya ditengah-tengah desa yang jauh dari
Institusi- Institusi sekolah formal dan dalam pendidikanya melaksanakan prinsip-prinsip
yang asing dalam sekolah formal yang diselenggarakan oleh Negara dan masyarakat.
4. Eksperimen Pendidikan Pemerdekaan Romo Mangun
Sebagaimana difahami bahwa untuk melaksanakan prinsip-prinsipnya dalam membantu
kaum lemah atau miskin dari praktik diskriminasi, maka Romo Mangun tergerak membangun
sebuah SD eksperimen di Dukuh Mangun, Kabupaten Sleman. Perjuangan Romo Mangun
dalam membela kelompok lemah mencapai tingkat yang paling istimewa, dan sebelum dirinya
berhasil mengumpulkan dasar-dasar pemikiranya dalam eksperimen SD Mangunan, pada 1999
dia dipanggil pulang ke hadirat Allah. Namun demikian, prinsip-prinsip SD eksperimen Romo
Mangun merupakan pelaksanaan dari cita-citanya yaitu membantu kaum kecil atau lemah dari
praktik penindasan terutama dalam memperoleh pendidikan.Tujuan pendidikannya ialah untuk
memerdekakan kaum kecil supaya dapat memperbaiki nasibnya sendiri.Sesuai dengan
tujuanya, sekolah eksperimen rintisan Romo Mangun sebagai pembebasan manusia, maka baik
sekolah maupun kelas merupakan ruangan yang terbuka bagi peserta didik untuk berekspresi
(Nanang Fatah. 2011:26). Dalam ruangan yang terbuka secara fisik maupun psikis anak dapat
berkembang sewajarnya dalam pengenalan terhadap kemampuan dirinya dan tantangan yang
berada dilingkunganya baik berupa tantangan manusia maupun tantangan alam. Dalam proses
pendidikan seperti inilah seorang peserta didik dalam kemerdekaanya berdialog dengan
dirinya sendiri, sesame peserta didik, dengan alam, dan dengan pendidiknya. SD
eksperimen Mangunan rintisan Romo Mangun tidak lah sama dengan SD formal lainya yang
dikenal dalam sistem pendidikan nasional. Dimana sekolah bentukan Romo Mangun ini tidak
mengenal kurikulum formal maupun hal-hal lainya yang bersifat formal birokratis yang segala
aktivitasnya dalam proses belajar mengajar dalam suasana kebebasan.
Namun demikian, di sekolah SD Mangunan bukanlah berarti tidak ada ketertiban dan
aturan main.Ketertiban dan kepatuhan terhadap peraturan tetap ada dan penting di dalam
sekolah SD eksperimen Mangunan, tetapi perintah dan kepatuhan tersebut bukanya datang
dari atas tetapi atas kesadaran sendiri dalam pergaulanya dengan sesame temanya, dengan para
pendidik serta lingkungan masyarakat disekitarnya. Yang menjadi target Romo Mangun
melalui sekolah yang didirikanya dalam rangka mengubah tujuan dan proses pendidikan di
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
53
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
sekolah yang bertujuan untuk pemerdekaan peserta didik dari berbagai proses indoktrinasi
serta pemenjaraan berpikir kreatif dan inovatif peserta didik.
C. Pembahasan Relevansi Konsep Pemikiran Ki Hajar Dewantara dan Romo Mangun
Terhadap Perkembangan Pendidikan Kekinian
Pendidikan nasional saat ini masih memiliki segudang persoalan, mulai dari wajah
pendidikan yang berwatak pasar yang menyebabkan hilangnya daya kritis tenaga pendidik
terhadap persoalan bangsa hingga pemosisian lembaga pendidikan sebagai sarana menaikan
strata social dan ajang mencari ijazah belaka. Pelaksanaan pendidikan di Negeri ini harus
diakui masih membutuhkan banyak pembenahan dalam berbagai aspek, baik dari sisi
birokrasi, manajemen, sistem kontrol, hingga sisi internalnya, yakni terkait konsep pendidikan
dan aplikasi praksis dalam menciptakan yang sesuai dengan kondisi dan kultur Bangsa (Moh.
Makin Baharuddin 2007:63). Maraknya kekerasan dalam pelaksanaan pendidikan saat ini
seperti guru yang menampar muridnya di hadapan murid lainya, praktik pelecehan seksual
yang dilakukan guru terhadap siswi-siswinya sendiri sebagaimana dulu terjadi di salah satu
sekolah bertaraf Internasional sebut saja Jakarta International School (JIS), dan masih banyak
lagi kasus-kasus yang mencerminkan kegagalan pelaksanaan pendidikan yang dikelola secara
manusiawi.
