AoSSaGCJ, Vol. 1, Issue 1, (2021) page 1-14
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
ISSN: xxxx-xxxx (Print) xxxx-xxxx (Online)
Journal Homepage: https://jurnal.ucy.ac.id/index.php/AoSSaGCJ/index
1
10.47200/AoSSaGCJ.v1i1.1587 aossagcj@gmail.com
Identitas warga asli Dieng dengan keunikan ruwatan
rambut gimbal
Isrofiah Laela Khasanah
a,1*
, Tri Yunita Sari
b,2
, Dina Nurayu Ningtyas
c,3
Dwi Indah Lestari
d,4
a,b,c,d
Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Umbulhrajo, Kota Yogyakarta, 55161
1
isrofiah75@gmail.com,
2
3
dinanurayun@gmail.com,
4
dwindahl170[email protected]m
*
Corresponding Author
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 2 Januari 2021
Direvisi: 20 Maret 2021
Disetujui: 18 April 2021
Tersedia Daring: 1 Juni 2021
Penelitian ini dilatarbelakangi dengan keunikan ruwatan masyarakat
yang berambut gimbal di daerah dataran tinggi Dieng yang berada di
daerah Banjarnegara, Jawa Tengah. Ruwatan gimbal ini dipercayai
sebagai titisan Kyai Kolodete (penjaga Dieng). Penelitian yang
dilakukan yaitu menggunakan studi literatur dan bersumber dari
artikel, jurnal, buku dan hasil skripsi dari berbagai media yang ada,
hasil dari penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa keberadaan
ruwatan rambut gimbal masih dilaksanakan pada masa sekarang
terbukti dengan diadakannya Dieng Culture Festival. Keberadaan tradisi
ini dipengaruhi oleh banyak keiistimewaan yang terdapat dalam
pelaksaan ruwatan tersebut. Kemudian, kedudukan tradisi yang masih
dipegang teguh oleh masyarakat sekitar membuktikan rasa cinta
masyarakat terhadap budaya yang ada tidak luntur dengan budaya-
budaya yang terus berdatangan dari luar. Hal tersebut yang harus kita
terapkan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Kata Kunci:
Keunikan
Masyarakat
Ruwatan
ABSTRACT
Keywords:
Ruwatan
Society
Uniqueness
This research is motivated by the uniqueness of the community with
dreadlocks in the Dieng plateau area in the Banjarnegara area, Central
Java. Ruwatan dreadlocks is believed to be the incarnation of Kyai
Kolodete (guard Dieng). The research was conducted using literature
studies and sourced from articles, journals, books and thesis results from
various existing media, the results of the research conducted showed that
the existence of dreadlocks treatment is still being carried out today as
evidenced by the holding of the Dieng culture festival. The existence of
this tradition is influenced by the many privileges contained in the
implementation of the ruwatan. Then, the position of tradition that is still
firmly held by the surrounding community proves the people's love for the
existing culture does not fade with the cultures that keep coming from
outside. This is what we must apply in social life in Indonesia.
© 2021, Khasanah, Sari, Ningtyas, Lestari
This is an open access article under CC BY-SA license
How to Cite: Khasanah, I., Sari, T., Ningtyas, D., & Lestari, D. (2021). Identitas warga asli Dieng
dengan keunikan ruwatan rambut gimbal. Academy of Social Science and Global
Citizenship Journal, 1(1), 1-14. https://doi.org/10.47200/aossagcj.v1i1.1587
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 1-14
2
1. Pendahuluan
Pada dasarnya manusia diciptakan dengan banyaknya perbedaan yang ada pada setiap
individu hal ini yang membedakan setiap individu dengan individu lain, hal hal yang bersifat
unik dan hanya dimiliki oleh individu tersebut tanpa ada yang menyamai secara persis. Hal ini
yang memiliki pola pikir terhadap kecenderungan untuk berpikir secara logis, akan banyak
tingkah laku yang diakibatkan oleh adanya pemikiran secrara logis seperti bahagia, dan
berkompeten, sebaliknya jika manusia berpikir secara irasional seperti bertingkah laku yang
tidak efektif.
Reaksi yang ditimbulkan adalah emosial yang disebabkan oleh sebagian besar orang dan
membentuk interpretasi dan filsafat yang dipahami maupun tidak dipahami. Hambatan yang
terjadi secara psikologis atau emosional ialah dari sudut pandang dan cara individu berpikir
yang tidak logis. emosi yang diakibatkan individu yang memiliki pola pikir dengan penuh
berprasangka, personal, dan tidak logis. Berpikir irasional atau tidak logis dimulai dengan
mempelajari hal yang dianggap tidak masuk akal yang didapat dari masyarakat atau lingkungan
sekitar yang berpengaruh pada budaya daerah sekitar. Berpikir secara irasional akan terlihat
dari verbalisasi yang dpergunakan, verbalisasi yang irasional harusnya menunjukkan
bagaimana cara manusia berpikir yang tidak sesuai dan verbalisasi yang benar harus
memperlihatkan bagaimana cara berpikir yang sesuai. Pikiran negatif dan prasangka yang tidak
baik serta penolakan diri harus ada penolakan dengan adanya cara manusia dalam berpikir yang
logis, agar dapat diterima oleh masyarakat dan masuk kedalam akal sehat dan dapat
menggunakan cara verbalisasi yang sesuai dan benar (Juhri et al., 2020).
Membahas terkait keunikan setiap manusia yang ada di bumi terdapat sebuah keunikan
yang bisa dibilang hanya ada di daerah dataran tinggi dieng, sudah menjadi rahasia umum
tentang keunikan suku dieng, dimana terdapat manusia yang memiliki rambut gimbal, rambut
gimbal tersebut menjadi ciri khas dari suku dieng yang mungkin saja tidak dimiliki oleh
masyarakat ataupun suku lain (Ni’mah et al., 2022). Hal ini menjadikan daerah dieng banyak
dikunjungi oleh masyarakat sekitar maupun berbagai daerah di indonesia. Dengan adanya
pariwisata di daerah Dieng di harapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di dieng,
sekaligus memperkenalkan dieng ke kancah nasional maupun internasional.
Menurut beberapa informasi yang didapat dari berbagai artikel dan juga penelitian
menunjukkan bahwa daerah Jawa Tengah memiliki banyak wisatawan dari mancanegara dan
domestik yang datang ke Jawa Tengah salah satu wisata yang mereka datangi adalah dieng.
Bahkan menurt kepala UPT Dieng peningkatan wisatawan meningkat sebanyak 54% dibanding
tahun sebelumnya. Dengan tingginya presentase yang ada pada saat ini seharusnya dapat di
optimalkan oleh pihak masyarakat sekitar wilayah dieng, tidak hanya destinasi wisata nya yang
di optimalkan namun, kuliner dan sarana-prasana penunjang tempat wisata juga digalakkan
(Chrisanti, 2021b).
