Keruntuhan suatu bangsa ditandai dengan semakin runtuhnya tata nilai dan karakter suatu
bangsa, karakter dan mentalitas rakyat yang kokoh dari suatu bangsa tidak terbentuk secara
alami, melainkan melalui interaksi sosial yang dinamis dan serangkaian program yang
diarahkan oleh pemimpin bangsa. Faktor intern yang berpengaruh besar pada pembentukan
karakter bangsa adalah pembangunan di bidang pendidikan (Mohammad Takdir Illahi, 2012:
28). Sistem pendidikan yang baik yang berakar pada karakter bangsa Indonesia yang mampu
mengurai benang merah dari carut marutnya kondisi kebangsaan kita dari berbagai macam
sendi. Di bidang pendidikan misalnya, juga terjadi penyimpangan, dimana praktik kekerasan
mewarnai pelaksanaan pendidikan kita seperti masifnya praktik bullying di sebagaian besar
sekolah di Indonesia yang tidak mendapatkan evaluasi serius dan mendalam hingga
menyentuh keakar persoalan (Sejiwa. 2008: 2). Jika hal tersebut dibiarkan, maka interaksi
sosial di sekolah akan rapuk dan out put pendidikan tidak bisa diandalkan untuk berkontribusi
mengubah suasana yang tak terkendali sebagaimana penjelasan tersebut di atas.
Di aspek ekonomi banyak ditemukan manipulasi dalam aktivitas bisnis antar warga,
praktik tersebut tidak memberikan manfaat dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat suatu
bangsa malah membawa kebangrutan. Begitu juga dalam aspek budaya, dimana interaksi antar
bangsa seolah terjadi gangguan. Rentanya konflik antar bangsa di negri ini menjadi bukti
rapuknya tata nilai dan karakter bangsa sehingga hal ini penting untuk disikapi. Selanjutnya
pada aspek hukum juga terjadi problem dimana penegakan hukum tidak berjalan sesuai
dengan tujuan awalnya, hukum yang secara konsepsional dibuat untuk menata kehidupan
bangsa malah digunakan untuk memperkaya diri. Kekinian muncul tren, dimana penegakan
hukum tidak konsisten yang salah bisa jadi benar jika mampu membayar. Sebaliknya yang
benar menjadi salah jika tidak mampu membayar para penegak hukum yang ada. Kemudian
pada aspek politik juga terjadi anomali, dimana proses politik kita masih diwarnai dengan
suasana yang tidak sehat. Seperti politik uang dan kekerasan dalam politik tidak akan mampu
memperbaiki keadaan bangsa. Berbagai permasalahan tersebut akan bisa diatasi hanya dengan
memaksimalkan pelaksanaan desain pendidikan yang berkarakter di bangsa ini.
Internalisasi nilai-nilai nasionalisme merupakan sebagian kecil dari rencana pendidikan
yang ada. Jadi internalisasi merupakan proses belajar kebudayaan yang ditanamkan dalam
setiap individu. Melalui internalisasi nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pendidikan
dapat membentuk karakter bangsa dan mencegah negatifnya globalisasi dan menanamkan
nasionalisme bangsa. Melalui pendidikan upaya internalisasi dapat berlangsung guna
membentuk sikap dan karakter siswa (Hidayatullah, 2010: 209). Ruang yang paling strategis
dalam melakukan proses internalisasi nilai-nilai nasionalisme tersebut, yakni pelaksanaan
pendidikan di sekolah dengan sistem pendidikan yang lahir dari karakter bangsa sendiri.
Bukan dengan sistem pendidikan yang diadopsi dari negara lain.
Pendidikan merupakan kebutuhan untuk kehidupan yang manusiawi. Pendidikan adalah
proses perubahan sikap dan perilaku seorang atau kelompok melalui upaya pengajaran dan
pelatihan (Kesuma, 2011: 53). Melalui pendidikan dan kesadaran pentingnya pendidikan
manusia diharapkan memiliki sikap dan perilaku yang berbudi sesuai dengan norma-norma
yang berlaku. Melalui pendidikan, manusia dapat mendewasakan dirinya agar mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang kurang baik. Hal tersebut dikuatkan pula oleh
Sudjoko, dkk (2009: 11) yang menjelaskan bahwa pendidikan pada manusia yang membuat
dirinya manusiawi bukan semata-mata hanya pendidikan teknologi, tapi juga pendidikan
agama, filsafat, ilmu, seni, dan budaya.
Hal tersebut menjadi kontekstual ketika saat ini muncul kecenderungan banyak pihak
yang menjalani proses pendidikan dengan orientasi hanya mengejar sensasi dari pada tujuan
pendidikan itu sendiri. Suasana ini bisa dilihat dari kebiasaan banyak pihak yang dalam proses
pendidikan lebih mengejar titel, ijasa, dan status sosial yang lain tetapi mengabaikan usaha
memahami atau menguasai ilmu pengetahuan dalam proses pendidikan yang digelutinya.