Pengelolaan pendidkan dengan cara sebagaimana penjelasan di atas, hanya menekankan
salah satu aspek seperti orientasi pada profit, dan aspek lain, yakni pengelolaan pendidikan
hanya menggulkan aspek kognitif. Aspek kognitif ini pun hanya menekankan pada sisi
hapalan, akibatnya lembaga pendidikan yang menjalankan sistem pendidikan dengan cara ini
akan melahirkan manusia-manusia yang tercerabut dari akar sosialnya. Karena, bukan rahasia
umum lagi bahwa pengelolaan pendidikan di negeri ini rentan memisahkan peserta didik dari
sosio-kultur masyarakatnya dengan cara menggunakan kurikulum padat isi dan mental
penyeragaman serta kedisiplinan ala militer (Ahmad Bahrudin 2007:12). Kegagalan
pengelolaan pendidikan sebagaimana penjelasan tersebut di atas diperparah lagi oleh proses
pembelajaran yang menggunakan banking sistem, yakni sebuah sistem atau proses transfer of
knowledge yang dilakukan secara copy-paste dari seorang guru kepada muridnya. Dimana
model pelajaran dengan sistem ini hanya mengandalkan doktrin seperti murid hanya digurui,
diajar dan dijejali dengan mata pelajaran yang sudah didesain dan ditentukan oleh guru,
lembaga, atau Negara.Sebagian besar mata pelajaran yang diberikan tidak sesuai dengan
kebutuhan siswa dan komunitasnya (Ahmad Bahrudin 2007:13).
Akibatnya, peserta didik lebih banyak diam membisu dalam kelas, akibat tertekan, hilang
rasa solidaritas, dan hanya mengejar grade atau izajah. Sebuah kondisi pengelolaan atau
pelaksanaan pendidikan yang jauh dari semangat keberpihakan pendidikan yang digaungkan
oleh Ki Hadjar Dewantara dan Romo Mangun.Dimana pengelolaan pendidikan oleh kedua
tokoh ini, mendesain konsep pendidikan yang berpihak pada anak, menanamkan kemandirian,
kebebasan, dan penghargaan terhadap budaya komunitas peserta didik.Sedang pelaksanaan
pendidikan saat ini menghilangkan apek pemandirian peserta didik, menghilangkan daya
kritis, kreatif, dan eksploratif peserta didik menjadi terkebiri. Kondisi ini oleh Romo Mangun
diseebutnya sebagai pelaksanaan pendidikan model pemburu, pawing dan pembunuh peserta
didik (Dedy Pradipto 2007:21). Problem lain yang tidak kalah sulit ialah mahalnya biaya
pendidikan yang mengakibatkan hilangnya kesempatan kaum miskin untuk mengenyam
pendidikan. Meskipun pemerintah telah menggalakan sekolah gratis 9 tahun dan memberikan
bantuan pendidikan melalui program-program seperti BOS.Tetapi pada kenyataanya, masih
banyak iuran sekolah yang harus ditanggunng orang tua murid seperti pembelian seragam,
pembelian buku, uang gedung, uang infak atau lainya. Singkatnya, kapitalisme pendidikan
dalam dunia pendidikan masih menjadi kesempurnaan pengelolaan pendidikan. Dititik inilah,
konsep pendidikan ala Ki Hadjar Dewantra dan Romo Mangun menjadi penting untuk
dipikirkan kembali. Sebagai pionir kritikus pendidikan Indonesia, mereka berdua dalam
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
54
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
merumuskan konsep pendidikan mereka mulai dengan satu proses eksperimen sehingga
konsepsi pendidikan mereka benar-benar berakar kuat dalam tradisi filsafat dan
mengembangkan teori-teori para pakar kritikus pendidikan barat, seperti Jean Pieget, Ivan
Illich, Jurgen Habermas, da Faulo Freire (Novian Jupriyono. 2002:60). Tulisan ini
dimaksudkan untuk mengkaji bagaimana relevansi konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara
dan Romo Mangun dalam menjawab problem pendidikan kekinian seperti mahalnya biaya
pendidikan, kebijakan pendidikan yang tidak berpihak pada kelompok masyarakat kecil, dan
pelaksanaan pendidikan yang tidak mempertimbangkan keterlibatan lingkungan peserta didik
lingkungan. Deretan persoalan pendidikan kekinia yang tidak pernah di respon secara serius
oleh Negara atau pemerintah dan selanjutnya penulis akan mendesain bagaimana kelindan
antara persoalan pendidikan saat ini kaitanya dengan gagasan atau konsep pemikiran Ki
Hadjar Dewantara dan Romo Mangun. Adapun persoalan tersebut antara lain:
1. Pengelolaan Pendidikan Yang berorientasi Pada Profit