Dieng Culture Festival (DCF) acara rutin tahunan yang dilaksanakan di daerah Dieng
acara ini dilaksanakan untuk kegiatan tradisi ruwatan rambut gimbal. Tradisi ini dilaksanakan
berdasarkan budaya turun-menurun nenek moyang mereka, proses ini dilakukan untuk
slametan pemotongan rambut gimbal anak yang tumbuh secara alami, tradisi ruwatan ini
dipercaya dapat memberikan keselamatan bagi anak yang diruwat. masyarakat Dieng masih
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 1-14
3
Khasanah et.al (Identitas warga asli Dieng.)
melaksanakan upacara ini secara rutin karena mereka mempercayai bahwa anak yang memiliki
rambut gimbal adalah keturunan kyai koldete. Kyai Koldete dipercaya sebagai penguasa dari
telaga balekambang beliau juga menjadi tokoh yang dituakan sekaligus tokoh spiritual yang
yang sangat dipercayai oleh hampir seluruh masyarakat Dieng sebagai leluhur mereka.
Ruwatan pada anak yang memiliki rambut gimbal juga dipercayai agar nasib anak
tersebut kedepannya dapat terbebas dari balak dan musibah yang akan menimpanya di
kemudian hari prosesi ruwatan dilakukan dengan orang tua harus memenuhi keinginan sang
anak sebelum di laksanakan proses pemotongan rambut gimbal tersebut, namun jika keinginan
sang anak tidak terpenuhi sang anak akan mengalami sakit sakitan meskipun proses ruwatan
telah dilaksnakan. Chrisanti, (2021b) Setelah proses ruwatan selesai sesuai dengan
ketentuannya maka anak-anak yang memiliki rambut gimbal yang sudah dipotong, rambut
yang akan tumbuh tidak gimbal lagi melainkan normal sebagaimana mestinya. Ruwatan sendiri
memiliki makna menghapus kutukan sehingga dalam lingkup masyarakat daerah tersebut
meyakini dengan adanya proses ruwatan dapat menghilangkan kutukan atau balak yang akan
dialami anak tersebut, ruwatan sendiri sudah diyakini menjadi ciri khas dari masyarakat dieng
dan menjadi warisan dari leluhur mereka.
Terdapat salah satu tempat yang menjadi tujuan dan adanya proses ruwatan dan juga
sebagai tempat berbagai macam penelitian atau bahan untuk skripsi yaitu Desa Dieng Kulon,
Banjarnegara. Terletak di atas 2.093 MDPL dikenal dengan desa yang memiliki suhu yang
sangat dingin, bahkan terkadang embun pagi berubah menjadi serpihan es di daerah ini. Namun
lambat laun adat istiadat yang sudah menjadi ciri khas masyarakat Dieng, juga mulai tergerus
oleh adanya proses globalisasi, pengaruh masyarakat luar yang terkadang menjadikan acuan
dalam berbudaya, mereka terkadang malu mengakui budaya yang mereka punya (Luthfi et al.,
2019).
2. Metode
Penelitian ini dilakukan menggunakan studi literatur yang bersumber dari artikel, jurnal,
buku dan hasil skripsi dari berbagai media yang ada. Literature review ini disusun
menggunakan cara naratif dengan mengelompokkan data yang diringkas sama terhadap isi
yang dikaji dengan berdasarkan garis besar atau sifat penelitian yang dilakukan dengan analisis
dalam suatu kalimat. Ketika sudah terkumpul, mencari persamaan dan perbedaannya dalam
setiap penelitian, kemudian didiskusikan untuk menarik kesimpulan.
3. Hasil dan Pembahasan
Budaya Masyarakat Dataran Tinggi Dieng
Kebudayaan dapat diartikan terbatas dalam hal-hal yang indah seperti contoh candi, tari-
tarian, seni rupa, kesusastraan dan filsafat. Menurut Koentjaraningrat (1990: 80) kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Hal tersebut dapat dikatakan
bahwa hampir seluruh tindakan manusia yaitu kebudayaan sebab sangat sedikit tindakan
manusia dalam kehidupannya yang tidak perlu dibiasakan dengan hal belajar, seperti
contohnya tindakna refleks, tindakan yang disebabkan oleh fisisologi dan kelakuan apabila
sedang membabi buta atau marah.
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 1-14
4
Secara umum kebudayaan dapat dilihat dari berbagai bentuk. Contohnya seperti tradisi,
bahasa, lukisan, arca, patung, candi, kerajinan tangan, tari-tarian dan sebagainya. Akan tetapi
secara khusus bentuk kebudayaan itu sendiri dapat dibagi menjadi dua yaitu kebudayaan materi
dan kebudayaan non materi. Bentuk kebudayaan dapat kita lihat dari wujud kebudayaan,
ditinjau melalui prespektif sejarah sejak masyarakat tradisional sampai sekarang, wujud
kebudayaan sudah menunjukkan kesulitan. Wujud kebudayaan terbagi menjadi tiga yaitu
sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya,
dalam suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan wujud
kebudayaan menjadi benda-benda hasil karya manusia (Wuryani & Wulandari, 2019).
Dataran Tinggi Dieng memiliki berbagai fenomena unik dari fenomena alam sampai
fenomena yang terjadi terhadap masyarakat dataran tinggi Dieng. Masyarakat dieng sebagian
besar merupakan petani yang memiliki keunikan pada anak-anak mereka. Fenomena yang
terjadi terhadap anak-anak di dataran tinggi Dieng sudah terjadi secara turun temurun yang
sudah melekat pada masyarakat dataran tinggi Dieng. Fenomena yang terjadi yaitu anak
berambut gimbal.
Sekumpulan anak berambut gimbal di Dieng meluas di beberapa desa di dataran tinggi
Dieng. Budaya masyarakat di dataran tinggi yaitu ruwatan yang dilakukan oleh masyarakat di
daerah dataran tinggi, Dieng (Dieng Plateau), Jawa Tengah. Ruwatan adalah suatu tradisi
upacara adat yang dari dulu sampai sekarang masih dilestarikan dan juga dimanfaatkan oleh
masyarakat secara luas (Amin, n.d.). Ruwatan dapat dikatakan upacara pemotongan rambut
gimbal pada anak-anak yang berambut gimbal atau (gembel). Ritual ruwatan ini diadakan pada
tanggal satu Suro yang dilansir menurut kalender Jawa bertujuan untuk membersihkan atau
membebaskan anak-anak yang berambut gimbal kesialan, kesedihan, dan malapetaka.
Prosesi ruwatan dimulai dari rumah tetua adat setempat di Dieng, Batur, Banjarnegara.
Anak-anak yang akan diruwat dikumpulkan di tempat rumah tetua adat setempat, dan juga
telah disiapkan segala sesuatu yang diminta oleh anak-anak yang akan diruwat. Dari rumah
tetua adat, mereka mengikuti arak-arakan keliling kampung di dataran dengan ketinggian diatas
2000 meter di atas permukaan laut. Setelah itu, ke 11 anak dibawa ke Kompleks Dharmasala
untuk mengikuti jamasan rambut. Air dari jamasan diambil dari Sendang Sedayu. Kemudian,
anak-anak dibawa ke Kompleks Candi Arjuna, Dieng, untuk dipotong rambutnya. Prosesi
pemotongan rambut dimulai dengan melantunkan tembang Dandang Gula. Pemotongan rambut
tersebut dilakukan oleh para sesepuh dan pejabat sekitar.