Fenomena sulitnya masyarakat kecil untuk menyekolahkan anak-anaknya disekolah-
sekolah paforit atau sekolah unggulan, merupakan fakta yang tak terbantahkan.Kondisi ini
merupakan bukti pengingkaran atas mandat undang-undang yang dengan tegas memberikan
jaminan kepada warga Negara untuk mengenyam pendidikan dari SD sampai jenjang
Perguruan Tinggi. Wujud sederhana dari proses pengingkaran atas mandat Undang-
Undang, yakni ketika pengelolaan pendidikan di Sekolah-Sekolah berjalan dengan satu
pertimbangan tunggal, yakni lebih memperhatikan profit dari pada upaya mencerdaskan
peserta didik. Karena pengelolaan pendidkan sudah didesain dengan pendekatan bisnis,
maka akibatnya biaya pendidikan menjadi mahal.Tagihan-tagihan yang tidak jelas
dibebankan kepada peserta didik silih berganti yang hal ini kemudian membuat orang tua
peserta didik menjadi kesulitan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Pada hal pemerintah
sudah memberikan subsidi kepada masyarakat miskin untuk bisa membiayayi studi anak-
anaknya dengan adanya dana BOS. Namun, pada kenyataanya, masih banyak iuran sekolah
yang harus ditanggung orang tua murid seperti pembelian seragam, pembelian buku, uang
gedung, uang infak, dan lain- lain. Pengelolaan pendidikan yang kapitalistik seperti ini
sangat bertentangan dengan Konsep pendidikan yang dicanangkan Ki Hadjar Dewantara
dan Romo Mangun. Ki Hadjar Dewantara misalnya, dijamana Kolonial, disaat sistem
pendidikan Kolonial dikelola secara diskriminatif, dimana yang bisa merasakan atau
mengikuti pendidikan hanya kelompok atau level masyarakat tertentu (keluarga ningrat)
dan mereka-mereka yang dekat dengan penguasa Kolonial, kemudia tampil gagasan brilian
dari Ki Hadjar Dewantara yang membela kelompok lemah yang merasakan efek dari
diskriminatif tersebut dengan mendesain konsep pendidikan yang berpihak pada kelompok
masyarakat kecil (Paul Suparno, dkk. 2002:68). Sebuah konsep pendidikan yang
menekankan pada prinsip kemandirian yang hal ini berhasil terlembagakan secara konsisten
di Taman Siswa sebagai salah satu lembaga pendidikan formal inklusif yang mempasilitasi
peserta didik atau anak-anak pribumi yang teralienasi dari proses pendidikan. Disaat
dinamika pendidikan Kolonial hanya memberikan kesempatan pada anak-anak dari
kalangan ningrat dan pola pembelajaran yang menjauhkan anak-anak atau peserta didik dari
budaya lokalnya.
Maka tampilnya konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara berhasil merubah sistem
hegemonik itu dengan jalan pelaksanaan pembelajaran yang mengedepankan pentingnya
keterlitabatan lingkungan dalam proses pembelajaran disekolah. Peran serta orang tua
murid dalam pembelajaran menjadi media paling tepat untuk membekali peserta didik
untuk memahami budaya lokalnya sebagai jalan untuk meningkatkan pemahamannya
terhadap perkembangan serta apa kebutuhan utamanya atas perkembangan tersebut.
Ki Hadjar Dewantara melalui asas-asas Taman Siswa, sangat faham bahwa lingkungan
kekuasaan Kolonial yang hegemonik itu telah menjauhkan masyarakat pribumi dengan
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
55
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
lingkungan budaya lokalnya.Sistem pendidikan Kolonial yang begitu kuat dan dijalankan
selama lebih dari 350 tahun telah berhasil membawa generasi pribumi menjadi generasi
yang kerdil, takut, tidak percaya diri, dan bodoh.Kenyataan yang memiluhkan ini,
kemudian membuat Ki Hadjar Dewantara bangkit dengan gagasan brilianya mendesain
konsep pendidikan yang setara dengan ilmu pendidikan modern racikan Kolonial yang
memperdaya masyarakat pribumi tersebut.Gagasan Ki Hadjar Dewantara yang berhasil
membendung hegemoni sistem pendidikan Kolonial tersebut sudah menjadi roh Taman
Siswa. Yang hal ini suda dikenal dengan azas- azas pendidikan Taman Siswa seperti (Paul
Suparno, dkk. 2002:68):
a. Asas Kemandirian Manusia
b. Asas sistem among yang merupakan habitus dari perkembangan prinsip kemandirian
tersebut.
c. Habitus budaya termasuk lingkungan alamiah dimana terjadi perwujudan
kemandirian dan sistem among tersebut.