Upacara ruwatan sudah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad dengan
mengalami proses perubahan sampai dengan sekarang. Keberadaan upacara ruwatan
menunjukkan bahwa warisan budaya mempunyai manfaat yang dianggap penting untuk
masyarakat yang mendukung (Wuryani & Wulandari, 2019). Tradisi ruwatan ini mungkin
sudah punah apabila tidak ada lagi yang mendukung. Tradisi ruwatan ini didukung oleh
pergelaran wayang, yang mempunyai pesan dan amanat yang mengandung nilai-nilai luhur
yang biasanya disampaikan melalui lakon di dalam wayang tersebut. Penyampaikan pesan
secara simbolik dengan bertujuan agar nilai-nilai yang diungkapkan dapat terjaga dengan baik.
Pada intinya tujuan ruwatan yaitu pencegahan terhadap hal hal buruk agar tidak dapat menimpa
orang yang dianggap suerta dan perlu diruwat.
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 1-14
5
Khasanah et.al (Identitas warga asli Dieng.)
Dalam masyarakat Jawa terdapat berbagai jenis ruwatan. Jenis ruwatan dapat dilihat dari
tujuannya yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Jenis ruwatan yang telah murni yaitu ruwatan
murwakala. Ruwatan murwakala biasanya dilakukan untuk keselamatan hidup dan mencegah
dari hal hal buruk. Ada berbagai jenis ruwatan lain, contohnya ruwatan yang bertujuan untuk
kesuksesan dan perjalanan hidup yang terhambat sesuatu. Berikut ini adalah jenis-jenis ruwatan
menurut (Febrian, 2020).
1. Ruwatan sukerta yaitu ruwatan bagi anak-anak yang terlahir sebagai anak yang termasuk
dalam golongan sukerta. Pada dasarnya ruwatan sukerta bersifat permohonan agar anak
selanjutnya mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan di masa depan.
2. Ruwatan sengkala yaitu ruwatan untuk orang yang dalam perjalanan hidupnya
mendapatkan hambatan di dalam rejeki, karier, dan jodoh.
3. Ruwatan lembaga yaitu ruwatan kesuksesan suatu lembaga atau organisasi usaha maupun
ruwatan nagari.
Dengan demikian, ruwatan adalah warisan budaya masyarakat Jawa yang mempunyai
berbagai jenis. Jenis ruwatan dapat digolongkan menurut tujuan ruwatan yaitu ruwatan sukerta,
ruwatan sengkala, dan ruwatan lembaga. Tetapi, pada intinya jenis ruwatan mempunyai
maksud yang sama yaitu menolak bala. Jika ruwatan dipandang sebagai hasil pengendapan dari
pengalaman hidup dan penghayatan leluhur pada nilai-nilai yang telah terbukti dapat menjamin
ketentraman hidup dan keselamatan bersama, maka dari itu setiap detail perlengkapan ruwatan
ini telah dipilih dengan tepat dan cermat sebagai sarana penyampaian pesan simbolik.
Dari urairan di atas, dapat disimpilkan bahwa tradisi adat ruwatan anak adalah kebiasaan
yang bersifat kepercayaan yang berasal dari kehidupan suatu penduduk asli Jawa yang
didalamnya yaitu terdapat peraturan pelaksanaan yang sudah mantap dan mencakup sistem
budaya dari kebudayaan masyarakat Jawa yang berisi tentang permohonan keselamatan dari
umat manusia pada sang pencipta supaya di dalam hidupnya terhindar dari kesengsaraan.
Dalam hal ini disadari oleh keyakinan bahwa anak yang dianggap sukerta dengan kriteria
tertentu dapat diyakini bahwa anak yang membawa sesuker sehingga untuk membersihkan
sesuker tersebut harus dengan tradisi ruwatan supaya anak terbebas dari mala petaka dan juga
gangguan dalam hidupnya (Destiani & Pamungkas, 2021).
Mitos Rambut Gimbal
Salah satu ciri khas dari masyarakat dataran tinggi Dieng adalah adanya anak-anak
dengan rambut gimbal. Rambut gimbal merupakan rambut yang saling melekat satu sama lain
sehingga menjadi gumpalan rambut yang menyerupai tali atau bulu domba. Rambut gimbal
biasanya berwarna hitam kecoklatan atau cenderung kemerah-merahhan. Kepercayaan tentang
rambut gimbal tersebut sudah ada sejak zaman dahulu dan berkembang menjadi mitos yang
sudah melekat pada masyarakat dataran tinggi Dieng hingga saat ini. Masyarakat Dieng
percaya bahwa munculnya rambut gimbal pada rambut anak-anak dataran tinggi Dieng
mempunyai berbagai sebab. Pertama, penyebab anak di dataran tinggi Dieng berambut gimbal
adalah faktor genetis (keturunan). Anak-anak yang berambut gimbal karena genetis biasanya
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 1-14
6
turun temurun dari orang tua mereka walaupun kadang tidak terjadi pada salah satu generasi,
tetapi bisa juga ada peluang untuk muncul kembali anak rambut gimbal pada generasi lain.
Kedua, kemunculan anak berambut gimbal di wilayah dataran tinggi Dieng hingga saat
ini dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat setempat mengenai anak berambut gimbal yang
dipercaya sebagai keturunan nenek moyang dataran tinggi Dieng yang dikenal dengan sebutan
Kyai Kolodete. Masyarakat mempercayai bahwa Kyai Kolodete merupakan salah satu pejuang
yang memiliki rambut gimbal sejak kecil sampai meninggal dunia (Febriyanto et al., 2018).
Rambut gimbal tersebut dikisahkan cukup mengganggu gerak perjuangannya. Oleh karena itu,
rambut gimbal tersebut kemudian dititipkan kepada anak-anak kecil yang masih belum banyak
dosanya dan dianggap masih suci. Selain itu, Kyai Kolodete menitipkan rambut gimbalnya
kebanyakan kepada anak-anak perempuan karena anak perempuan dianggap pandai
menyimpan rahasia dan lebih teliti. Sebelum Kyai Kolodete meninggal beliau berpesan kepada
anak cucunya jika beliau akan menitipkan rambut gimbalnya kepada keturunannya di wilayah
dataran tinggi Dieng (Iwandana, 2019). Rambut gimbal yang sudah dititpkan kepada anak-nak
tidak akan dibawa oleh Kyai Kolodete ke akirat agar Kyai Kolodete meninggal dengan tenang.
Oleh karena itu, anak-anak yang berambut gimbal akan terus ada di wilayah dataran tinggi
Dieng. Sampai saat ini selalu ada anak berambut gimbal di dataran tinggi Dieng.
Ketiga, walaupun masyarakat dataran tinggi Dieng mengatakan penyebab rambut gimbal
berhubungan dengan kepercayaan. Namun, dengan demikian secara medis penyebab dari
rambut gimbal yang terjadi pada anak-anak dataran tinggi Dieng disebabkan oleh beberapa
faktor kesehatan seperti demam tinggi, kurangnya menjaga kebersihan badan, dan pola asuh
orang tua yang dipengaruhi oleh keadaan geeografis dataran tinggi Dieng. Masyaratakat
dataran tinggi Dieng juga percaya bahwa pada awlnya rambut gimbal muncul pada anak-anak
yang masih berumur sekitar 1 tahun sampai umur 5 tahun. Pada anak-anak yang rambut
gimbalnya muncul setelah lahir, mereka akan mengalami masa sakit-sakitan menjelang
kemunculan rambut gimbalnya tersebut. Mereka biasanya mengalami demam yang sangat
tinggi, kejang-kejang, sering pingsan dan tak kunjung sembuh meskipun sudah ditangani secara
medis. Gejala tersebut biasanya dibarengi dengan kemunculan rambut gimbal dan penyakit
pada anak tersebut akan membaik apabila rambut gimbal tersebut sudah terbentuk sempurna
(Ayu et al., 2019).
Keberadaan anak yang berambut gimbal menjadi pertanda bahwa kesejahteraan
masyarakat dataran tinggi Dieng tetap terjaga. Oleh karena itu, anak-anak berambut gimbal
disana kerap diperlakukan istimewa daripada anak-anak yang lainnya. Mereka dianggap
sebagai titipan dewa yang menjaga kemakmuran masyarakat dataran tinggi Dieng. Anak-anak
yang berambut gimbal umumnya memunculkan perubahan perilaku seperti menjadi lebih
manja, sulit mengontrol emosi, memaksakan kehendak, sulit untuk berteman atau bersosialisasi
dengan teman sebaya, kurang mampu beradaptasi dengan situasi atau lingkungan baru, serta
rutinitas yang tidak teratur. Keyakinan lain mengenai anak-anak yang memiliki rambut gimbal
adalah bahwa dibalik wujud dari rambut gimbal tersebut yaitu terdapat makhluk halus yang
tidak kasat mata yang menjadi penunggu anak yang memiliki rambut gimbal tersebut. Sehingga
anak yang berambut gimbal dianggap memiliki sukerta atau sungkala yang akan menjadi
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 1-14
7
Khasanah et.al (Identitas warga asli Dieng.)
mangsa Bathara Kala. Untuk menghilangkan sukerta atau sangkala pada anak berambut gimbal
tersebut harus dilakukan prosesi ruwat atau ruwatan (Oktavia et al., n.d.).
Prosesi pemotongan pada anak berambut gimbal tidak boleh dilakukan oleh sembarang
orang. Pemotongan rambut gimbal biasanya dilakukan oleh pemangku adat, tokoh masyarakat
yang mengerti tata caranya, maupun orang yang secara khusus ditunjuk oleh si anak tersebut
untuk memotong rambut gimbalnya. Terdapat rangkaian khusus yang harus dilakukan.
Rangkaian upacara pemotongan rambut gimbal meliputi penyediaan sesaji untuk upacara
selametan untuk memenuhi bebono pemotongan rambut gimbal, dan pelarungan rambut
gimbal. Rangkaian prosesi tersebut yang dinamakan ruwatan. Ruwatan adalah upacara yang
dilakukan seseorang untuk membebaskan sesuatu dari nasib buruk dan ancaman malapetaka.
Pelaksanaan acara tradisi ruwat rambut gimbal dilaksanakan secara adat serta disesuaikan
dengan ajaran agama Islam (Mahmudi et al., n.d.). Sebelum anak yang berambut gimbal
diruwat, orang tua dari anak tersebut harus memenuhi semua permintaan dari anaknya. Ada
juga beberapa permintaan dari anak yang cukup memberatkan orang tuadan membutuhkan
biaya yang cukup besar. Namun, permintaan tersebut harus tetap dipenuhi karena jika orang tua
tidak memenuhi permintaan anaknya, maka rambut gimbalnya akan tumbuh kembali.
Masyarakat dataran tinggi Dieng menggelar acara ruwatan rambut gimbal tersebut untuk
menghindarkan anak berambut gimbal tersebut dari malapetaka dan bencana.
Menurut kepercayaan masyarakat dataran tinggi Dieng, jika tidak diadakan upacara
ruwatan rambut gimbal, maka rambut gimbal tersebut akan tumbuh kembali. Namun, jika
diadakan upacara rambut gimbal tersebut niscaya tidak akan tumbuh lagi. Masyarakat Dieng
mempercayai bahwa anak berambut gimbal yang tidak melakukan ruwatan tersebut maka
ketika dewasa anak tersebut akan mengalami gangguan jiwa. Anak yang memiliki rambut
gimbal dipercaya memiliki daya linuwih (orang yang doanya senantiasa dikabulkan Tuhan)
dibanding anak-anak yang normal pada umumnya. Maka jarang ada yang sembrono dengan
anak berambut gimbal tersebut. Hadirnya anak yang memiliki rambut gimbal di lingkungan
keluarga mereka, justru dianggap sebagai berkah dan bisa melindungi keluarga dari
marabahaya. Hingga saat ini masyarakat dataran tinggi Dieng cukup meyakini bahwa anak
berambut gimbal adalah anak yang erat kaitannya dengan Kyai Kolodete. Selanjutnya
kepercayaan tersebut menjalar pada hal gaib seperti adanya penunggu tak kasat mata dari alam
gaib yang bersarang di rambut gimbalnya, munculnya perilaku tidak wajar dari anak berambut
gimbal sebagai perilaku si penunggu dan sebagainya (Muafi et al., 2018).
Pada era modernisasi sekarang ini mitos mengenai anak berambut gimbal di dataran
tinggi Dieng yang membawa berkah dan membawa keberuntungan sendiri masih diyakini oleh
sebagian masyaraat dataran tinggi Dieng, terutama bagi orang tua yang memiliki anak
berambut gimbal. Masyarakat dataran tinggi Dieng meyakini bahwa anak-anak yang berambut
gimbal di Dieng merupakan anak yang normal dan tidak memiliki gangguan. Beberapa
perilaku yang dimunculkan oleh anak-anak berambut gimbal cukup mirip dengan simtom-
simtom gangguan jiwa. Namun, tidak ada diagnosis yang sesuai hingga kini karena sintom
yang tidak pasti dan akan menghilang setelah dilakukan prosesi upacara ruwatan. Munculnya
perilaku anak-anak berambut gimbal yang tidak bajar banyak dibenarkan oleh orang tua dari
anak-anakberambut gimbal di dataran tinggi Dieng.