Gagasan tersebut menempatkan kemandirian sebagai target capaian pengelolaan
pendidikan. Dimana peserta didik diberikan kemerdekaan untuk mengaktualisasikan
kemampuan dan kreativitasnya termasuk bagaimana mengenali kebudayaanya yang hal ini
tidak pernah terpikirkan dalam pelaksanaan pendidikan saat ini. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Romo Mangun melalui pikiran-pikiran pendidikanya dalam merasionalkan
kebijakan pendidikan yang tidak pernah berpihak pada kelompok masyarakat marginal.
Keberpihakan Romo Mangun terhadap kelompok marginal ini terlihat dari pikiranya yang
mengatakan bahwa: “Rakyat yang lema perlu diberdayakan karena mereka tertindas oleh
berbagai kekuasaan didalam masyarakat”. (Sulistiawati. 2006:74). Keberpihakan Romo
Mangun terhadap kelompok masyarakat lemah ini dikristalkan melalui gagasan pendidikan
yang membebaskan.Yang hal ini sudah terlembagakan dalam lembaga yang kelak dikenal
dengan Dinamika Edukasi Dasar (DED).Melalui lembaga ini, anak-anak dari keluarga
miskin digembleng secara serius, yang kemudian konsep pemikiran tersebut berhasil
menjadi antagonis dari sistem pendidikan feudal. Pemikiran pendidikan Romo Mangun
secara prinsip berorientasi pada peserta didik atau suasana alamiah, yakni suasana dimana
anak dapat berkembang sewajarnya yang bersifat kemanusiaan serta kekeluargaan (Jufri.
2000:37). Sikap kritis Romo Mangun tersebut menjadi satu eksperimen yang sangat efektif
mengangkat harkat dan martabat anak-anak masyarakat lemah dalam memperoleh haknya
dalam pelaksanaan pendidikan.
Adapun prinsip dasar pendidikan Romo Mangun sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
adalah sebagai berikut :
a. Peserta didik mempunyai keinginan untuk mengeksplorasi dirinya dana alam
sekitarnya.
b. Peserta didik dilahirkan dengan berbagai kemampuan seperti ingin berdiri sendiri,
ingin berkomunikasi dan mengembangkan bakat kebersamaanya dengan sesame
temanya.
c. Kondisi tempat berlangsungnya proses pendidikan haruslah dalam suasana
kekeluargaan.
d. Penataan diri sendiri (Self Govermant), merupakan salah satu fitrah manusia adalah
keinginan untuk berdiri sendiri atau menata diri sendiri. Pemikiran tersebut
berorientasi pada upaya pembijaksanaan keragaman bakat-bakat atau sederet potensi
yang melekat pada diri peserta didik. Maka cara pandangan seperti ini, menargetkan
pentingnya eksplorasi diri dalam pelaksanaan pendidikan. Sebab pelaksanaan
pendidikan dengan gaya pemikiran seperti ini mengharuskan perlunya upaya
mendekatkan peserta didik dari lingkungan social dan budaya lokalnya.
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
56
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
Dari pemikiran kedua tokoh tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sumbangan
pemikiran kedua masing sangat relevan terhadap perkembangan pendidikan saat ini.Bahkan
sisi kebaruan dari konsep pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Romo Mangun
adalah gagasan pelibatan lingkungan (keluarga) peserta didik dalam pengelolaan atau
pelaksanaan pendidikan.Yang hal ini dalam konteks pendidikan kekinian telah menjadi
konsep yang banyak mengilhami desain kurikulum pendidikan.