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 1-14
8
Keberadaan anak-anak berabut gimbal di wilayah dataran tinggi Dieng masih ada hingga
saat ini, namun tidak semua anak di dataran tinggi Dieng memiliki rambut gimbal di
kepalanya. Oleh sebab itu, muncul asumsi yang mengatakan bahwa anak-abak berambut
gimbal merupakan anak yang sudah terpilih atau memiliki keistimewaan tersendiri dibanding
anak-anak yang lainnya. Mereka percaya bahwa anak yang berambut gimbal membawa berkah
bagi keluarganya (Nursaid et al., 2022). Dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar
masyarakat dataran tinggi Dieng mempercayai mitos untuk memperlakukan anak berambut
gimbal dengan baik untuk mendapat nasib baik, jika tidak maka orang tersebut akan
mendapatkan kesialan. Selain itu, dalam proses pemotongan rambut gimbal jika tidak
dilakukan sesuai dengan serangkain prosesi ritual semestinya, maka dipercayai akan membawa
keburukan di masa mendatang seperti rambut gibal yang tumbuh lagi, saat dewasa akan terkena
gangguan jiwa, dan keburukan akan selalu datang pada keluarga tersebut.
Disisi lain, anak-anak yang berambut gimbal sama dengan anak-anak lain pada
umumnya. Tidak semua orang tua di wilayah Dieng memiliki anak berambut gimbal dan
mereka dapat secara langsung melihat perilaku yang muncul pada anak berambut gimbal
tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, budaya yang masuk dan banyaknya informasi
yang masuk, turut mempengaruhi mitos masyarakat Dieng dalam menyikapi keberadaan anak
berambut gimbal tersebut. Golongan masyarakat ini juga menetang adanya perbedaan
keistimewaan antara anak normal pada umumnya dengan anak berambut gimbal. Mereka
menganggap bahwa semua anak sama saja dan sama-sama istimewa. Oleh kera itu, kini
sebagian masyarakat dataran tinggi Dieng mulai meninggalkan kepercayaan mengenai
keberadaan anak berambut gimbal dan berupaca untuk mencari tahu apakah keberadaan anak
berambut gimbal tersebut merupakan sesuatu yang memang harus dijaga atau merupakan suatu
wabah yang harus diberantas (Sunyoko, 2019).
Mitos mengenai penyebab munculnya anak berambut gimbal, diprediksi akan mampu
mempengaruhi sikap dan perilaku orang tua terhadap anaknya yang berambut gimbal. Orang
tua yang memiliki anak berambut gimbal akan lebih sering menjumpai perilaku anak-anak
berambut gimbal seperti yang sudah dijelaskan. Berbeda dengan orang tua yang tidak memiliki
anak berambut gimbal, maka mereka hanya akan sesekali menjumpai keanehan pada anak-anak
berambut gimbal atau bahkan mereka belum pernah melihat atau menjumpai dan hanya
diyakini oleh mitos yang beredar di wilayah dataran tinggi Dieng. Oleh karena itu, secara
rasional seharusnya orang tua yang memiliki anak berambut gimbal akan memiliki tingkat
superstitious belief yang lebih tinggi dari orang tau yang tidak memiliki anak berambut gimbal.
Komodifikasi Mitos Rambut Gimbal
Komodifikasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu dari yang tak bernilai jual
menjadi memiliki nilai jual atau bahan dagangan yang dapat dipertukarkan dengan uang.
Kehidupan manusia secara luas dikuasai oleh orang kaya. Komodifikasi dalam segala bidang
kehidupan tidak dapat dihindari (Holis, 2019). Sesuatu yang bernilai seni pun, tidak luput dari
usaha untuk menjualnya sehingga menjadi hiburan yang menarik. Komodifikasi mengilangkan
produk dari konteks sosial yang lebih bermakna menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dalam
segi usaha dan ideologi nilai “pasar bebas”. Keberadaan komodifikasi menjadi aktivitas
produksi dan distribusi komoditas yang lebih mempertimbangkan daya tarik, supaya mampu
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 1-14
9
Khasanah et.al (Identitas warga asli Dieng.)
disanjung oleh orang sebanyak-banyaknya nilai tukar kebudayaan dengan materi mulai
diperhitungkan oleh manusia. Dengan adanya perhitungan realistis, untung-rugi, dari
pertukaran nilai uang dengan kebudayaan membuat makna berkebudayaan yang sesungguhnya
dari sekelompok masyarakat dapat meredup.
Chrisanti, (2021a) menyampaikan bahwa di era ekonomi global ini, menuntut berbagai
macam kebudayaan dapat dijadikan komoditas. Komodifikasi budaya merupakan proses
aplikasi materi budaya sebagai komoditas yang didistribusikan melalui industri budaya dengan
mengikuti aturan pasar. Rai Utama menyampaikan bahwa pada saat ini pemasaran modern
lebih menonjolkan kepuasan konsumen sebagai dasar utama mewujudkan tujuan perusahaan.
Ketika pelayanan yang diberikan sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen, maka
perusahaan akan mendapatkan keuntungan, karena keuntungan tersebut akan mengurangi biaya
promosi dalam introduksi produk (Prihatin, 2018).Komodifikasi terhadap kearifan lokal pada
dasarnya mampu dipecahkan dengan berbagai strategi tanpa harus memojokkan masyarakat
pendukung kearifan lokal tersebut dan kesenian tradisional sebagai identitas kebudyaan dapat
terlindungi dan terevitalisasi dari tuntutan komodifikasi budaya, selama dikembangkan suatu
konsep yang mampu menyatukan antara tanggapan dan tindakan masyarakat pendukung
dengan tutntutan industri pariwisata. Faktor pendorong komodifikasi seni budaya meliputi
faktor atas perubahan spirit dalam berkesenian, dan inventivitas pengembangan estetika
berkesenian serta pengaruh media dan budaya kontemporer, dan juga faktor permintaan
konsumen.
Komodifikasi yang terjadi di media menurut Nasrullah dapat merangkap pada tiga bentuk
yakni:
1. Komodifikasi isi (content) menjelaskan bagaimana konten atau isi media yang diproduksi
merupakan komoditas yang ditawarkan. Proses komodifikasi ini bermula dengan
mengonversikan data-data menjadi sistem makna oleh penyelenggara media menjadi
sebuah produk yang akan dijual kepada konsumen, publik maupun perusahaan pengiklan.
2. Komodifikasi Khalayak. Dengan menggunakan wacana yang diangkat oleh Smythe dalam
the audience commodity, komodifikasi khalayak ini menerangkan bagaimana sebenarnya
khalayak tidak secara bebas hanya sebagai penikmat dan konsumen dari budaya yang
didistribusikan melalui media.
3. Komodifikasi pekerja (labour), pada komodifikasi ini para pekerja bukan sekedar
memanifestasikan konten dan mendapatkan penghargaan terhadap usaha memuaskan
khalayak melalui konten tersebut, melainkan juga menciptakan khalayak sebagai sebuah
komoditas.
Dieng yang merupakan salah satu tempat yang menjadi tujuan wisata budaya yang
memiliki banyak kearifan lokal dituntut untuk mengikuti permintaan pasar pariwisata dengan
turut serta dalam kesuksesan agenda yang diselenggarakan pihak luar. Tuntutan tersebut erat
kaitannya dengan otensitas yang kemudian, menuntut terjadinya komodifikasi pada
kebudayaan setempat. Komodifikasi bukanlah suatu hal yang terpisah dari pariwisata, namun
seringkali budaya wisatawan sendiri berubah karena dampak produk budaya yang tersedia.
Menurut Hidayat & Nurhaeni, (2018a) salah satu objek komodifikasi budaya adalah bagian
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 1-14
10
tubuh manusia. Dalam hal ini, rambut gimbal merupakan bagian tubuh manusia yang dijadikan
bahan pelancongan oleh masyarakat dan pemerintah.
Secara administratif, sebagian besar wilayah Dieng merupakan bagian dari Banjarnegara
dan sebagian di wilayah Wonosobo. Dieng Culture Festival (DCF) yang telah menjadi sorotan
dalam bidang pelancongan terletak di desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten
Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Komplek Candi Arjuna yang dikenal sebagai kawasan
“poros” Dieng merupakan letak lokasi utama diselenggarakannya DCF. Dipilihnya Kompleks
Candi Arjuna sebagai lokasi utama dinilai efisien karena memiliki kemudahan akses dari
beberapa daerah terhadap beberapa hotel atau homestay, kuliner, warung atau rumah makan,
transportasi umum maupun layanan publik lainnya. Dieng Culture Festival (DCF) merupakan
acara kebudayaan yang dipelopori oleh Pokdarwis dan diselenggarakan setiap tahun.
Kelompok komunikasi masyarakat pariwisata di Dieng biasa disebut dengan Pokdarwis
Pandawa. Adanya budaya kontemporer semakin menggerus budaya lokal, sehingga Pokdarwis
Pandawa mempersiapkan DCF sebagai upaya agar budaya lokal tetap dilestarikan. Sehingga
generasi muda tetap mengenal dan mempelajari budaya leluhur (Hidayat & Nurhaeni, 2018b).
Pengelolaan aktivitas pariwisata DCF melibatkan koordinasi dari pengelola Pokdarwis dan
Lembaga Adat sebagai kelembagaan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat sekitar dilibatkan
untuk berperan aktif dalam rangkaian acara DCF. Pokdarwis turut memberdayakan masyarakat
Dieng dalam pelaksanaan dan pengembangan pariwisata Dieng seperti terlibat secara langsung
dalam proses promosi DCF, serta ikut menjaga kebersihan lingkungan di lokasi DCF. Acara
puncak dari DCF adalah prosesi ruwatan rambut gimbal. Selain itu, DCF juga menyajikan
rangkaian acara yang berhubungan dengan kebudayaan Dieng, antara lain: Tari Lengger, Tari
Rampak Yakso, Pementasan Wayang Kulit, Kuda Lumping, Rangkaian Festival Kesenian, Jazz
Atas Awan, Aksi Dieng Bersih, Kongkow Budaya, Pameran Produk UMKM, Kirab Budaya,
dan Festival Lampion (Satria, 2017).
Upacara tradisi ruwat rambut gimbal dilakukan secara massal dengan adanya Dieng
Culture Festival (DCF). Padahal upacara ini awalnya hanya dilakukan sendiri di lingkup
keluarga. Penyelenggaraan ruwatan secara massal ini, tentunya menuai dukungan dan
perlawanan dari masyarakat. Sebenarnya prosesi ruwatan rambut gimbal, baik secara mandiri
ataupun massal tidak jauh berbeda. Semua orang dapat mencukur rambut anak gimbal.
Begitupun yang dilakukan oleh tokoh masyarakat atau kepala daerah dalam agenda tahunan
yang dibingkai dalam paket wisata daerah. Sehari sebelum acara berlangsung akan dilakukan
doa dan ritual. Sebenarnya gunting yang digunakan untuk mecukur rambut merupakan gunting
biasa, akan tetapi apabila pelaksanaan pencukuran rambut gimbal oleh para sesepuh adat
dilakukan tanpa adanya lelaku maka proses pengguntingan rambut gimbal dipercaya tidak akan
semudah menggunting rambut biasa (Chrisanti, 2021b). Keberhasilan serta kelancaran
berjalannya prosesi tidak lain adalah karena sesepuh adat, apalagi jika prosesi itu dilaksanakan
dalam acara yang besar seperti Dieng Culture Festival. Acara ini biasanya disaksikan hampir
150.000 pengunjung. Dalam hal ini, keseluruhan biaya prosesi dan juga permintaan anak
berambut gimbal sebagai syarat pencukuran rambut ditanggung oleh panitia Dieng Culture
Festival.
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 1-14
11
Khasanah et.al (Identitas warga asli Dieng.)
Menariknya dalam ruwatan massal ini, anak berambut gimbal yang akan diruwat justru
kebanyakan bukan dari daerah Dieng itu sendiri, akan tetapi mereka berasal dari luar wilayah
Dieng seperti Wonosobo, Banjarnegara, Pekalongan bahkan Jakarta. Anak-anak tersebut
merupakan keturunan rambut gimbal yang telah pindah atau tinggal jauh dari Dieng. Setelah
ditelusuri anak rambut gimbal secara genetis adalah keturunan masyarakat Dieng. Mereka
sengaja menunggu festival ini untuk mendaftar sebagai peserta. Karena ritual prosesi yang
harus dilakukan sebelumnya sehingga akan kesulitan jika mereka mengadakan sendiri di kota
atau daerah masing-masing. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di Dieng, mereka lebih
memilih untuk melaksanakan secara mandiri. Secara tiba-tiba begitu anak meminta untuk
dicukur rambutnya. Kedekatan geografis dengan sang pemangku adat menjadikan mereka
dimudahkan untuk bisa kapan saja akan melaksanakan ritual ini (Muafi et al., 2018).
Pemangku adat maupun masyarakat menyambut baik serta mengakomodasi
diselenggarakannya DCF ini, karena dengan adanya kearifan lokal di Dieng ini dapat
meningkatkan pendapatan warga sekitar dari yang awalnya fokus dan bermata pencaharian di
bidang pertanian menjadi desa wisata. Di lain hal, orang tua yang kebetulan memiliki anak
berambut gimbal memutuskan untuk melakukan ritual cukur rambut anaknya secara mandiri
dengan alasan kesakralan dan tidak tega apabila anaknya menjadi tontonan khalayak ramai saat
prosesi berlangsung (Nursaid et al., 2022). Sebenarnya kesakralan ritual senantiasa terjaga
dengan tetap dilakukannya segala prosesi sebelum acara dilangsungkan. Hanya saja, dalam
prosesi massal, terdapat penundaan sementara dalam mewujudkan keinginan anak berambut
gimbal dan pencukuran rambut gimbalnya. Sehingga hal ini dianggap sebagai penyebab
pudarnya keotentikan dan keaslian ruwatan.