2. Manajemen Pengelolaan Pendidikan Berbasis Pusat
Era reformasi telah berhasil mengakhiri dominasi Pusat dalam setiap urusan pemerintahan
dan pembangunan termasuk pendidikan.Puncaknya ketikan Otonomi daerah berhasil
dukukuhkan sebagai sistem yang digunakan oleh daerah dalam menata urusan
pemerintahan yang ada di Daerah.Pengelolaan urusan pendidikan pun tidak lari dari sistem
atau manajemen ini, yakni manajemen berbasis pusat. Diterbitkanya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang pemerintahan daerah. Dua
ketentuan ini menjadi dasar atau pijakan pelaksanaan Otonomi Daerah, konsekuensi logis
yang harus kita perhatikan setelah di Undangkanya dua ketentuan itu adalah kenyataan
bahwa manajemen pendidikan harus disesuai dengan jiwa dan semangat otonomi.Dengan
demikian, manajemen pendidikan berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekan perlu
diubah dari manajemen berbasis Pusat menjadi manajemen berbasis Sekolah. Adapun
alasan mendesak kenapa perlunya manajemen berbasis pusat harus diganti dengan
manajemen sekolah menurut Mulyasa (2012:39), yakni selain alasan normative, secara
empiris Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memang perlu diterapkan karena dilapangan
menunjukan kenyataan-kenyataan sebagai berikut:
a. Menejemen berbasis Pusat selama ini telah banyak memiliki kelemahan
Adapun beberapa kelemahan tersebut antara lain sebagai berikut:
a) Keputusan Pusat sering tidak sesuai dengan kebutuhan Sekolah
b) Administrasi berlebihan yang dikarenakan lapis-lapis Birokrasi yang terlalu banyak
menyebabkan kelambanan dalam menangani setiap pemasalahan, sehingga
menyebabkan kurang optimalnya kinerja sekolah.
c) Administrasi telah mengendalikan kreasi.
d) Proses pendidikan telah dijalanka dengan Undermanaged sehingga menghasilkan
tingkat efektifitas dan efisiensi yang rendah.
e) Pendekatan sarwa Negara (state driven) telah menepatkan sekolah pada posisi
marginal,sehingga sekolah tidak memeliki keberanian moral (prakrsa) untuk
berinisiatif.
f) Sekolah tidak peka dan jeli dalam menangkap dan mengukap
permasalahan,kebutuhan,dan aspirasi pendidikan dalam masyarakat dan manajemen
berbasis pusat tidak saja menumpulkan daya kreativitas sekolah,tetapi juga mengikis
habis rasa kepemilikan warga sekolah terhadap sekolahnya.
b. Sekolah paling memahami permasalahan disekolahnya.
Karena itu, sekolah merupakan unit utama yang harus memecahkan permasalahanya
melalui sejumlah keputusan yang di buat, sedekat mungkin dengan kebutuhan sekolah.
Untuk itu, sekolah harus memeliki kewenangan (otonomi), tidak saja dalam
pengambilan keputusan, akan tetapi justru dalam mengatur dan mengurus kepentingan
sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan
payung kebijakan makro pendidikan nasional.
c. Perubahan di sekolah akan terjadi jika semua warga sekolah ada “rasa memeliki” yang
berasal dari kesempatan berpartisipasi dalam merumuskan perubahan dan keluwesan
untuk mengadaptasinya terhadap kebutuhan individu sekolah.rasa memeliki ini pada
giliranya akan meningkatkan pula rasa tanggub jawab. Jadi,makin besar tingkat
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
57
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
partisipasi warga sekolah dalam pengambilan keputusan,makin besar rasa memeliki
terhadap sekolah, dan makin besar pula rasa tanggub jawabnya.yang demikian ini berarti
bahwa perubahan lebih di sebabkan oleh dorongan internal sekolah dari pada tekanan
dari luar sekolah.
d. Telah lama pengaturan yang bersifat birokratik lebih dominan dari pada tanggub jawab
professional, sehingga kreativitas sekolah pada umummya dan guru pada khususnya
terpasung dan bahkan terbunuh. Tidak jarang pula di jumpai bahwa formalitas sering
jauh melampaui hakiki. Yang lebih parah lagi guru-guru kehilangan jiwa
kependidikanya. Mendidik tidak lebih dari sekedar pengenalan nilai nilai,yang hasilnya
hanya berupa pengatahuan nilai (logos) dan belom sampai pada penghayatan nilai (etos),
apa lagi sampai pengamalanya. Akibatnya, menurut Abrijal (1999:57) proses belajar
mengajar di sekolah lebih memengtinkan jawaban baku yang di anggap benar oleh guru,
disbanding dengan kreasi,nalar,dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan
kemungkinan kemungkinan baru. Tidak ada keterbukaan dan demokrasi. Tida da
toleransi pada kekeliruan akibat kreatufitas berpikir, karena yang benar adalah apa yang
di persepsikan benar oleh guru, sehingga yang terjadi hanyalah memorisasi dan recal dan
tidak dihargainya kreatifitas dan kemampuan peserta didik. Pada hal pembelajaran yang
sebenarnya semestinya lebih mementingkan pada proses pencarian jawaban di banding
memiliki jawaban.
e. Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) beasal dari tiga kata yaitu manajemen,
berbasi, dan sekola. Manajemen adalah pengkordinasian dan pengerasian sumber daya
melalui sujumlah imput manajemen untuk mencapi tujuan atau untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan. Imput manajemen terdiri dari tugas rencana, program, limitasi yng
terwujud dalam bentuk ketentuan-ketentuan. Pengertian manajemen tersebut, menurut
Poernomosidi Haji Sarosa (1997:36) dapat dilukiskan seperti gambar 1 berikut dengan
keterangan : SDM/ M (sumber daya mnusia manajer) mengatur sumber daya manusia
pelaksana (SDM/P) melalui imput manajemen yang terdiri dari (T = tugas, R = rencana,
P = program, T3 = tindakan turun tangan, K = kesan) agar SDM P menggunakan jasa
manusianya (JM) untuk bercampur tangan terhadap sumber daya selebihnya (SD-
SLBH), sehingga proses dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output.
f. Dari uraian tersebut dapat dirangkum bahwa manajemen berbasis sekolah adalah,
pengkordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otonomis
(mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah imput manajemen untuk mencapai sekolah
dalam kerangka pendidilan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan
yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan
(partisipati). Kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah meliputi : kepala
sekola dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga adiminstratif, orang tua siswa,
masyarakat, para professional, wakil pemerintah, wakil organisasi pendidikan.
Kembali lagi bahwa, prinsip pengelolaan pendidikan di Era Otonomi Daearh bernapaskan
pada kewenangan/ kemandirian, yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya
sendiri, dan mereka/tidak tergantung pada pusat (Undang-Undang NO. 22 Tahun 1999 tentang
pemerintah daerah) istilah otonomi juga sama dengan istilah swasembada, swakelola,
swakarya, swalaya, dan swa-swa lainya. Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat disimpulkan
bahwa otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan warga sekola menerut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekola sesuai
dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja
kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan
mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan
pendapat, kemampuan memoblisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
58
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
terbaik, kemampuan berkomunikasi yang efektif, kemampuan yang memecahkan persoalan-
persoalan sekolah.
Untuk mencapai otonomi sekolah, diperlukan suatu proses yang disebut desentralisasi.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan pendidikan dari pemerintahan
pusat kepada pemerintah daerah, dari pemerintah dati 1 ke dati 11, dari dati 11 kesekolah, dan
bahkan dari sekolah ke guru, tetapi harus tetap dalam kerangka pendidikan nasional (Dedy
Supriyadi. 2003:74). Pengalaman selama ini menunjukan bahwa pendidikan yang diatur secara
sentarilstik menghasilkan fenomena- fenomena seperti berikut: lamban berubah /beradaptasi,
bersifat kaku, normatif sekali oreantasinya karena terlalu banyaknya lapis-lapis birokrasi.
Birokrasi mengendalikan fungsi dan bukan sebaliknya, uniformitas telah memasung
kreativitas, tradisi serta serimoni yang kepalsuan sudah menjadi kebiasaan.
Pengambilan keputusan partisipatif menurut David (1999:41) adalah suatu cara untuk
mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimanah
warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, took masyarakat) didorong untuk
terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat berkontrubusi
terhadap pencapai tujuan sekolah. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang
dilibatkan (berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka warga sekolah termasuk orang
tua murid juga harus turut dilibatkan. Karena bagaimana pun keputusan ynag diambil sekolah
juga akan berpengaruh bagi murid. Sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung jawab
dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya :makin besar tingkat
partisipasi, peserta didik atau orang tua murid dan warga sekolah, maka makin besar pula rasa
memiliki, rasa tanggung jawabnya, dan makin besar juga dedikasinya. Tentu saja pelibatan
warga sekolah dan orang tua murid dalam pengambilan keputusan harus mempertimbangkan
keahlian, yuridiks, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan sekolah.
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengembagan manajemen berbasis
sekolah semestinya mengakar disekolah, dan orang tua murid serta terfokus di lingkungan
peserta didik, untuk itu penerapan manajemen berbasis sekolah memerlukan konsolidasi
manajemen sekolah. Adapun tujuan manajemen berbasis sekolah adalah untuk
memberdayakan sekolah terutama sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru,
karyawan, siswa, orang tua murid, dan masyarakat sekitarnya) melalui pemberian
kewenangan, fleksiblitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi
oleh sekolah yang bersangkutan.
4. Kesimpulan
Peran keluarga dalam mendorong kualitas pembelajaran di sekolah menurut Ki Hadjar
Dewantara dan Romo Mangun menjadi sangat relevan dan meningkatkan kualitas
pembelajaran di sekolah. Berikut penjelasan Peran Keluarga dalam Meningkatkan
pembelajaran di sekolah. Pertama peran keluarga, sebagaimana difahami bahwa lingkungan
paling primer yang menjadi tempat interaksi para siswa atau murid adalah keluarga. Waktu
yang dimiliki oleh keluarga sangat luas untuk memantapkan pengemblengan peserta didik
sangat strategis. Karena itu, peran aktif keluarga dalam mendorong perkembangan belajara
peserta didik sangat efektif dengan alokasi waktu yang banyak tersebut. Selain itu, dibutuhkan
pula kebijakan pendidikan yang berbasis kearifal lokal, guna memudahkan siswa mengenali
lingkungan domestiknya (budayanya lokalnya). Keterkaitan peran keluarga dalam
Pengembangan Pendidikan dengan konsep Ki Hadjar Dewantara dan Romo Mangun jika
peran keluarga dalam mendorong pengembangan kualitas pendidikan sangat maksimal,
dengan pertimbangan waktu yang memadai sekaligus agar kemandirian peserta didik bisa
tercapai setelah mendapatkan bimbingan tambahan dari keluarga dirumah. Hal ini sejalan
dengan konsep pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara melalui asas-asas taman siswa,
antara lain: asas kemandirian manusia, asas sistem among yang merupakan habitus dari
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
59
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
perkembangan prinsip kemandirian tersebut, Habitus budaya termasuk lingkungan alamiah
dimana terjadi perwujudan kemandirian dan sistem among tersebut.
Gagasan tersebut juga sejalan dengan konsep pemikiran pendidikan Romo Mangun yang
dikenal dengan konsep Dinamika Edukasi Dasarnya (DED). Melalui konsep pemikiran
pendidikan ini masyarakat mampu menelaah maksud dan tujuan kebijakan pendidikan yang di
konstruksi oleh pemerintah. Gagasan pemikiran ini dikonstruksi untuk mengikis praktik
diskriminasi dan bentuk-bentuk ketidak adilan yang terjadi di sekolah saat proses
pembelajaran berlangsung. Dari penjelasan ini, dapat difahami bahwa keberpihakan kebijakan
pendidikan harus kepada kelompok masyarakat lemah agar tidak terjadi diskriminasi dalam
pelaksanaan pendidikan. Hal ini misalnya, dapat dilihat melalui prinsip dasar pendidikan
Romo Mangun sebagai berikut: Peserta didik mempunyai keinginan untuk mengeksplorasi
dirinya dan alam sekitarnya, peserta didik dilahirkan dengan berbagai kemampuan seperti
ingin berdiri sendiri, ingin berkomunikasi dan mengembangkan bakat kebersamaanya dengan
sesama temanya. Kondisi tempat berlangsungnya proses pendidikan haruslah dalam suasana
kekeluargaan. Penataan diri sendiri (self govermant), merupakan salah satu fitrah manusia
adalah keinginan untuk berdiri sendiri atau menata diri sendiri.
5. Daftar Pustaka
Abdurrahman Soerjomiharjo. 1986. Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah
Indonesia Modern, Jakarta: Sinar Harapan.
Achmad Mubarok. 2005. Psikologi Keluarga: Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga
Bangsa, Jakarta : Bina Reka Pariwara.
Anwar Hafid., dkk. 2013. Konsep Dasar Ilmu Pendidikan, Bandung: Alfabeta.
Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Kompas.
Abrijal. 1999. Manejemen Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal, Yogyakarta: Diffa Press.
Aswanto. 2013. Kerangka Dasar Pemikiran Romo Mangun Relevansinya Dengan Pendidikan
Masa Kini, Yogyakarta (Skripsi tidak dipublikasikan): Universitas Wiyata Taman Siswa.
Ahmad Bahrudin. 2007. Pendidikan Alternatif Qoryah Toyyibah, Yogyakarta: LKiS.
Budiawan. 2006. Anak Bangsawan Bertukar Jalan, Yogyakarta: LKis.
Chatib Munif. 2011. Sekolahnya Manusia, Bandung: Kaifa.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Depdiknas. 2011. Bahan Pelatihan Manajemen Keuangan Sekolah Madrasah, Jakarta: Graha
Pustaka.