Beberapa pihak diuntungkan dengan diselenggarakannya ruwatan massal ini. Pihak
pertama yaitu wisatawan yang merasakan langsung keramahan mayarakat Dieng, dapat
mengetahui dan melihat keberagaman seni budaya, fasilitas dan pelayanan yang baik dapat
menciptakan kesan dan citra baik. Dengan demikian wisatawan akan menceritakan dan
merekomendasikan bersumber pada pengalaman yang mereka dapatkan kepada orang lain.
Terlebih, saat ini dimudahkan dengan adanya media sosial sepeti Youtube, Instagram, Twitter,
Facebook yang dapat digunakan untuk menelusuri dan saling bertukar informasi. Pihak kedua
yaitu masyarakat dan industri yang ada di Dieng (Nursaid et al., 2022). Keuntungan
diselenggarakannya ruwatan secara massal adalah bertambahnya pengetahuan masyarakat luas
mengenai adanya prosesi ruwatan rambut gimbal ini, kemudian mengundang para pengunjung
dari berbagai daerah, yang berdampak pada mensejahterakan masyarakat sehingga
meningkatkan pendapatan daerah. Selain itu, ruwatan massal ini dapat menjadi wadah untuk
melestarikan budaya ruwatan rambut gimbal agar tetap ada dan berkembang serta mengangkat
nilai pariwisata yang ada di Dieng. Kedatangan para pengunjung mampu membawa
keuntungan ekonomi bagi pelaku industri wisata di lokasi prosesi. Para pengunjung yang
datang akan menyewa penginapan atau homestay milik masyarakat, pengunjung akan membeli
oleh-oleh dan souvenir khas dari Dieng, dan tentunya peningkatan perekonomian berbagai
bidang jasa (Suprobowati, 2021).
Pada saat mitos rambut gimbal dijadikan bahan pelancongan, kapitalisasi budaya pun
terjadi. Bukannya menjadi sebuah upaya pelestarian budaya, ruwatan massal malah dijadikan
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 1-14
12
kegiatan untuk meraih keuntungan finansial. Hal-hal semacam ini yang kemudian dapat
merusak nilai-nilai serta kepercayaan atas kesucian mitos rambut gimbal. Ketika mitos ini
dijadikan bahan wisata, berarti mitos rambut gimbal menjadi produsen yang harus mengikuti
trend atau keinginan khalayak ramai sebagai konsumennya. Kemudian inilah yang menjadi
kekhawatiran, apabila mitos ini dipromosikan tanpa adanya usaha untuk tetap menjaga
kemurniannya (Maharani & Setyowardhani, 2018). Tidak masalah menjadikan mitos rambut
gimbal sebagai promosi wisata, akan tetapi adanya promosi ini tidak boleh menghilangkan
kemurnian dari mitos rambut gimbal itu sendiri. Upaya untuk memelihara kemurnian mitos
rambut gimbal dapat dilakukan oleh masyarakat, pemangku adat atau sesepuh, dan juga
pemerintah. Diluar itu, pihak-pihak lain juga memiliki peran penting untuk mensosialisasikan
kearifan yang terdapat dalam mitos ini kepada generasi penerus dengan tetap menjaga
keotentikan, kemurnian, dan yang paling penting tetap menjaga kesakralan mitos rambut
gimbal ini (Hidayat & Nurhaeni, 2018a).
4. Kesimpulan
Kebudayaan dapat diartikan terbatas dalam hal yang indah seperti contoh candi, tari-
tarian, seni rupa, kesusastraan dan filsafat. Masyarakat tradisional sampai sekarang adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia. Ruwatan adalah suatu tradisi
upacara adat yang dari dulu sampai sekarang masih dilestarikan. Anak-anak yang akan diruwat
dikumpulkan di tempat rumah tetua adat setempat, dan juga disiapkan segala sesuatu.
Masyarakat dataran tinggi Dieng adalah adanya anak-anak dengan rambut gimbal. Rambut
yang saling melekat satu sama lain sehingga menjadi gumpalan. Kepercayai bahwa munculnya
rambutan tersebut sudah ada sejak zaman dahulu. Masyarakat dataran tinggi Dieng juga
percaya bahwa pada awlnya rambut gimbal muncul pada anak-anak yang masih berumur
sekitar 1 tahun. Mereka akan mengalami masa sakit-sakitan menjelang kemunculan Rambut
Gimbal.
Komodifikasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu dari yang tak bernilai jual atau
bahan dagangan yang dapat dipertukarkan dengan uang. Kehidupan manusia secara luas
dikuasai oleh orang kaya. Dieng yang merupakan salah satu tempat yang menjadi tujuan wisata
budaya. Tuntutan tersebut erat kaitannya dengan otensitas yang kemudian, menuntut terjadinya
komodifikasi pada kebudayaan setempat. Acara ini biasanya disaksikan hampir 150.000
pengunjung oleh panitia Dieng Culture Festival.
Penyelenggaraan ruwatan secara massal ini, tentunya menuai dukungan dari masyarakat.
Sebenarnya gunting yang digunakan untuk mecukur rambut anak gimbal. Masyarakat setempat
mengenai anak berambut gimbal yang dipercaya sebagai keturunan nenek moyang dataran
tinggi Dieng. Oleh karena itu, Kyai Kolodete dikisahkan cukup mengganggu gerak
perjuangannya.
5. Daftar Pustaka
AMIN, S. M. (n.d.). Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam dalam tradisi Ruwatan Rambut
Gimbal di Desa Dieng Kulon Kabupaten Banjarnegara. Eprints.Walisongo.Ac.Id.
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/13644/
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 1-14
13
Khasanah et.al (Identitas warga asli Dieng.)
Ayu, M. P., Kemalasari, A. S., & Sofia, M. (2019). Pengembangan Pariwisata Budaya di
Kawasan Dataran Tinggi Dieng dalam Satu Dasawarsa Dieng Culture Festival. Altasia
Jurnal Pariwisata …. http://journal.uib.ac.id/index.php/altasia/article/view/564
Chrisanti, S. I. (2021a). PERSEPSI MASYARAKAT DIENG TERHADAP RITUAL
PEMOTONGAN RAMBUT GIMBAL DI DIENG. repository.unika.ac.id.
http://repository.unika.ac.id/25079/8/16.M1.0050-Serafina Indah Chrisanti-LAMP_a.pdf
Chrisanti, S. I. (2021b). Persepsi Masyarakat Dieng Terhadap Ruwatan Rambut Gimbal:
Sebuah Tinjauan Literatur. Jurnal Komunikasi Dan Media, 1(2), 147155.
https://doi.org/10.24167/jkm.v1i2.3240
Chrisanti, S. I. (2021c). Persepsi Masyarakat Dieng Terhadap Ruwatan Rambut Gimbal:
Sebuah Tinjauan Literatur. Jurnal Komunikasi Dan Media.
http://103.243.177.137/index.php/jkm/article/view/3240
Destiani, B. R. P., & Pamungkas, I. N. A. (2021). Place Branding Kawasan Dataran Tinggi
Dieng, Banjarnegara Melalui Dieng Culture Festival Event. EProceedings .
https://openlibrarypublications.telkomuniversity.ac.id/index.php/management/article/vie
w/15008
FEBRIAN, S. (2020). TRADISI RUWATAN PEMOTONGAN RAMBUT GEMBEL: SISTEM
BUDAYA DAN KOMODIFIKASI DI DESA DIENG KULON KECAMATAN BATUR .
IAIN Purwokerto.
Febriyanto, A., Riawanti, S., & Gunawan, B. (2018). Mitos Rambut Gimbal: Identitas Budaya
dan Komodifikasi di Dataran Tinggi Dieng. Umbara.
http://jurnal.unpad.ac.id/umbara/article/view/15670
Hidayat, E., & Nurhaeni, I. D. A. (2018a). Dieng Culture Festival as a Reinforcement of Local
Cultures in Globalization Era. In PROCEEDING ICTESS (Internasional .
ejurnal.unisri.ac.id. http://ejurnal.unisri.ac.id/index.php/proictss/article/view/2187/1949
Hidayat, E., & Nurhaeni, I. D. A. (2018b). Dieng Culture Festival as a Reinforcement of Local
Cultures in Globalization Era. In PROCEEDING ICTESS (Internasional .
ejurnal.unisri.ac.id.
Holis, N. (2019). Tradition of Dreadlocks Shaving Ritual (Gimbal) in Dieng Plateau
Wonosobo. Metaphor. https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/metaphor/article/view/632
Iwandana, D. T. (2019). Aktivitas Fisik Anak-Anak Di Dataran Tinggi Dieng Kabupaten
Banjarnegara (Studi Fenomenologi Dari Sudut Pandang Nilai-Nilai Keolahragaan).
digilib.uns.ac.id. https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/75504/Aktivitas-Fisik-Anak-
Anak-Di-Dataran-Tinggi-Dieng-Kabupaten-Banjarnegara-Studi-Fenomenologi-Dari-
Sudut-Pandang-Nilai-Nilai-Keolahragaan
Juhri, S., Yonezu, K., Yokoyama, T., & ... (2020). Study on Silica Scaling at Open Canal
System, Dieng Geothermal Power Plant, Indonesia. In Proceedings World .
researchgate.net. https://www.researchgate.net/profile/Saefudin-
Juhri/publication/358046944_Study_on_Silica_Scaling_at_Open_Canal_System_Dieng_
Geothermal_Power_Plant_Indonesia/links/61ee74d38d338833e38ff4b4/Study-on-Silica-
Scaling-at-Open-Canal-System-Dieng-Geothermal-Powe
Luthfi, A., Prasetyo, K. B., Fatimah, N., & ... (2019). Ruwatan Ritual of Dreadlocks Haircut:
Negotiation Between Cultural Identity and Cultural Innovation in Contemporary Dieng
Plateau Community. ICEL 2019: First .
https://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=Pa4IEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA425
Academy of Social Science and Global Citizenship Journal
Vol. 1, No. 1, Juni 2021, page: 1-14
14
&dq=dieng+ruwatan&ots=Wd-w7ovmnA&sig=xBu0vsTEFD-8aYKZBKvwo0CkT8c
Maharani, H. M., & Setyowardhani, H. (2018). Contribution of cultural event to the visitor’s
intention to revisit and recommend tourist destination, case study: Dieng Culture
Festival, Central Java, Indonesia. In 32nd International Business . scholar.ui.ac.id.
https://scholar.ui.ac.id/en/publications/contribution-of-cultural-event-to-the-visitors-
intention-to-revis
Mahmudi, M., Amrullah, H. F., Haspiaini, N., & Surantio, H. (n.d.). Mitos, Identitas Sosial dan
Komodifikasi (Meta Sintesispada Penelitian Rambut Gimbal Dieng Jawa Tengah). In
repository.unas.ac.id. http://repository.unas.ac.id/4737/1/Laporan Akhir-Riset
KDN2020-2021_Kompilasi-NH-MARWAN.pdf
Muafi, M., Sugandini, D., & Susilowati, C. (2018). PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
MELALUI PENDEKATAN COMMUNITY BASED TOURISM DI DESA
KEPAKISAN DATARAN DIENG. Abdimas: Jurnal .
https://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jpkm/article/view/2250
Ni’mah, A. M. B., Jumini, S., & Fatimah, A. Z. (2022). Analisis Karakter Toleransi dalam
Pembelajaran Suhu dan Kalor Berbasis Budaya Lokal Ruwatan Rambut Gimbal. Jurnal
Kreatif Online, 9(4), 173182.
Nursaid, D., Muhadli, R. A., & Zurinani, S. (2022). GANENAN, PAWON, DAN DIENG
CULTURE FESTIVAL: MEDIA INTERAKSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PARIWISATA DIENG. Studi Budaya Nusantara.
https://jsbn.ub.ac.id/index.php/sbn/article/view/187
Oktavia, R. W., Handayani, S., Kom, M. I., Rahmawati, F. Y., & ... (n.d.). MAKNA
UPACARA RUWATAN ANAK RAMBUT GIMBAL BAGI PEMANGKU ADAT
DESA DIENG KULON KABUPATEN BANJARNEGARA MELALUI …. In
academia.edu. https://www.academia.edu/download/64146028/ARTIKEL JURNAL
MAKNA UPACARA RUWATAN ANAK RAMBUT GIMBAL.pdf
Prihatin, M. (2018). Dinamika Makna Ritual Cukur Rambut Gimbal di Dataran Tinggi Dieng
(Studi Living Al-Quran). Qaf: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir.
https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/qaf/article/view/2027
Satria, E. (2017). Tradisi ruwatan anak gimbal di dieng. Warna, 1(1), 155171.
Sunyoko, B. (2019). Pesona Wisata Alam Dieng Sebagai Daya Tarik Kabupaten Wonosobo.
osf.io. https://osf.io/qcdxr/download
Suprobowati, G. D. (2021). DCF (Dieng Culture Festival), Wujud Harmonisasi antara Kearifan
Lokal, Agama dan Sosial Ekonomi di Masyarakat Dataran Tinggi Dieng. In Journal of
Law, Society, and Islamic . scholar.archive.org.
https://scholar.archive.org/work/yfszsvv4jbhj5ooh3kbbbpezda/access/wayback/https://jur
nal.uns.ac.id/JoLSIC/article/download/51714/pdf
Wuryani, S., & Wulandari, A. (2019). Prosesi Ruwatan Cukur Rambut Gimbal Dieng
Wonosobo. repository.isi-ska.ac.id. http://repository.isi-ska.ac.id/4402/1/Dra. FP Sri
Wuryani%2C M.Sn.Aprilia Wulandari.Prosesi Ruwatan Cukur Rambut Gimbal Dieng
Wonosobo.pdf