Djuju Sudjanah. 1994. Peranan Keluarga di Lingkungan Masyarakat, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Dewanstara. 2009. Pangkal-Pangkal Roh Taman Siswa: Pemahaman dan Penghayatan Asas-
Asas Taman Siswa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dedi Supriyadi. 2003. Manajemen Mutu Terpadu, Bogor: Ghalia Indonesia.
Helmawati. 2017. Pendidikan Karakter Sehari-Hari, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Haryu Islamuddin. 2012. Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasbulloh. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
60
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
Hasan Langgulung. 2003. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta : Pustaka Alhusna Baru.
Haris Herdiansyah. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta:
Salemba Humanika.
H.A.R Tilaar & Riant Nugroho. 2012. Kebijakan Pendidikan: Pengantar Untuk Memahami
Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ivan Ilich. 1982. Bebas Dari Sekolah, Jakarta: Sinar Harapan.
John M. Bryson. 2007. Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Jufri. 2000. Bunga Rampai Pemikiran Romo Mangun, Yogyakarta: Kanisius.
Kasmadi. 2013. Membangun Soft Skills Anak-Anak Hebat, Bandung: Afabeta.
Kamanto Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Fakultas Ekonomi UI.
Ki Hadjar Dewantara. 2004. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama, Yogyakarta:
Majenlis Luhur Persatuan Taman Siswa.
-----------------------------. 2009. Menuju Manusia Merdeka, Yogyakarta: Leutika.
Lexy J. Moleong. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mufidah. 2008. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UIN Malang Press.
Mushthafa. 2013. Sekolah Dalam Himpitan Google dan Bimbel: Visi Pendidikan, Tatangan
Literasi, Pendidikan Lingkungan, Yogyakarta Lkis.
Muchlas Samani dan Heriyanto. 2014. Pendidikan Karakter: Konsep dan Model, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
M. Ngalim Purwanto. 2000. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mangatas Tampubolon. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Bermutu Berdasarkan Sistem
Broad
Based education dan High Based Education Dalam Menghadapi Tantangan Abad ke 21di
Indonesia, Medan: FIP-UNIMED Medan.
Malik Fajar. 1999. Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia.
Moh. Nazir. 2005. Metode Penelitian Kepustakaan, Bogor: Ghalia Indonesia.
Masrun. 2003. Aliran-Aliran Psikologi dan Penerapanya dalam Dunia Pendidikan,
Yogyakarta: Gajah Madah University Press.
Mulyasa. 2012. Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Moch. Tauchid. 1968. Ki Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional,
Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
Noehi Nasution. 1993. Materi Pokok Psikologi Pendidikan, Jakarta: Universitas Terbuka.
Ridwan. 1993. Reformasi Intelektual Islam, Yogyakarta: ITTAQA Press.
Rahmanto. 2001. YB Mangunwijaya: Karya dan Dunianya, Jakarta: Grasindo.
Sumaryono. 1999. Dasar-Dasar Logika, Yogyakarta: Kanisius.
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 40-61
61
A., L. A., & Kusumawati, I. (Peran Keluarga dalam Mendorong Kualitas.)
Samsudin. 2017. Sosiologi Keluarga : Studi Perubahan Fungsi Keluarga, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sudarwan Danim. 2010. Pengantar Pendidikan: Landasan Teori, dan 234 Metafora
Pendidikan, Bandung: Alfabeta.
--------------------. 2006. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Syamsu Yusuf. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Slameto. 1991. Belajar dan Faktor Yang Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka Cipta.
Syaiful Sagala. 2000. Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: Alfabeta.
Sajoga. 1922. Pangkal-pangkal Roh Taman Siswa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutarjo. 2010. Gagasan Pemikiran Pendidkan Romo Mangun, Skripsi (tidak dipublikasikan):
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sumitri. 2004. Memahami Keberpihakan Pendidikan Romo Mangun Pada Kaum Lemah,
Universitas Wiyata Taman Siswa: Yogyakarta.
Taryati, dkk. 1995. Pembinaan Budaya Dalam Lingkungan Keluarga, Yogyakarta: Kanwil
Depdikbud DIY.
Poernomosidi Haji Saroso. 1997. Urgensi Pendidikan Alternatif, Bandung: Alfabeta.
Wasi Darmolono. 2011. Ultimate Winning Mindset, Yogyakarta: Me-Dhia Press.
YB Mangun Wijaya. 1998. Konsep Ketamansiswaan, Yogyakarta: Yayasan Tamansiswa.
Zakiah Daradjat. 1998. Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, Bandung: Remaja
Rosdakarya.